Gambar Slide

Gambar Slide
Oleh : Lilik Mulyadi
I. SEKAPUR SIRIH
         Pembalikan beban pembuktian selain diatur Undang-Undang Tipikor Indonesia (UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001) juga diatur dalam Konvensi Anti Korupsi 2003 (KAK 2003  khususnya terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat (8) dan Pasal 53 huruf (b) KAK 2003. Ketentuan pembalikan beban pembuktian dalam Pasal 31 ayat (8) ditujukan terhadap pembekuan, perampasan dan penyitaan dari pelaku tindak pidana korupsi yang menyebutkan, bahwa: 
               “States Parties may consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with fundamental principles of their domestic law and with the nature of judicial and other proceedings.”

      Ketentuan di atas menentukan negara-negara peserta konvensi dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk mewajibkan seorang pelanggar menerangkan tentang sumber yang sah atas hasil-hasil yang diduga berasal dari tindak pidana atau kekayaan lainnya yang dapat dikenakan penyitaan, sejauh syarat tersebut konsisten dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasional, dan konsisten pula dengan sifat dari proses yudisial dan proses peradilan lainnya. Dari ketentuan KAK 2003 maka pembalikan beban pembuktian diperkenankan melalui jalur keperdataan ini juga telah dipergunakan di beberapa negara seperti di Italia, Irlandia, Amerika Serikat dan sebagainya.
      Selain ketentuan Pasal 31 ayat (8) KAK 2003 maka pembalikan beban pembuktian juga diatur dalam ketentuan Pasal 53 huruf b yang secara tegas menentukan, bahwa:
               ”Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan pengadilan-pengadilan memerintahkan orang-orang yang telah melakukan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada negara peserta yang lain yang telah dirugikan oleh kejahatan-kejahatan tersebut”
                              
       Pada dasarnya, ketentuan konteks di atas merupakan pembalikan beban pembuktian terhadap pengembalian aset (asset recovery) secara langsung dengan memberikan izin kepada pengadilan Negara setempat  atau negara ketempatan (custodial state) memerintahkan kepada pelaku tindak pidana korupsi untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada Negara lain yang dirugikan (country of origin) akibat dari tindak pidana korupsi tersebut. Prinsipnya, apabila dicermati lebih intens hakikatnya ketentuan pembalikan beban pembuktian ini menimbulkan permasalahan krusial bagaimana mungkin akan diterapkan pembayaran sejumlah kompensasi atau ganti rugi kepada Negara lain akibat dari tindak pidana korupsi tersebut jikalau pelaku tidak mengakui melakukan perbuatan korupsi yang ditujukan kepadanya.
      Eksistensi tentang strategi pengembalian aset ini secara eksplisit telah diatur dalam mukadimah KAK 2003 para 8 yang menentukan, bahwa:
“Bertekad untuk mencegah, melacak dan menghalangi dengan cara yang lebih efektif transfer-transfer internasional atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah, dan untuk memperkuat kerjasama internasional dalam pengembalian aset.”
    
      Apabila dianalisis ternyata ketentuan tersebut di atas berkaitan dengan landasan filosofis dalam mukadimah,  para 3 KAK 2003 tentang keterkaitan antara perbuatan korupsi dengan pembangunan berkelanjutan. Ketentuan Para 3 KAK 2003 secara eksplisit menentukan bahwa:
   “Prihatin atas keseriusan masalah-masalah dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum”.

       Ketentuan di atas apabila diperhatikan secara lebih seksama maka pada KAK 2003 pembalikan beban pembuktian sebenarnya dapat dipergunakan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur kepidanaan (criminal procedure) maupun jalur keperdataan (civil procedure) khususnya terhadap sumber harta kekayaan yang didapat oleh pelaku tindak pidana korupsi. Hakikat dan dimensi gabungan criminal procedure dan civil procedure telah banyak diterapkan beberapa negara. Redaksional kata “mewajibkan seorang pelanggar menerangkan sumber yang sah dari tindak pidana”, maka prosedur yang dipakai adalah jalur kepidanaan (criminal procedure). Begitupun sebaliknya redaksional kata, “..atau kekayaan lainnya yang dapat dikenakan penyitaan,” maka mensiratkan dimensi konteks tersebut di atas dapat dipergunakan jalur keperdataan (civil procedure). Pemakaian jalur kepidanaan dan keperdataan secara bersama-sama terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi dengan melalui mekanisme pembalikan beban pembuktian pada hakikatnya tetap diperkenankan dan telah ada pula justifikasi teori yang mendukungnya.
       KAK 2003 dalam pengembalian aset hasil korupsi melalui prosedural pembekuan (freezing), perampasan (seizure) dan penyitaan (confiscation) dari pelaku  tindak pidana korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 31 ayat (8) maupun ketentuan Pasal 53 huruf b telah dapat dipergunakan teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (Balanced Probability Principles) dari Oliver Stolpe yaitu adanya keseimbangan teori probabilitas berimbang yang diturunkan (lowest balanced probability principles) dalam hal kepemilikan harta kekayaan yang merupakan aset hasil korupsi akan tetapi tetap mempertahankan teori tersebut dalam posisi yang sangat tinggi (highest balanced probability principles) dalam hal perampasan kemerdekaan seseorang tersangka.
        Dimensi ini dalam praktiknya untuk pembalikan beban pembuktian melalui mekanisme keperdataan (civil procedure) telah dilakukan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat sedangkan pembalikan beban pembuktian melalui mekanisme kepidanaan (criminal procedure) telah dilaksanakan oleh Negara Singapura berdasarkan Section 4 Singapore Confiscation of Benefits Act serta Negara Hong Kong berdasarkan Section 12 A Hong Kong Prevention Bribery Ordinance. Selanjutnya, penggunaan kedua teori balanced probability tersebut dalam Pasal 31 ayat (8) KAK 2003 khususnya dalam kalimat, “may”, yang bersifat non-mandatory obligation serta kalimat, “demonstrate” maupun kalimat, “consistent with the prinsiples of …domestic law”, yang menunjukkan bahwa ketentuan pasal tersebut relatif tetap mempertimbangkan ICCPR yang menegaskan hak-hak sipil seseorang yang seharusnya dilindungi secara penuh.
       Dimensi dan asumsi konteks tersebut di atas maka jelaslah sudah ketentuan Pasal 31 ayat (8) dan Pasal 53 huruf b KAK 2003 telah mempunyai justifikasi teoretis untuk menerapkan pembalikan beban pembuktian khususnya ditujukan terhadap pembekuan, perampasan dan penyitaan terhadap aset harta kekayaan dari pelaku maupun pengembalian aset tindak pidana korupsi secara langsung.
(Dikutip dari www.bambangoke.com)
  1. Install IDM 5.19 tadi, setelah selesai maka akan muncul peringatan Internet Download Manager has been Register with a fake Serial Number or the Seria Number has been blocked. IDM is exiting,...
  2. Anda tidak perlu memasukkan Serial Number IDM 5.19, anda cukup close program IDM anda.
  3. Copy Paste Crack ke C:\Program Files\Internet Download Manager, kemudian klik 2 kali pada crack td.

    Serial-Number-IDM-5.19
4. Klik pada tombol Patch dan jika berhasil maka — PATCHING DONE –
5. Exit Patch anda.
6. Jalankan kembali IDM dan Lihal pada help – about

Registrasi IDM-5.19
Sekarang IDM anda sudah Full Version, dan tidak memerlukan serial number.
Jika anda masih kesulitan dengan cara registrasi atau crack di atas, silahkan download idm 5.19 silent install, jadi anda tidak perlu menggunakan crack lg, pokoknya sekali klik sudah full version.

(penulis : ITA)
1. Mr. Palomar
            Tokoh yang dibuat oleh Calvino tentang Mr. Palomar adalah orang yang mencari ‘kunci untuk menguasai kompleksitas dunia dengan menguranginya (mereduksi) menjadi mekanisme yang paling sederhana’. Konsep Mr. Palomar ini berusaha menyederhanakan segala sesuatu untuk dapat memahaminya.
Di era globalisasi, kita dipaksa untuk menitikberatkan perhatian pada keseluruhan dunia fenomena hukum. Di dunia yang semakin saling ketergantungan satu sama lain, hampir semua studi hukum menjadi kosmpolitan. Bagi studi hukum kosmopolitan, ada kebutuhan terhadap kebangkitan jurisprudens umum dan pemikiran ulang tentang hukum perbandingan dari perspektif global.

2. Hukum Perbandingan: Pandangan Pihak Luar
            Literatur sekunder tentang hukum perbandingan dapat diringkas dalam empat proposisi atau hipotesis. Pertama, literatur sekunder yang menunjukkan gejala-gejala disiplin marjinal baru yang berusaha untuk membuat dokumentasi resmi dalam hal penghormatan intelektual, manfaat praktis, dan ‘relevansi’. Kedua, dalam 20 tahun terakhir hukum perbandingan memiliki keragaman praktek untuk mencakup berbagai bidang hukum melampaui fokus tradisional pada hukum perdata, terutama kewajiban; tetapi membuat teori tentang subyek telah tidak sejalan dengan perkembangan-perkembangan ini. Ketiga, studi mikro-komparatif telah mendominasi hukum perbandingan yang melembaga; terutama dalam tradisi Anglo-Amerika. Dan keempat, hukum perbandingan dan teori hukum di era modern telah terpisah: beberapa ahli jurisprudens kanonik modern telah memberikan banyak perhatian pada hukum perbandingan dan masalah teoritisnya; sebaliknya, beberapa ahli hukum perbandingan utama telah banyak menggunakan jurisprudens modern.
            Studi komparatif (perbandingan) harus menjadi pusat disiplin ilmu kosmopolitan di akhir abad 20; membangun gambaran hukum yang akurat dan koheren di dunia adalah tugas utama jurisprudens umum; perbandingan dan generalisasi dalam hukum dipenuhi dengan kesulitan teoritis dan, pada gilirannya, teori hukum perlu mengambil wawasan yang diberikan oleh hasil perbandingan yang terperinci. Singkatnya, hukum perbandingan dan teori hukum membutuhkan satu sama lain.
            Tulisan sekunder standar tentang hukum perbandingan membedakan antara dua pendekatan utama: studi perbandingan makro yang ditunjukkan oleh pendekatan Sistem Besar (Grands Systemes) dari Rene David dan lainnya, dan studi perbandingan mikro yang biasanya digambarkan sebagai mendekati tipe ideal yang disebut ‘Tradisi Negara dan Barat’.

3. Perbandingan Makro: Perdebatan The Grands Systemes
            Pembagian kadang-kadang dilakukan dalam hukum perbandingan antara studi ‘keluarga hukum’ dan perbandingan terperinci dari aspek-aspek doktrin hukum tertentu. Ini mencerminkan pembagian antara studi perbandingan makro dan mikro. Ini terkadang dianggap sebagai dua usaha yang berbeda, tetapi semua ahli hukum perbandingan tahu bahwa ada banyak tingkatan perbandingan yang saling berkaitan dan bahwa hampir semua pekerjaan harus dilakukan pada sejumlaah tingkatan yang tidak dapat dipisahkan. Perlu untuk membedakan antara dua bentuk tersebut karena dalam praktek mereka sering memiliki tujuan-tujuan yang berbeda dan disajikan kepada pihak yang berbeda.
            Studi ‘keluarga hukum’ kadang-kadang disamakan dengan ‘pendekatan The Grands Systemes’. Ini berkembang dalam dua konteks utama: kursus pengantar yang dirancang untuk memberikan mahasiswa hukum suatu tinjauan (atau peta) hukum di dunia dan Ensiklopedia Hukum Perbandingan Internasional.
            Jika tujuan utama disiplin ilmu hukum adalah untuk memajukan pengetahuan dan pemahaman tentang masalah pokoknya, maka pasti salah satu aspeknya harus merupakan aspirasi untuk membangun gambaran total yang akurat dan lengkap tentang hukum di dunia.
            Tradisi The Grands Systemes secara umum tidak menangani hal ini. Salah satu alasannya adalah bahwa tradisi ini telah terjebak dalam perdebatan panjang tentang bagaimana mengelompokkan sistem hukum (tatanan) utama di dunia. Zweigert dan Kotz telah menolak upaya untuk menggunakan ras atau lokasi geografis atau hubungan produksi atau ideologi sebagai kriteria utama, membatasi ide pada gaya pemikiran hukum yang dominan tentang sistem hukum kehidupan modern. Mereka mengidentifikasi lima faktor sebagai sentral gaya keluarga hukum: (1) latarbelakang atau perkembangan sejarah, (2) keutamaannya dan karakteristik cara berpikir dalam masalah hukum, (3) terutama lembaga-lembaga hukum yang berbeda, (4) jenis-jenis sumber hukum yang diakui dan cara menanganinya, (5) ideologinya.
            Berdasarkan kriteria-kriteria ini, Zweigert dan Kotz mengelompokkan ‘sistem-sistem hukum’ menjadi delapan kelompok atau keluarga: keluarga Romanistik (Romawi), keluarga Nordik, keluarga Common law, keluarga sosialis, sistem Timur Jauh, sistem Islam, dan hukum Hindu.
            Ini merupakan kategorisasi yang aneh. Skema Zweigert dan Kotz dianggap kurang memuaskan. Taksonomi yang memuaskan perlu memiliki tujuan yang didefinisikan dengan jelas; unit-unit perbandingan yang jelas; pembedaan yang tepat dan pasti; dan spesies yang tidak tumpang tindih yang menghabiskan genusnya. Di dalam keluarga hukum memperdebatkan kondisi-kondisi ini yang secara umum tidak dipenuhi.
            Pertama, tujuan. Penggunaan yang paling umum adalah untuk memperkenalkan hukum secara umum atau sistem hukum tertentu bagi mahasiswa hukum pemula atau sebagai pengenalan dasar bagi hukum perbandingan atau bagi pembaca non-spesialis. Pemetaan pengenalan tersebut dapat berfungsi dalam memberikan konteks umum bagi studi-studi khusus. Untuk tujuan sederhana tersebut, tinjauan yang mentah mungkin sudah cukup; dapat berupa berbagai hal, dan nilai relatif dari taksonomi yang berbeda jarang membutuhkan perhatikan teoritis yang serius. Namun, untuk tujuan mengembangkan jurisprudens umum modern, pendekatan untuk membangun gambaran total hukum di dunia perlu lebih sistematik dan akurat.
            Kedua, tingkat-tingkat perbandingan. Jika daftar calon untuk memetakan mencakup berbagai bentuk hukum non-negara dan sistem negara nasional dan sub-nasional, maka sulit untuk menemukan satu dasar tunggal untuk mengelompokkan mereka: hukum Skotlandia, hukum New York, hukum Islam, hukum Pasagarda, dan hukum Uni Eropa bukan merupakan spesies dari satu genus tunggal. Beberapa calon untuk dimasukan dalam peta hukum dunia yang komprehensif tidak melihat batas-batas negara: misalnya hukum Islam, lex mercatoria, hukuk kanon (norma), atau hukum Romawi, calon-calon lain seperti hukum Uni Eropa dan hukum Internasional Publik melampaui batasan negara tetapi sangat berhubungan dengan negara-negara berdaulat; seperti hukum Mississippi atau hukum Dinka atau Maori terbatas dalam batasan negara. Untuk menggambarkan tatanan hukum berkaitan dengan hubungan global, internasional, transnasional, regional atau lokal dan nasional, membutuhkan pembedaan tingkat-tingkat klasifikasi (pengelompokan). Masing-masing tingkat membutuhkan pembedaan/pembagian tersendiri. Taksonomi yang paling standar terbatas pada satu atau dua tingkat, biasanya hukum publik atau agama.
            Ketiga, bahkan asumsi bahwa fokus ada pada hukum negara, tidak jelas apakah unit-unit perbandingan, apa yang dibandingkan, adalah sistem, tatanan, budaya atau tradisi. Kadang ini semua berjalan bersamaan sehingga pengelompokan tidak mengandung spesies dari satu genus tunggal. Dengan kata lain, tidak jelas keluarga hukum merupakan keluarga apa. Banyak ahli hukum perbandingan yang secara langsung maupun tidak langsung menganggap ‘sistem hukum’ sebagai unit perbandingan. Namun istilah yang digunakan sangat membingungkan: hukum Jerman, hukum Islam dan hukum Afrika adalah ‘sistem hukum’ dalam pengertian yang berbeda. Jika ‘sistem hukum’ digunakan dalam arti yang tepat, misalnya sistem hukum negara dari semua anggota PBB atau tatanan hukum yang memenuhi beberapa kriteria jurisprudens bagi eksistensi sistem hukum, maka tidak mungkin untuk mengakomodir beberapa calon standar seperti hukum Islam, Hindu atau Afrika. Jika ‘tradisi’ atau ‘budaya’ disubstitusi, pengertiannya tidak jelas sehingga memunculkan penolakan untuk menggunakan mereka bagi sistem pengelompokan yang tepat dan bermanfaat.
            Hukum Hindu dapat diinterpretasikan sebagai sistem konsep dan prinsip, tetapi bukan sebagai sistem hukum negara. Meski ada beberapa negara Islam, hukum Islam tidak terbatas pada negara tersebut. Hukum Islam dapat dilihat dari berbagai perspektif: misalnya, sistem norma, atau sebagai kumpulan ide, atau sebagai budaya yang mencakup praktek dan gaya serta ide interpretatif , atau sebagai tradisi yang mencakup perubahan atau perkembangan sepanjang waktu sehubungan dengan semua ini – bahkan dalam sistem yang diputuskan oleh Tuhan. Jika melihat hukum Islam di Arab Saudi atau Sudan atau Malaysia atau Inggris, untuk memahaminya perlu melihat sejarah, lembaga, penduduk, dan praktek lokal, serta norma, konsep dan budaya.
            Pertimbangan yang sama diterapkan pada hukum lembaga-lembaga keagamaan seperti huku Yahudi atau Budha, atau budaya tanpa negara atau tradisi seperti ‘Hukum Gipsi’. Istilah ‘Hukum Afrika’ awalnya mengacu pada hukum adat atau tradisional masyarakat Afrika, jarang digunakan untuk mengacu pada sistem hukum nasional negara berdaulat modern di Afrika. Hukum sosialis atau sistem hukum sosialis merupakan kategori yang tidak mudah. Sistem hukum sosialis adalah sistem hukum negara yang dipengaruhi oleh ideologi tertentu pada periode tertentu dari sejarah mereka – di sini perbedaan dengan ideologi lain seperti demokratik sosial, liberal, atau sistem agama; dan ideologi yang secara langsung relevan dengan semua gaya pemikiran hukum.
            Keempat, bagian perdebatan keluarga hukum telah terpusat pada pembedaan pengelompokan (klasifikasi). Ada banyak cara mengelompokan sistem hukum atau tatanan seperti halnya kota dan negara. Ras, bahasa, tahap pembangunan ekonomi, ideologi, sumber sejarah, konsep dan ‘lembaga’ substantif, dan bahkan iklim di antara faktor tersebut.
            Ide gaya pemikiran dapat diterapkan pada cara berpikir dalam kedua keluarga sistem hukum negara dan beberapa bentuk hukum non negara, seperti hukum Islam, Yahudi dan Gipsi. Tetapi ide ‘gaya pemikiran’ dominan perlu didekati dengan frase reduksionis seperti ‘pikiran hukum’ dan ‘berpikir seperti pengacara’. Beberapa profesi hukum sangat ditinggikan; bahwa sepanjang pengacara berpikir, mereka tidak hanya berpikir tentang persoalan hukum; dan bahwa dalam semua sistem hukum atau budaya atau tradisi apa yang merupakan cara berpikir valid, logis dan tepat dan interpretasi tentang persoalan hukum terus dipertentangkan. Merupakan hipotesis bahwa pola-pola pertentangan tentang berpikir hukum dan interpretasi terus berulang, dengan variasi lokal, lintas budaya – misalnya perbedaan antara interpretasi sengaja dan faktual, berpikir ‘gaya besar’ dan ‘gaya formal’, berpikir substantif dan otoritas, dan perbedaan yang diperdebatkan dalam common law dan filosofi hukum sipil.
            Perbandingan mikro melengkapi perbandingan makro. Satu tugas bagi jurisprudens umum adalah membangun gambaran fenomena hukum di dunia sebagai keseluruhan.
4. Perbandingan Mikro: Tradisi Negara dan Barat
            Satu hal yang menarik fokus perhatian pada unit-unit yang lebih kecil adalah karena lebih mudah ditangani. Ini adalah apa yang dipikirkan Mr. Palmer.
            Dari penjelasan ahli hukum perbandingan terkemuka, kita dapat membangun tipe ideal konsepsi ‘Hukum Perbandingan’ utama dengan karakteristik berikut:
  1. Masalah pokok utama adalah hukum positif dan sistem hukum ‘resmi’ negara bangsa (sistem hukum publik).
  2. Fokus secara eksklusif pada masyarakat kapitalis Barat di Eropa dan Amerika Serikat, dengan pertimbangan yang kurang terhadap ‘Timur’ (negara sosialis termasuk China), ‘Selatan’ (negara miskin) dan negara kaya di Laut Pasifik (Jepang, macan Asia).
  3. Perhatian pada persamaan dan perbedaan antara common law dan civil law, seperti digambarkan oleh tradisi atau sistem ‘orang tua’, terutama Prancis dan Jerman untuk hukum sipil, Inggris dan Amerika Serikat untuk common law.
  4. Fokus hampir seluruhnya pada doktrin hukum.
  5. Fokus dalam praktek terutama pada hukum privat, terutama hukum kewajiban, yang sering dianggap mewakili ‘inti’ sistem atau tradisi hukum.
  6. Perhatian dengan deskripsi, analisis, dan penjelasan daripada evaluasi dan saran, kecuali bahwa salah satu penggunaan utama ‘hukum perbandingan legislatif’ diklaim sebagai pelajaran untuk dipelajari dari solusi asing pada ‘masalah yang sama’ – klaim yang secara teoritis bermasalah.
 Proposisi ini adalah tipe ideal untuk penjelasan sekunder yang paling eksplisit tentang sifat dan lingkup hukum perbandingan. Ini relevan untuk membuat sejumlah argumen sebagai berikut.
Pertama, antara 1945 dan 1980, asumsi ini sangat berpengaruh dalam hal konseptualisasi sub-disiplin dan pelembagaannya dalam jurnal, buku teks, kursus, proyek, dan semua cara berpikir di atas. Model Negara dan Barat terbatas dalam hal masing-masing unsurnya: hukum publik, negara Barat, dengan doktrin khususnya hukum privat, dan perbedaan antara sistem hukum sipil dan common law ‘orang tua’ sebagai fokus utama. Banyak literatur sekunder tentang hukum perbandingan sebagai bidang ilmu memiliki fokus yang sempit, mengabaikan beberapa contoh praktek terbaik, dan merendahkan kekayaan, keragaman dan perbedaan studi hukum transnasional dan kosmopolitan.
Ahli hukum perbandingan kadang-kadang bersikukuh pada perbedaan antara hukum asing dan hukum perbandingan. Perbandingan mencakup berbagai kegiatan dan asing adalah persoalan relatif. Pada tingkat teoritis hampir semua deskripsi mencakup perbandingan. Kita menggunakan perbandingan dalam hidup sehari-hari menggunakan analogi, model, metafora, tipe ideal dan berbagai alat lainnya. Beberapa contoh karya terbaik ahli hukum perbandingan misalnya:
·                Studi paralel (studi Biclefeld Kreis tentang contoh dan interpretasi statuta);
·                Menjelaskan sistem sendiri dibandingkan dengan yang lain, seperti studi Llewellyn di Amerika.
·                Dan sebagainya.

Model Negara dan Barat sekarang sudah ketinggalan jaman, tetapi belum digantikan oleh teori yang koheren. Ini tidak menyarankan bahwa harus mengganti satu teori reduksionis dengan yang lain, tetapi bahwa isu utama berkaitan dengan lingkup, metode, pembandingan, perbandingan, dan hubungan dengan persoalan lain yang perlu ditangani.
Kritik terhadap model Negara dan Barat perlu dihargai dan dikembangkan. Pertama, ada alasan yang baik untuk menyempitkan fokus, terutama di tahap awal. Kedua, ada manfaat dan biaya dalam kualitas karya yang dilakukan dalam kerangka Negara dan Barat.
Model Negara dan Barat memiliki empat kelemahan utama: digambarkan secara sempit; telah terisolir dari bidang yang sama; ketinggalan jaman; dan teori di bawah standar. Apa yang kurang adalah pandangan koheren tentang usaha dan diskusi tentang isu-isu pembandingan, metode, tingkat, tujuan dan sebagainya. Singkatnya, pekerjaan jurisprudens tidak dilakukan secara memadai bagi studi hukum perbandingan atau kosmopolitan. Sehingga perlu pemikiran ulang yang radikal.

 5. Pemikiran Ulang Hukum Perbandingan: Agenda Teoritis
            Salah satu implikasi globalisasi bagi disiplin ilmu hukum adalah bahwa ia memerlukan kebangkitan jurisprudens umum dan pemikiran ulang hukum perbandingan dari perspektif global sebagai unsur utama dalam studi hukum kosmopolitan. Pemikiran ulang hukum perbandingan mencakup semua tugas utama teori hukum termasuk sintesa, konstruksi dan penjelasan konsep, perkembangan penting prinsip-prinsip normatif umum, mengembangkan teori-teori tatanan menengah empiris dan normatif, dan teori kerja yang memberikan panduan bagi berbagai peserta, termasuk ahli hukum perbandingan, sejarah intelektual, dan kajian kritis tentang asumsi dan premis yang mendasari diskusi hukum.
            Konstruksi dan penjelasan konsep merupakan perhatian tradisional jurisprudens analitik. Jurispruden analitik perlu memperluas fokusnya pada konsep-konsep kunci dalam sub-disiplin khusus yang berhubungan dengan hukum termasuk teori tata negara, hukum dan ekonomi, sosiologi hukum, dan studi sosio-hukum.
            Tugas lain bagi jurisprudens analitik adalah membantu analisis terminologi dasar studi perbandingan. Ahli hukum perbandingan berpendapat bahwa ‘hukum perbandingan adalah metode, bukan subyek’, tetapi tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan metode tersebut.
(Dikutip dari Justitia Blog oleh Alie)

John Austin memberikan defenisi hukum sebagai “peraturan yang diadakan untuk memberikan bimbingan kepada mahluk yang berkal oleh mahluk yang berkuasa atasnya”. Hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari pemegang kedaulatan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup. Menurutnya hukum yang sebenarnya mengandung empat unsur yaitu; perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Singkatnya hukum menurut John Austin:
  1. Hukum merupakan perintah penguasa (law is a commad of the lawgiver), hukum dipandang sebagai perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi
  2. Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup
  3. Hukum positif harus memenuhi beberapa unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan, di luar itu bukanlah hukum melainkan moral positif.
Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superi­or itu memaksa orang lain untuk taat. la memberlakukan hukum dengan cara menakut‑nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya
Menurut Austin aturan hukum memastikan kenyataan juga dipertanggungjawabkan bahwa aturan hukum itu mempunyai nilai yuridis. Sedangkan aspek intern maka kaidah-kaidah hukum dapat dibedakan dari kebiasaan sosial yang tidak berlaku secara yuridis. Aspek ini juga yang menentukan hukum sebagai hukum.
Semua hukum positif adalah perintah. Perintah dari yang berdaulat atau command of sovereign atau command of law-giver. Pemegang kedaulatan tidak terikat baik oleh peraturan yang dibuatnya sendiri, maupun oleh asas-asas yang berasal dari atas (moral dan agama). Masalah kedaulatan yang merupakan salah satu unsur dari hukum positif adalah bersifat pra-legal (bukan urusan hukum, tetapi urusan politik atau sosiologi) dan hendaknya dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataannya. Hart menyangkal anggapan ini dan memastikan bahwa pembuat undang-undang juga merupakan bagian dari hukum yang dibuatnya sendiri. Dia menganggap kekuatannya berlaku padanya dengan aturan dan dia sendiri merupakan bagian dari bidang aturan tersebut.
Hart adalah seorang penganut aliran neopositivisme. Menurut Hart Sistem Hukum adalah adalah perpaduan dari aturan primer dan sekunder. Inti dari suatu sistem hukum terletak pada adanya kesatuan antara apa yang disebut peraturan-peraturan primer (yaitu peraturan-peraturan yang menimbulkan tugas kewajiban, seperti peraturan-peraturan dalam hukum kriminal atau hukum tentang ingkar janji) dan peraturan-peraturan sekunder (yaitu peraturan-peraturan yang memberikan kekuatan atau kewenangan, seperti hukum yang mempermudah pembuatan kontrak, wasiat, perkawinan dan sebagainya atau dengan kata lain kaidah yang memastikan syarat-syarat bagi berlakunya kaidah/peraturan primer.
Menurut Hart ada 3 macam peraturan sekunder yaitu:
  1. Peraturan-peraturan yang mengatur kewenangan hakim dalam kasus-kasus penegakan hukum (rule of adjudication) atau bertindak sebagai hakim. Atau dengan kata lain sebuah aturan yang memberikan hak-hak kepada seseorang untuk menentukan apakah pada peristiwa-peristiwa tertentu suatu peraturan primer dilanggar. Sebagai contoh kewenangan hakim memutus hukuman pembayaran akibat kerugian atau pencabutan kebebasan seseorang.
  2. Peraturan-peraturan yang mengatur proses perubahan dalam memberikan kewenangan untuk memberlakukan perundang-undangan sesuai prosedur yang ditetapkan, disebut peraturan perubahan (rule of change), dengan kata lain bahwa aliran ini mengesahkan adanya aturan primer yang baru.
  3. Peraturan pengakuan (rule of recognition) yaitu aturan yang menentukan kriteria yang mempengaruhi tentang validitas (kesahihan) peraturan-peraturan yang ada dalam sistem tertentu atau dengan kata lain berupa ketentuan-ketentuan yang menjelaskan apa yang dimaksud aturan primer (petunjuk pengenal).
Hart menolak defenisi yang diberikan oleh Austin sebab defenisi tersebut cocok dengan situasi penyerbuan (gunman situation). Tetapi menurut Hart sebagian definisi Austin tentang hukum adalah tepat yakni sejauh hukum dilihat dari luar, sebab memang benar bahwa peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh yang berkuasa dan biasanya ditaati.
Akan tetapi terdapat suatu aspek lain yang disebut aspek intern. Aspek ini ditanggapi oleh orang-orang yang termasuk dalam suatu wilayah hukum tertentu yang merasa terikat secara batin untuk mentaati aturan hukum itu.
Aspek intern ini yang tidak dapat diterangkan melalui teori-teori Austin. Austin hanya menerangkan aturan hukum dengan memastikan kenyataan bahwa kebanyakan subjek hukum mentaati aturan hukum itu dan aturan hukum itu harus merupakan nilai yuridis (validity).
Berbeda dengan tokoh positivis lainnya seperti Austin dan Kelsen yang menganggap hukum tergantung hanya pada tekanan-tekanan sosial dari luar (eksternal), Hart berpendapat bahwa disamping bergantung pada tekanan sosial eksternal, hukum juga bergantung pada pandangan dari dalam masyarakat itu sendiri, bahwa suatu peraturan tertentu menimbulkan kewajiban-kewajiban. Secara tegas Hart menolak setiap jenis hukum yang semata-mata hanya berdasarkan pada perintah-perintah paksaan, karena hal itu semata-mata berasal dari pola hukum kriminal yang tidak dapat diterapkan pada bagian yang besar dari sistem hukum modern, yang melibatkan publik dan kekuatan pribadi-pribadi. Suatu masyarakat bisa saja memiliki sistem hukum yang semata-mata hanya berhubungan dengan peraturan-peraturan dasar yang kebanyakan sistem ini banyak ditemukan pada masyarakat primitif. Sementara masyarakat itu terus berkembang dan perkembangannya dari waktu ke waktu semakin kompleks.
Hart memperkenalkan aspek internal hukum untuk membedakan antara hukum dan kebiasaan dan menolak kemungkinan penafsiran hukum semata didasarkan bentuk luar tingkah laku, sebaliknya Austin menekankan pentingnya kebiasaan.
Hart menjelaskan bahwa hukum tidak hanya bergantung pada tekanan sosial dari luar yang dibawa kepada manusia untuk melindungi mereka agar tidak bisa menyimpang dari peraturan-peraturan tetapi juga bergantung pada pandangan dari dalam, bahwa manusia menuju ke arah suatu peraturan yang digambarkan sebagai tanggung jawab dan kewajiban
Hart memandang bahwa masyarakat yang secara hukum tidak berkembang yang hanya terpaku pada sistem hukum dasar yaitu mengenai menjalankan kewajiban, mereka tidak akan menguasai suatu sistem hukum. Karena bagi Hart kumpulan dari peraturan-peraturan dasar dan sekunder adalah merupakan inti dari sistem hukum. Karena dengan inilah dapat dibicarakan tentang penjahat, hubungan masyarakat, pejabat.
Hart berpendapat bahwa hukum yang dilakukan dengan cara paksa dianggap telah memutarbalikkan fungsi hukum dalam suatu komunitas. Esensi dari suatu sistem hukum adalah kenyataan yang tidak dapat dipisahkan berdasarkan atas faktor-faktor psikologis yang bervariasi, bahwa hukum diterima oleh masyarakat sebagai suatu kesatuan yang saling mengikat, elemen-elemen dari sanksi bukanlah suatu yang esensial tetapi ada elemen lain dalam hal memfungsikan sistem hukum tersebut. Hal ini dianggap karena suatu peraturan dianggap sebagai suatu hal yang perlu bahwa ukuran dari hal paksaan bisa saja disangkutpautkan dengan hal tersebut yaitu paksaan.
Dikatakan Hart kenyataan bahwa setiap hukum adalah suatu perintah mengakibatkan semua jenis hukum dapat menjadi satu unit yang dapat berdiri sendiri secara eksis. Dalam artian dapat diaplikasikan tanpa tergantung dari faktor lain. Selain itu jika hukum semata-mata dilakukan dengan sanksi maka akan dapat menghancurkan suatu kesatuan masyarakat. Dimana kaum minoritas dalam hal ini pengusaha akan sewenang-wenang dengan kaum mayoritas yaitu masyarakat biasa.
Sistem Hukum Indonesia
Lalu bagaimana dengan arah sistem hukum indonesia dengan memperbandingkan teori John Austin dan H.L.A Hart? Apakah mengarah kepada teori Austin atau Hart?.
Jika kita melihat teori Austin yakni
  1. Hukum merupakan perintah penguasa (law is a commad of the lawgiver), hukum dipandang sebagai perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi
  2. Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup
  3. Hukum positif harus memenuhi beberapa unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan, di luar itu bukanlah hukum melainkan moral positif.
Pada poin pertama hukum merupakan perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi. Di Indonesia Hukum kita ditelurkan oleh dua lembaga yakni legislatif dan eksekutif dapat dilihat jelas pada hierarkis perundangan di indonesia dengan urutan
  1. Undang-undang dasar Negara R.I 1945;
  2. Undang-undang;
  3. Perppu;
  4. Peraruran pemerintah;
  5. Perpres; dan
  6. Perda
Undang-undang dan perda dibuat oleh lembaga legislatif, perpu, peraturan pemerintah dan perpres merupakan produk hukum dari eksekutif. Produk-produk tersebut merupakan produk dari pemegang kekuasaan di indonesia. Pendapat austin ini bisa dikatakan sejalan dengan hal ini, begitu pula dengan pendapat Hart yang mengatakan bahwa hukum memang merupakan produk yang dikeluarkan oleh pemegang kekuasaan tertinggi dan biasanya ditaati.
Poin ke dua hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup. Pendapat ini dibantah oleh Hart dengan mengatakan bahwa hukum juga memerlukan tekanan dari dalam diri tiap individu bukan semata tekanan dari luar individu yang dipaksakan seperti yang itu. Dikaitkan dengan sistem hukum indonesia yang mana sistem hukum Indonesia senantiasa memperhatikan suara dari social society guna menetapkan hukumnya hal ini dapat dilihat dalam Undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan yang memberikan persyaratan bahawa dalam membuat peraturan perundang-undangan harus melewati tahap mendengarkan pendapat dari social society. Jika hal ini dijalankan maka dapat dikatakan bahwa Undang-undang yang lahir merupakan keinginan individu-individu dalam masyarakat atau dengan kata lain berasal dari takanan dalam diri tiap individu. Hal ini tentu sejalan dengan pemikiran Hart.
Poin ke tiga hukum positif harus memenuhi beberapa unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan, di luar itu bukanlah hukum melainkan moral positif. Hart juga membedakan antara moral dan hukum, karena sebagai seorang positivis ia tidak percaya bahwa hukum berasal dari moral, Hart berargumen bahwa ketidaksahihan sebuah hukum/peraturan berbeda sebutan tidak bermoral. Moral adalah yang mengenai batin manusia saja sedangkan hukum adalah apa yang berasal dari sumber hukum entah isinya bersifat moral atau immoral.
Menyangkut pendapat hukum terpisah secara tegas dengan moral ini, jika dikaitkan dengan keadaan hukum di indonesia maka kelihatannya tidak sejalan, di indonesia hukum senantiasa harus memperhatikan kebiasaan yang hidup dan berkembang di masyarakatnya seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang pokok kehakiman. Namun antara Austin dan Hart sistem hukum Indonesia masih sedikit mendekati apa yang dikatakan Hart yaitu adanya kaedah hukum sekunder; peraturan-peraturan yang mengatur kewenangan hakim dalam kasus-kasus penegakan hukum atau bertindak sebagai hakim, pernyataan ini seperti apa yang telah dituang dalam undang-undang pokok kehakiman yaitu hakim harus menggali dan mempelajari hukum dan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Hal ini berartu bahwa nilai kearifan lokal dalam masyakat masih mendapatkan tempat di dalam hukum Indonesia. Selanjutnya pendapat Hart yang sejalan dengan sistem hukum Indonesia adalah bahwa Hart menilai moral harus dilihat dari sebab akibat. Moral sosial merupakan bagian dari hukum untuk membenarkan perbedaan. Kebutuhan hukum ditegakkan perlu dukungan moral dari keadaan yang nyata dalam masyarakat sebagaimana garis yang seharusnya. Bahwa secara moral masyarakat perlu diberikan nilai-nilai yang bersifat universal. Jika masyarakat ingin hidup, sistem legal berfungsi, kemudian harus ada larangan peraturan seperti dilarang membunuh, dilarang mencuri, dilarang aborsi dan sebagainya. Secara moral menurut Hart juga penting bahwa peraturan itu untuk masyarakat istimewa ditegakkan. Tegas Hart menolak teori perintah menurutnya hukum bukan saja berasal dari paksaan tetapi juga harus timbul dari adanya rasa wajib untuk melaksanakannya dari masyarakat tanpa adanya paksaan.
Dalam konteks teoritis sistem hukum Indonesia tidak menganut teori Austin maupun Hart, namun ada sedikit persamaan di dalamnya terutama pada teori Hart. Namun jika kita melihat hal itu dalam konteks realitas, maka pada zaman orde baru silam politik hukum kita saat itu membawa sistem hukum berkiblat pada teori Austin, saat itu hukum semata-mata hanya digunakan sebagai perintah negara untuk menjaga eksistensi negara atas rakyat tanpa peduli apakah rakyat menerima itu sebagai kewajiban ataukah hanya sebagai paksaan yang mempunyai sanksi belaka.
Saat ini meskipun kondisi politik sudah berubah, namun sisa peninggalan kondisi pada zaman orde baru masih ada terlihat di sana-sini, kita sebut saja Kearogansian aparat hukum dalam penegakan hukum, hukum yang ditelurkan oleh legislatif masih mencerminkan kepentingan penguasa, pelaksanaan hukum masih sering berwujud paksaan daripada sebagai kewajiban oleh masyarakat, hal ini diakibatkan oleh karena volkgiest jarang ikut dipertimbangkan dalam pembuatan aturan. Dengan keadaan seperti itu negara kita belum layak dikatakan negara hukum namun lebih pantas disebut sebagai negara Undang-undang.
Sebagai kesimpulan dari pembahasan ini; dalam konteks teoritis sistem hukum indonesia tidak menganut teori John Austin maupun H.L.A. Hart, namun jika mencari keasamaan-kesamaan maka akan ditemukan lebih banyak kesamaan teori hukum dari Hart daripada Austin dalam sistem hukum Indonesia. Namun dalam konteks realitas pelaksanaan hukum di negara kita justru lebih mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Austin, hal ini adalah keadaan yang merupakan warisan rezim penguasa orde baru silam.

Galery Video

Waktu Saat Ini

Jadwal Sholat

Rangkin FIFA

www.amrulgunper82.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Sahabatku

Sosok Hukum

Sosok Hukum
Justice Maybe Blind But It Can See In The Dark

PERSSIN ISL

Live Terbeken FM

Berita Lain

Kalender

About Me

Foto Saya
Amirullah Arsyad
Lahir di Sinjai tanggal 7 Juli 1982, putra ke 5 dari 7 orang bersaudara pasangan M. Arsyad Bakry dan St. Hasnah Gani (alm), riwayat pendidikan dimulai dari SD Negeri 183 Sinjai (1994,kemudian mengembara menimba ilmu di kampung tetangga, Madrasah I'dadiyyah DDI Mangkoso (1995), MTS DDI Mangkoso (1998), MA DDI Mangkoso (2001), STAI DDI Mangkoso (2006), dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan pada program Pascasarjana UMI Makassar konsentrasi Hukum Perdata. Jenjang karir mulai tahun 2007 (CPNS/Cakim) pada PA Jeneponto, kemudian tahun 2010 diangkat menjadi Hakim di PA Bitung, Sulut. Semasa Aliyah sampai S1 dia aktip di Organisasi daerah asal santri ORDAS IKSAGO, KUMSASIN, disamping juga aktip di Organisasi kemahasiswaan. Motto : jabatan bukanlah cita-cita, tetapi hanya alat untuk meraih cita-cita, cita-cita yang sejati adalah kembali ke kampung asal di SURGA
Lihat profil lengkapku