Gambar Slide

Gambar Slide
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Gugatan perwakilan kelompok atau yang lebih dikenal dengan istilah class action yakni merupakan suatu prosedur pengajuan gugatan dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Dalam kenyataannya gugatan secara class action banyak sekali terjadi akhir-akhir ini, terutama kasus-kasus yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi masyarakat. Akan tetapi masih banyak juga masyarakat awam yang tidak mengerti mengenai arti atau makna class action itu sendiri. Seperti diketahui, munculnya beberapa kasus gugatan perwakilan kelompok, baik gugatan class action maupun legal standing ke pengadilan akhir-akhir ini merupakan salah satu fenomena baru dalam praktik peradilan perdata di Indonesia. Meskipun demikian pada umumnya gugatan legal standing yang diajukan ke pengadilan selama ini hampir selalu dinyatakan tidak diterima atau Niet Onvankellijk verklaard, dimana hal itu terjadi dikarenakan beberapa alas an diantaranya adalah secara procedural gugatan class action dan legal standing belum diatur secara jelas dalam perundang-undangan. Selain itu sering pula dipersoalkan apakah pihak penggugat yang mengajukan gugatan secara hukum mempunyai kapasitas atau kewenangan untuk mengatasnamakan kepentingan public atau kepentingan masyarakat kelompok yang diwakilinya.

Class action itu sendiri sebenarnya lebih dikenal di Negara-negara yang menganut sistem hukum common law daripada di Negara-negara yang menganut sistem hukum civil law. Dimana dalam sejarahnya sendiri class action pertama kali diperkenalkan di Inggris, dimana merupakan Negara yang melahirkan sistem common law. Dan di Negara-negara yang tidak menganut sistem common law tersebut hanya mengadopsi dan disesuaikan dengan hukum yang berlaku di negaranya masing-masing, termasuk juga Indonesia. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa hak gugat (legal standing) baru dimilik oleh beberapa ORNOP-ORNOP di Indonesia yaitu diantaranya organisasi lingkungan hidup, organisasi perlindungan konsumen, dan organisasi bidang kehutanan. Dan sekiranya kita perlu mengetahui apa class action itu sebenarnya dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pengajuan gugatan tersebut.

1.2 Rumusan masalah
Bagaimanakah perkembangan Class Action di Indonesia serta bagaimanakah penerapan praktek Class Action pada kasus yang terjadi di Indonesia?

1.3 Ruang Lingkup
Dalam tulisan ini mencakup masalah gugatan class action di Indonesia serta penerapannya dalam praktek pada kasus yang terjadi di Indonesia.

1.4 Metode penulisan
Metode yang penulis dipergunakan dalam mengkaji permasalahan tersebut di atas adalah dengan mengunakan metode normatif dan metode kepustakaan. Metode normatif artinya penulis menggunakan bahan-bahan hukum primer seperti undang-undang dan peraturan lainnya dalam menganalisis dan mengakaji permasalahan. Penulis mencari sendiri dalam bahan hukum primer tersebut hal-hal yang berhubungan dengan pemecahan permasalahan yang telah diatur dalm hukum primer yang sudah berlaku secara normatif. Sedangkan metode kepustakaan, artinya penulis menggunakan bahan-bahan hukum sekunder dalam memberikan pemecahan permasalahan. Bahan hukum sekunder itu diantarannya berbagai buku bacaan dan berbagai literatur yang ditulis oleh para sarjana dan berbagai sumber informasi yang dapat digunakan seperti dalam internet dan sebagainya.
Sedangkan teknik pengolahan data pada karya tulis ini adalah dianalisis secara kualiitatif berdasarkan data acuan berupa suatu kasus sehingga mendapat suatu data yang valid (sah) tentang permasalahan yang dibahas.

BAB II
PEMBAHASAN

Seperti telah diketahui, bahwa istilah class action itu sendiri tidak begitu dikenal di Negara-negara yang tidak menganut sistem hukum common law. Akan tetapi dinegara-negara tersebut hanya mengadopsi class action tersebut dan disesuaikan dengan hukum yang berlaku di negaranya masing-masing. Di Indonesia sendiri sejarah class action dibagi atas dua periode yaitu sebelum adanya pengakuan class action dan setelah adanya pengakuan class action. Adapun yang menjadi tolak ukur dari pengakuan class action adalah dengan dikeluarkannya UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
a. Periode sebelum adanya pengakuan class action
Meskipun sebelum tahun 1997 belum ada aturan hukum yang mengatur mengenai class action, namun gugatan class action sudah pernah dipraktekkan dalam dunia peradilan di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya gugatan class action yang pertama kali dilakukan di Indonesia yaitu pada tahun 1987 terhadap kasus R.O. Tambunan melawan Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors dimana diajukan di PN Jakarta Pusat. Menyusul kemudian kasus Muchtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta dan Kakanwil Kesehatan DKI (kasus endemic demam berdarah) di PN Jakarta Pusat pada tahun 1988 dan kasus YLKI melawan PT.PLN Persero (kasus pemadaman listrik se-Jawa Bali tanggal 13 April 1997) pada tahun 1997 di PN Jakarta Selatan.

b. Periode setelah adanya pengakuan class action
Class action dalam hukum positif di Indonesia baru diberikan pengakuan setelah diundangkannya UU Lingkungan Hidup pada tahun 1997 yang kemudian diatur pula dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Kehutanan pada tahun 1999. Akan tetapi ketiga UU tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur dan acara dalam gugatan perwakilan kelompok (class action). Sebelum tahun 2002 gugatan secara class action dilaksanakan melalui prosedur yang sama dengan gugatan perdata biasa. Adapun ketentuan khusus yang mengatur mengenai acara dan prosedur class action baru diatur dalam PERMA No. I Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Dalam aturan hukum Indonesia pengaturan mengenai class action diatur dalam bentuk perundang-undangan, diantaranya yaitu :
A. UU No.23 Tahun1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dalam pasal 37 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.
Adapun syarat dalam pengajuan gugatan dalam UU ini adalah sbb:
a. berbentuk badan hukum atau yayasan
b. dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup
c. telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

B. UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 46 ayat 1 huruf b menyebutkan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Selanjutnya dalam penjelasannya menyebutkan bahwa undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan ini harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satunya adalah adanya bukti transaksi.
Adapun syarat dalam pengajuan gugatan dalam UU ini adalah sbb:
a. harus berbentuk badan hukum atau yayasan
b. dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

C. UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Dalam pasal 38 ayat 1 Undang-undang No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara orang-perorangan, kelompok dengan pemberian kuasa, kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan.

D. UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Diatur dalam pasal 71 ayat 1 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
Adapun syarat dalam pengajuan gugatan ini adalah:
a. berbentuk badan hukum
b. dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

E. Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
Dimana terdiri dari 6 bab yaitu:
I. Mengenai ketentuan umum
II. Mengenai tata cara dan persyaratan gugatan perwakilan kelompok
III. Mengenai pemberitahuan atau notifikasi
IV. Mengenai pernyataan keluar
V. Mengenai putusan
VI. Mengenai ketentuan penutup
Wakil kelompok dalam class action harus dibedakan dengan ORNOP yang oleh peraturan diberi hak gugat (legal standing) mewakili kepentingan orang banyak, misalnya para konsumen, kepentingan perlindungan lingkungan, hutan, dsbnya. Wakil kelompok dalam class action berasal dari kelompok yang mempunyai kepentingan dan mengalami kerugian yang sama dengan kelompok yang diwakilinya, sedangkan oraganisasi lingkungan, organisasi konsumen, organisasi kehutanan, dsbnya bukan pihak yang mengalami kerugian atau permasalahan secara konkret.
Meskipun beberapa peraturan perundang-undangan diatas sudah meletakkan dasar-dasar gugatan perwakilan kelompok, akan tetapi implementasinya sering dihadapkan pada kendala teknik procedural, karena seperti diketahui bahwa dalam hukum acara perdata positif Indonesia dianggap tidak mengatur procedur gugatan perwakilan kelompok.
Adapun ketentuan mengenai prosedur pengajuan gugatan ini diatur secara khusus dalam PERMA No.1 tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok. Namun sepanjang tidak diatur PERMA No. 1 tahun 2002 maka dapat berlaku juga ketentuan dalam hukum acara perdata yang berlaku (HIR/RBg). Dalam kasus class action berlaku juga ketentuan hukum acara perdata yang mensyaratkan, apabila wakil kelompok pihak diwakili atau didampingi oleh pengacara maka diwajibkan untuk membuat surat kuasa khusus antara wakil kelompok kepada pengacara. Adapun hal yang menarik pada pengacara dalam class action adalah dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 pasal 2 huruf d dimana menyebutkan bahwa hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan pergantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompok. Dalam hal ini sebenarnya diperlukan adanya keberanian hakim untuk melakukan terobosan hukum dengan melakukan penemuan hukum (rechvinding), dalam upaya membuat putusan-putusan yang memenuhi perasaan keadilan masyarakat meskipun suatu perkara tidak diatur secara jelas dalam perundang-undangan. Adapun hakim dapat menggunakan metode penemuan hukum yang ada, seperti interprestasi, analogi maupun eksposisi/konstruksi hukum. Hakim tidak perlu terpaku pada undang-undang saja, tetapi hakim dapat mempergunakan sumber hukum lainnya seperti hukum kebiasaan, yurisprudensi, doktrin, SEMA/PERMA, dll.
Dengan diakui dan diterimanya gugatan perwakilan, baik legal standing maupun class action tersebut dalam praktik maka terdapat beberapa manfaat utama, yaitu:
1. mencapai peradilan yang lebih ekonomis
2. memberi peluang yang lebih besar ke pengadilan, dan
3. merubah perilaku yang tidak pantas dari para pelanggar atau
orang-orang yang potensial melakukan pelanggaran.
Adapun terdapat beberapa kasus class action yang dapat kita lihat sebagai bahan kajian dalam memahami mengenai gugatan class action ini, yaitu salah satunya adalah mengenai kasus gugatan class action Banjir Jakarta Tahun 200. kasus posisinya yaitu dimana pada tahun 2002 tepatnya pada bulan Januari-Februari 2002 terjadi banjir yang sangat besar di Jakarta dan sekitarnya yang mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit baik materiil maupun immaterial yang sifatnya individual maupun komunal yang diderita oleh kurang lebih 8.300.000 jiwa warga Jakarta. Kerugian tersebut terjadi salah satunya disebabkan karena tidak adanya peran pemerintak sebagai pelayan public terutama dalam hal pemberian peringatan dini dan respon cepat darurat pada waktu terjadinya peristiwa tersebut. Berdasarkan hal tersebut warga Jakarta melakukan upaya hukum untuk menuntut perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, dan karena korban jumlahnya banyak, serta memiliki kesamaan fakta, dasar hukum, serta kesamaan jenis tuntutan maka digunakan prosedur gugatan class action. Adapun gugatan diajukan di PN Jakarta Pusat pada bulan Maret 2002, dimana sebagai penggugat adalah warga Jakarta korban banjir yang terdiri dari 15 orang wakil kelompok yang memiliki penggugat dalam klasifikasi wakil kelompok sbb:

1. korban banjir yang mengalami kerugian/hilangnya jiwa
2. korban banjir yang menderita sakit
3. korban banjir yang menderita kerugian kehilangan harta benda
4. korban banjir yang menderita kerugian kerusakan harta benda
5. korban banjir yang menderita kerugian kehilangan keuntungan yang seharusnya didapatkan.
Sedangkan dasar kesamaan kedudukan dan kepentingan hukum para wakil kelompok dalam kaitan dengan prosedur gugatan class action pada waktu itu dipakai beberapa ketentuan yang secara eksplisit mengatur prosedur gugatan class action seperti UU No.23 Tahun 1997 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta beberapa peraturan lain serta yurisprudensi yang ada. Sedangkan sebagai tergugat adalah:
1. Negara RI cq. Presiden RI sebagai tergugat I
2. Negara RI cq. Presiden RI cq. Gubernur Kepala Daerah Tk 1
Prov. DKI Jakarta sebagai tergugat II
3. Negara RI cq. Presiden RI cq. Gubernur Kepala Daerah Tk. 1
Prov. Jawa Barat sebagai pihak turut tergugat.
Pada tanggal 26 Maret 2002 berlakulah Perma No. 1 Tahun 2002 yang mengatur acara gugatan perwakilan kelompok, sehingga beberapa aturan dalam Perma ini kemudian dijadikan alasan bagi para tergugat dan turut tergugat dalam mengajukan eksepsinya, beberapa hal yang dipermasalahkan diantaranya adalah:
 Gugatan tidak mendasarkan pada aturan/UU spesifik yang telah mengatur /mencantumkan mekanisme gugatan perwakilan kelompok.
 Sesuai dengan PERMA untuk sahnya gugatan perwakilan kelompok harus dituangkan dalam bentuk penetapan sehingga gugatan harus dianggap premature dan dinyatakan tidak diterima.
 Penggunaan istilah wakil kelas sebagai pengganti istilah penggugat.
 Mempertanyakan legalitas wakil kelas.
Akan tetapi majelis hakim tidak mengabulkan eksepsi dari tergugat dan turut tergugat dalam putusan selanya dengan pertimbangan hukum karena ketika pemeriksaan dimulai PERMA belum berlaku sehingga ketentuan dalam PERMA yang muncul kemudian tidak dapat berlaku surut. Dalam putusan selanya Majelis juga menetapkan untuk melanjutkan proses peradilan untuk memeriksa pokok perkaranya dan meminta penggugat untuk melakukan pemberitahuan kepada anggota kelas lewat media massa seperti yang diatur dalam PERMA.
Setelah dilakukan pemeriksaan di persidangan akhirnya Majelis Hakim dalam putusannya menolak gugatan 15 orang warga korban banjir. Dalam putusan akhirnya, majelis hakim menolak dalil para penggugat class action. Majelis menilai bahwa yang bertanggung jawab terhadap banjir di Jakarta bukanlah Gubernur DKI, melainkan masing-masing walikota di 5 wilayah DKI. Majelis berpendapat bahwa berdasar UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kewengan otonomi berada pada tingkat Kotamadya dan atau Kabupaten, bukan pada propinsi. Oleh karena itu, hanya pemerintahan kabupaten dan kotamadya yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum baik didalam maupun diluar pengadilan. Selain itu disebutkan pula bahwa tergugat II (Gubernur DKI) telah berdaya upaya telah berusaha menanggulangi dan mengendalikan banjir di Jakarta sepanjang Januari-Februari 2002.
Selain itu, dalam gugatan class action dimungkinkan juga terjadi perdamaian antara penggugat dengan tergugat. Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara. Sebelum dilakukan upaya perdamaian dalam class action, pihak penggugat harus mendapatkan persetujuan dari anggota kelompok. Persetujuan ini dapat menggunakan mekanisme pemberitahuan. Pada umumnya upaya perdamaian ini dilakukan diluar proses persidangan, dimana biasanya diantara pihak-pihak dilakukan perjanjian perdamaian secara tertulis diatas kertas bermaterai. Adapun kekuatan putusan perdamaian sama kuatnya dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya, dan dalam hal para pihak sepakat melakukan perdamaian maka tidak dimungkinkan upaya banding.


BAB III
PENUTUP

Implementasi gugatan perwakilan kelompok, baik gugatan class action maupun legal standing dalam praktik peradilan di Indonesia sampai sekarang ini masih sering dihadapkan pada kendala yang bersifat teknis procedural. Peraturan perundang-undangan yang mengaturnya masih sebatas hukum materiil, sedangkan dalam hukum formilnya tidak diatur secara jelas. Ketiadaan ketentuan procedural dalam hukum formil yang mengaturnya, sebenarnya bukan merupakan halangan bagi hakim untuk memberikan putusan yang adil, karena hakim dapat menggunakan sumber hukum lainnya. Hakim harus mempunyai keberanian untuk melakukan terobosan hukum dengan menggunakan penemuan hukum (rechtsvinding) sehingga eksistensi gugatan legal standing dapat diakui dan diterima dalam praktik peradilan di Indonesia.
(sumber : Dokumen Hukum Blog)
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) mewacanakan untuk mendapat anggaran lembaga peradilan yang tetap dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal tersebut agar lembaga peradilan memiliki independensi yang kuat.

"Maksudnya itu adalah bahwa lembaga peradilan harus mendapatkan anggaran yang pasti. Tidak perlu minta-minta lagi sama pemerintah, sama DPR," kata Ketua MA Harifin Tumpa, kepada wartawan, seusai salat Jumat, di Gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (19/11/2010).

Menurut dia, jatah anggaran yang pasti ini contohnya seperti anggaran pendidikan sebanyak 20 persen. Pos mata anggaran yang diusulkannya ini bernama anggaran peradilan. Kendati demikian, dia pun tidak meminta jumlah yang banyak untuk usulannya ini.

"Ya mungkin kalau misalnya lembaga peradilan 1 persen atau di bawah 1 persen, jadi tergantung, tidak lagi lembaga peradilan harus berjuang mendapatkan anggaran," jelasnya.

Wacana ini didasarkan pada hasil konferensi MA sedunia di Turki dua pekan lalu. Salah satu yang menjadi pokok pembahasan adalah independensi anggaran peradilan.

Menurut Harifin, pendapat internasional sangat bagus jika diterapkan di Indonesia. Pasalnya, ia kerap kesulitan mendapatkan anggaran untuk mengembangkan peradilan. Ia juga menilai, ketergantungan anggaran terhadpa pemerintah dan DPR bisa mengurangi independensi hakim.

"Kami akan segera menyampaikan pendapat internasional mengenai hal itu kepada DPR," jelasnya.
Surabaya | Badilag.net.
Buku berjudul “Technology For Justice, How Information Technology Can Support Judicial Reform”, terbitan Leiden University Press akhir tahun 2009, menarik perhatian Dirjen Badilag, Wahyu Widiana. Buku, hadiah dari Haemiwan Z. Fathony, pakar IT bidang hukum, ini selama ini selalu menjadi santapannya sehari-hari.
Buku setebal 310 halaman ini merupakan disertasi doktor Dory Reiling, seorang hakim pada pengadilan tingkat pertama Amsterdam yang pernah menjabat sebagai IT Policy Officer untuk peradilan Belanda dan sebagai Pakar Senior dari World Bank Judicial Reform. Dalam pengantar presentasinya pada pertemuan dengan sekitar 100 pimpinan, hakim dan operator IT dari PTA dan PA se Jawa Timur, tentang Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, di aula PTA Surabaya, kemarin (2/11) siang, Dirjen membacakan beberapa kalimat dari buku itu.
“Court users all over the world complain mainly about long delays, lack of access to justice and court corruption. ...there are claims that each of them can be resolved with information technology...”. Itulah di antara kalimat-kalimat yang dibaca Dirjen.
“Saya sangat setuju dengan tulisan itu. Pemanfaatan teknologi yang tepat dan menyeluruh dapat menghilangkan, atau setidak-tidaknya sangat mengurangi 3 (tiga) keluhan utama yang disampaikan oleh para pengguna pengadilan, yaitu (1) proses pengadilan yang terlalu lama, (2) keadilan atau pengadilan yang sulit diakses, dan (3) pengadilan yang korup”, kata Dirjen menegaskan.

Yang menarik lagi, keluhan itu sudah terjadi sejak dulu, sampai sekarang. Dory menulis pada halaman 17, “Over the centuries and all over the world, three major complaints have been heard that can still be heard today”.

Implementasi Pemanfaatan Teknologi di Lingkungan Peradilan Agama.

Menyadari manfaat yang besar dari penggunaan TI untuk kepentingan penyelenggaraan peradilan, 5 tahun terakhir ini, Ditjen Badilag dengan gencar melakukan upaya pembangunan TI dan pembudayaan penggunaannya di lingkungan peradilan agama.

“Kami betul-betul terinspirasi ketika saya dan rombongan pertama dari peradilan agama melakukan study khusus ke Family Court of Australia tahun 2006”, kata Dirjen kepada Badilag.net, usai pertemuan itu.

“Dengan tekad yang kuat -walaupun anggaran, sarana dan SDM terbatas-, kawan-kawan di Badilag bekerja keras melakukan pembangunan, pengembangan dan pembudayakan IT. Saya senang dan salut kepada kawan-kawan yang kompak dan bekerja tanpa pamrih”, kata Dirjen sambil menyebutkan beberapa nama seperti Asep Nursobah, Helmi, Endah, Hirpan, Cholil, Iwan, Ridwan, Wahyu Setiawan, Rosmadi, Hermansyah, Yakub, Nasich, Zeinuddin, Yusuf dan lainnya.

“Saya juga senang, kawan-kawan di daerah semuanya mendukung dan berlomba-lomba mengembangkan kreativitasnya di bidang IT untuk kepentingan pelayanan, walau dengan keterbatasan sumber daya”, tambah Dirjen. “Bahkan, banyak kawan-kawan yang telah menjadikan IT sebagai hobbi”, tambahnya lagi.

Rasa senang Dirjen juga nampak, sebab sebagai hasil dari kreativitas dan hobi itu kini sudah banyak jenis aplikasi yang dibangun dan dikembangkan, baik di lingkungan Badilag sendiri, maupun di lingkungan peradilan agama se Indonesia. Ada situsweb, SIMPEG, SIADPA, SIADPAWEB, SMS Gateway, NIR, Info Touchscreen, Info Jadwal Sidang pada TV Plasma, Baarcode System, Qeuee System, dan lain-lain.

Three Major Complaints dan IT di Peradilan Agama.

Mestinya, jika aplikasi-aplikasi itu sudah diimplementasikan dengan baik di seluruh PTA dan PA, tiga keluhan utama para pengguna pengadilan seperti dikemukakan Dory, akan hilang atau berkurang secara signifikan.

Keluhan pertama, proses peradilan yang dianggap terlalu lama (delays), dapat diatasi dengan penggunaan SIADPA. SIADPA yang tidak lain adalah ‘case management’ atau pola bindalmin yang diotomatisasi, dapat mempercepat proses penanganan perkara sejak pendaftaran, sampai putusan dan pelaporan.

Sedangkan keluhan kedua, ‘lack of access to justice’ bisa dirubah menjadi ‘easy to access’, dengan memanfaatkan situsweb dan touchscreen information. Alamat dan profil pengadilan, biaya perkara, prosedur berperkara, hak-hak yang berperkara, jadwal sidang, panggilan ghaib, statistik dan data lainnya sangat mudah untuk dilihat pada situsweb atau pada touchscreen. Dari rumah masing-masing, masyarakat bisa melakukan akses langsung melalui internet.

Keluhan ketiga, ‘court corruption’, dapat dikurangi dengan transparansi yang tinggi, baik mengenai biaya perkara, proses berperkara, publikasi putusan yang segera setelah dibacakan, jadwal sidang, dan SOP-SOP yang jelas. Semuanya ini dapat disajikan secara terbuka pada situsweb. Transparansi yang tinggi dapat menghalangi adanya korupsi. Namun tetap, kuncinya adalah integritas dari para hakim dan seluruh aparat pengadilan.

“Larangan bertemu atau berkomunikasi antara pencari keadilan dengan para hakim atau aparat lainnya yang tidak berwenang, dapat mengurangi kesempatan yang dapat mengarah kepada adanya tindakan korupsi”, tegas Dirjen.

“Agar larangan tersebut tidak mengurangi hak para pencari keadilan dalam mendapatkan informasi, pengadilan dapat memanfaatkan aplikasi pengaduan pada situswebnya, atau membuka hotline pengaduan melalui tilpon, sms atau tatap muka dengan petugas yang sudah disiapkan untuk itu”, tambahnya lagi.

“Pokoknya, dengan mengembangkan aplikasi-aplikasi berbasis teknologi secara baik, saya yakin, pelayanan publik akan menjadi lebih baik. Ini akan sangat mengurangi keluhan-keluhan para pencari keadilan”, ujar Dirjen penuh keyakinan.

Yang Kini Perlu Dilakukan.

Jenis-jenis teknologi yang kini sudah berkembang di lingkungan peradilan agama dinilai Dirjen sudah lebih dari cukup untuk menuju pelayanan publik yang lebih baik.

“Yang perlu dilakukan, kini, adalah mengerahkan segala daya yang ada untuk mengefektifkan penggunaan IT tersebut seoptimal mungkin. Caranya antara lain dengan melakukan pelatihan secara formal dan DDTK terus menerus, melengkapi sarana yang kurang, melengkapi dan meng’update’ data pada situsweb secara rutin, mengupayakan pemanfaatan SIADPA sebaik mungkin, dan lain-lain”, kata Dirjen.

“Yang paling penting lagi adalah perhatian pimpinan dalam melakukan peningkatan pembudayaan penggunaan IT. Saya mengharapkan agar para pimpinan dan para hakim PA/PTA memberikan perhatian yang besar terhadap pemanfaatan IT ini”, pinta Dirjen.

Oleh karena itu, Dirjen sangat mengapresiasi kebulatan tekad PTA Surabaya, yang dibacakan setelah pertemuan kemarin itu, untuk meningkatkan pemanfaatan IT dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi. Semua hakim tingginya dituntut untuk meningkatkan keterampilan dalam bidang IT dan memonitor pemanfaatan IT di seluruh PA yang ada di wilayahnya, sesuai dengan pembagian tugas Hatiwasda.

Memang sudah banyak dirasakan, betapa besar manfaat teknologi untuk penyelenggaraan peradilan. “Namun, cara-cara konvensional yang sederhana praktis, mudah, murah dan efektif janganlah ditinggalkan. Dan, di atas segala-galanya adalah niat yang tulus, perhatian yang konsisten dan integritas yang tinggi dari para pimpinan pengadilan dan seluruh aparatnya”, kata Dirjen mengakhiri dialognya dengan Badilag.net.


( Study pertentangan antara asas legalitas formal dan asas legalitas materiil )

Oleh: Pramadya Khairul Awaludin Al-madiuny

Abstrak Prinsip “Legality” merupakan konsep dasar, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” – konsep, maupun oleh faham “Rechstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”, bahkan dalam syariah islamiyah. Indonesia dewasa ini masih berpegang teguh dengan asas legalitas, walaupun asas legalitas sering mengabaikan keadilan hukum. Kata Kunci: asas legalitas, kepastian hukum, keadilan sosial
A. Pendahuluan
Pasal 1 ayat 1 KUHPidana memuat asas (beginsel) yang teercakup dalam rumus (formule) : nullum dellictum, nulla poenasiene lege poenali, yaitu tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahuklu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai delik dan memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu. Pada mulanya saya respek dan sempat kaget terhadap pasal ini karena menurut saya yang baru belajar hukum pidana pasal ini hampir mirip dengan ayat yang pernah saya pelajari di hukum islam yang bertumpu pada ayat ” wa maa kunnaa mu’adzibina hatta nab’atsa rasuula” ” kami (allah) tidak menjatuhkan siksa sebelum kami mengutus seorang rasul” yang kemudian ayat ini melahirkan kaidah fiqhiyyah ” la hukma li af’al al’uqola qobla wurudi al-nash” (tidak ada hukum bagi orang brakal sebelum ada ketentuan nashnya).
Terlepas dari membanding-bandingkan antara asas legalitas yang ada di hukum islam dan KUHP, ada sedikit permasalahan yang yang dapat saya tuliskan ketika kita memahami bunyi pasal 1 ayat 1 KUHP : Pertama, Tentang konfrontasi antara kepastian hukum dan keadilan sosial bagi orang atau barang siapa yamg ingin menegakkan atau menjalankan undang-undang pidana, karena pasal 1 ayat 1 merupakan tiang-tiang dari hukum pidana. Pertentangan tersebut terjadi karena pasal 1 ayat 1 menghendaki adanya peraturan sebelum tindakan yang dianggap melanggar hukum itu terjadi hal ini menunjukkan tentang kepastian hukum dan mengesampingkan keadilan, hal itu disebabkan karena proses hukum pidana bermuara pada penjatuhan pidana. Sungguh kiranya hal ini tidak akan mencerminkan nilai-nilai keadilan bagi korban apabila pemidanaan itu saat terpidana tersebut melakukan perbuatan, akan tetapi aturan hukumnya yang mengancam perbuatannya belum ada.
Pasal 1 ayat 1 lebih mementingkan kepastian hukum diatas keeadilan sosial, Jika kita berpegang secara teguh terhadap asas legalitas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP maka pertanyaan ini tak akan muncul, karena konsekuensinya sudah jelas, yaitu terhadap perbuatan yang demikian tak akan ada hukumannya dan pelakunya bebas dari jerat hukum. Pertanyaan ini menjadi lebih tajam jika dikaitkan dengan persoalan keadilan bagi para korban kejahatan, apakah hukum akan mengabaikan salah satu fungsinya dengan membiarkan ketidakadilan bagi para korban dengan menguntungkan pelaku kejahatan. Perlu diingat hal itu akan mencederai keadilan hukum yang ada di masyarakat khususnya hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law). Sekarang permasalahan yang konkrit yang akan saya angkat dalam makalah ini adalah bagaimana menyikapi pertentangan tersebut? Mana yang kita dahulukan antara kepastian hukum dan keadilan hukum?
B. ISI
Saya awali pembahasan ini dengan lebih detail dari sejarah asas legalitas dan akan saya lanjutkan ke dalam pembahasan penerapan asas legalitas yang ada pada pasal 1 ayat 1 di dalam hukum indonesia. Sejarah dan perkembangan asas legalitas Memaknai Asas Legalitas memang tercantum di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Kalau redaksionalitas kata-katanya asli dalam bahasa Belanda disalin ke dalam bahasa Indonesia, makan berbunyi : ”Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Perlu pula untuk menjadi perhatian bahwa menurut Moeljatno istilah feit itu juga diartikan dengan kata ”peristiwa”, karena dengan istilah feit itu mengandung suatu pengertian sebagai perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hukum pidana maupun perbuatan yang mengabaikan sesuatu yang diharuskan. Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan.
Berlakunya Hukum Pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Hazewinkel- Suringa berpendapat, jika suatu perbuatan (feit) yang memenuhi rumusan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan saja hal itu tidak dapat dituntut tetapi untuk orang yang bersangkutan sama sekali tidak dapat dipidana, itulah legalitas yang mengikat perbuatan yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang. Makna Asas Legalitas yang tercantum di alam Pasal 1 ayat (1) KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”.
Sering juga dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen sine lege stricta, yang dapat diartikan dengan: ”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”. Hazewinkel-Suringa memakai kata-kata dalam bahasa Belanda ”Geen delict, geen straf zonder een voorfgaande strafbepaling” untuk rumusan yang pertama dan ”Geen delict zonder een precieze wettelijke bepaling” untuk rumusan kedua. Ada dual hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari rumusan tersebut : 1) Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana maka perbatan atau pengabaian tersebut harus tercantum di dalam undang-undang pidana. 2) Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang tercantum di dalam pasal 1 ayat (2) KUHP. Moelyatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian : 1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas). 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Meskipun rumus itu dalam bahasa Latin, namun ketentuan itu, menurut Andi Hamzah, tidaklah berasal dari hukum Romawi. Hukum Romawi tidak mengenal Asas Legalitas, baik pada masa republik maupun sesudahnya.
Rumus itu dibuat oleh Paul Johann Aslem von Feuerbech (1775-1833), seorang pakar hukum pidana Jerman di dalam bukunya : ”Lehrbuch des peinlichen Rechts” pada tahun 1801. Jadi merupakan produk ajaran klasik pada permulaan abad ke sembilan belas (Beccaria). Adagium dari von Feuerbach itu dapat dialirkan menjadi tiga asas seperti yang dirumuskan oleh W.A. van der Donk, yaitu nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine, nullum crimen sine poena legali. Ternyata pengapilkasian adaqium ini memiliki berbagai pandangan tentang ”nulla poena sine lege”, bahwa di dalam dasar yang sama itu disatu pihak lebih menitik beratkan kepada asas politik agar rakyat mendapat jaminan pemerintah tidak sewenang-wenang (Monstesquieu dan Rousseau), dan di lain pihak menitik beratkan kepada asas hukum yang terbagi atas titik berat pada hukum acara pidana dengan maksud peraturan ditetapkan lebih dahulu agar individu mendapat perlindungan dan para penerap hukum terikat pada peraturan itu, dan yang paling terkenal adalah fokus yang menitik beratkan pada hukum pidana pidana materiel dengan maksud setiap pengertian perbuatan pidana dan pemidanaannya itu didasarkan pada undang-undang yang ada (Beccaria dan von Feurbach).
Menurut Hazewinkel-Suringa, pemikiran yang terkandung di dalam rumusan tersebut ditemukan juga dalam ajaran Montesquieu mengenai ajaran pemisahan kekuasaan, bukan hakim yang menyebutkan apa yang dapat dipidana, pembuat undang-undang menciptakan hukum. Pembuat undang-undang tidak saja menetapkan norma tetapi juga harus diumumkan sebagai norma-norma sebelumperbuatan. Manifestasi pertama kali di dalam Konstitusi Amerika pada tahun 1783 dan berikutnya dan kemudian di dalam Pasal 8 Declaration desdroits de l’homme et du citoyen tahun 1789.
Akhirnya muncul di dalam Pasal 4 Code Penal dan WvS Belanda yang kemudian turun ke KUHP Indonesia, dan KUHP Belgia pada Pasal 2. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, Asas Legalitas dalam KUHP Indonesia (yang berasal dari WvS. Ned.) ini sebenarnya merupakan peraturan yang tercantum dalam Declaration Des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789, yang berbunyi: ”Tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya”. Pandangan ini dibawa oleh Lafayette dari Amerika ke Perancis setelah ia membaca dan mempelajari Bill of Rights Virginia tahun 1776 (Bill of Rights = Piagam Hak Asasi Manusia). Dalam Bill of Rights hanya ditentukan, bahwa tidak ada orang yang boleh dituntut atau ditangkap selain dengan dan dalam peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam undang-undang. Jadi asas ini memberikan perlindungan terhadap tuntutan dan penangkapan sewenang-wenang.
Asas ini berasal dari Habeas Corpus Act tahun 1679 (UU. Inggris yang menetapkan bahwa seseorang yang ditangkap harus diperiksa dalam waktu singkat), yang pada gilirannya berasal dari Pasal 39 Magna Charta tahun 1215, yang memberikan perlindungan terhadap penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum atau undang-undang (vogelvrij), selain dari jika dijatuhkan putusan pengadilan yang sah oleh “orang-orang yang sederajad” dari orang yang bebas dituntut itu. Diketahui dalam perjalanan sejarah bahwa Belanda pun yang menganut asas itu didalam KUHP, didalam situasi yang darurat, pernah meninggalkan asas itu, yaitu pada tanggal 22 Desember 1943 di London saat dikeluarkan Keputusan Luar Biasa tentang Hukum Pidana (S.d 61), mengenai beberapa delik terhadap keamanan Negara dan kemanusiaan diberlakukan ketentuan yang berlaku surut. Bahwa pidana mati yang tidak kenal di dalam KUHP Belanda dapat dikenakan sebagai hukum negara dalam keadaan darurat, sebagaimana kita kenal dengan istilah “abnormal recht voor abnormal tijden”., walaupun menurut Pasal 1 ayat (1) KUHP di Indonesia dianut asas legalitas, namun dahulu sewaktu masih adanya pengadilan Swapraja dan pengadilan adat, dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 1 Drt Tahun 1951 Pasal 5 ayat (3) nurit b, hakim menjatuhkan pidana penjara maksimum 3 (tiga) bulan dan/ atau denda paling banyak lima ratus rupiah bagi perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap delik yang belum ada padanannya di dalam KUHP.
Penerapan asas legalitas di dalam hukum indonesia. Dari uraian di atas dapat ditegaskan hal-hal penting yang merupakan dasar kelahiran asas legalitas sebagai bangunan fondasi hukum: 1. Asas legalitas sebgai sarana utama untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa dalam pemidanaan, maksudnya segala kewenangan penguasa harus berdasarkan peraturan perundang-undanganyang telah ditetapkan. 2. Sebagai sarana kepastiam hukum bagi rakyat, hal ini berarti asas legalitas dapat menjadi sarana mewujudkan keadilan dalam pemidanaan dalam satu segi. 3. Sebagai sarana pencegahan kejahatan. Uraian sedikit diatas Nampak fungsi asas legalitas sangat urgen, akan tetapi ada dampak negatif jika ditinjau dari sisi lain seperti berikut: 1. Keberadaan asas legalitas khususnya formil/ hukum tertulis menyebabkan hukum pidana dan praktek penegakanya menjadi kaku. Karena tidak semua tindakan tercela selalu sudah ada aturan hukumnnya secara tertulis. 2. Keberadaanya asas legalitas secara tidak langsung akan menyebabkan lenyapnya fakta social berupa eksistensi hukum pidana adat yang masih dijunjung tinggi di Indonesia ini. 3. Keberadaanya akan menyuburkan faham individualitas yang berseberangan dengan paham kolektifitas Perlu dipahami untuk bisa membuktikan seseorang benar-benar telah melakukan suatu tindak pidana, pertama harus diperhatikan dahulu perbuatan orang tersebut memang sudah ada diatur dalam hukum yang menegaskan sebagai perbuatan tercela/terlarang.
Maksud dari ini adalah “hukum” sebagai dasar menilai perbuatan orang tersebut adalah adakalanya bisa berupa Hukum tertulis atau Undang-undang (berarti asas legalitas formil) tetapi juga berupa hukum tidak tertulis( asas legalitas material) kedua, fakta menunjukkan perbuatan orang tersebut memenuhi unsure tindak pidana sesuai dengan hukum. Namun yang perlu digarisbawahi yaitu pemahaman tentang wujud pengertian asas legalitas material, yang tidak kaku harus berdasarkan hukum yang tertulis saja. Menurut hemat saya asas legalitas materiel mengakui keberadaan hukum adat atau bahkan hukum yang tidak tertulis. Perlu disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan colonial Belanda. Sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang.
Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya. Sebagai peraturan peninggalan Belanda, asas legalitas kemudian menjadi problem dalam penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen.
KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan bidang perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu. Tetapi, dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan pengadilan adat memungkinkan diterapkannya pidana adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) walaupun tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, asas legalitas dalam praktek di Indonesia tidak diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki Pasal 1 KUHP.
Melalui asas legalitas, hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan cermat. Sementara hukum yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis. Pada dasarnya, munculnya terminologi hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RUHP tidak lain adalah untuk menunjuk hukum selain hukum yang dibentuk oleh negara. Dengan demikian, secara kasat mata RKUHP ini seolah membuka peluang pluralisme hukum walaupun mekanisme penyelesaiannya tetap menggunakan peradilan pidana. asas legalitas dihadapkan dengan pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Di Indonesia, dapat dikatakan hukum yang tidak tertulis itu kebanyakan adalah hukum adat.
Dalam konteks RKUHP termasuk di situ maksudnya adalah delik adat, penyebutan delik adat atau perbuatan pidana adat adalah kurang tepat, melainkan pelanggaran adat. Oleh karena sebenarnya yang dimaksud adalah penyelewengan dari berbagai ketentuan hukum adat, berupa sikap tindak yang mengganggu kedamaian hidup yang juga mencakup lingkup laku kebiasaan-kebiasaan yang hidup berupa kepatutan dalam masyarakat. Delik adat atau pelanggaran adat berasal dari istilah Belanda adat delicten recht. Istilah ini tidak dikenal dalam berbagai masyarakat adat di Indonesia. Lagi pula, hukum adat tidak membedakan antara hukum pidana dan hukum adat. Hukum pelanggaran adat dimaknai sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu. Di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dipakai kata-kata “perundang-undangan pidana” bukan undang-undang pidana, ini berarti bukan undang-undang dalam arti formal saja, tetapi juga meliputi semua ketentuan yang secara materiel merupakan undang-undang seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah dan lain-lain peraturan yang memiliki perumusan delik dan ancaman pidana, baik yang masuk dalam lingkup Hukum Perdata maupun Hukum Administrasi (Civil Penal Law dan Administrative Penal Law). Perlu pula untuk dikemukakan mengenai adanya pemdapat para pengarang yang pro dan kontra terhadap eksistensi asas legalitas tersebut di dalam KUHP Indonesia.
Hampir semua penulis yang disebut di dalam tulisan ini dapat digolongkan pro dianutnya asas legalitas, dan khusus untuk Indonesia, dapat disebut seorang penulis, yaitu Utrecht yang keberatan dianutnya asas tersebut di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut. Begitu pula asas tersebut menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat pelbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari segi yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai Negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan.
D. Kesimpulan
Bahwa Asas Legalitas masih harus dipandang perlu eksistensinya dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, hal ini disebabkan selain adanya suatu kepastian hukum, juga menghindari adanya suatu bentuk kesewenang-wenangan dari aparatur penegak hukum maupun penguasa dalam konteks yang lebih luas. Untuk mempertegas permasalahan di atas yaitu apabila terjadi pertentangan mana yang didahulukan antara kepastian hukum dan keadilan, perlu saya tulis bunyi pasal 12 draft RUU KUHP 2005-2006 yang kurang lebih berbunyi ” Dalam mempertimbangkan hukum yang diterapkan, hukum sejauh mungkin menerapkan keadilan di atas kepastian hukum”. RUU KUHP mungkin kedepan bisa di jadikan guidance (penunjuk) apabila ada dilemma pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal itu haruslah diperhatikan karena sering kali keadilan terdesak, maka apabila keadilan dan kepastian hukum saling mendesak maka hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum. Karena muara akhir dari tujuan hukum adalah keadilan social.
Nalar dan Wahyu
Filsafat dan Agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu manusia dan dunianya. Apabila yang satu membawa kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta manusia dan dunianya itu, dan yang lainnya dari akal manusia yang selalu diliputi kekurang-jelasan dan ketidakpastian, mengapa lalu orang masih sibuk dengan agama? Itulah pertanyaan yang tidak jarang dikemukakan oleh orang bertakwa terhadap usaha para filosof.
Itu memang ada benarnya. Pengetahuan mudah membuat orang menjadi sombong. Filsafat juga dapat membuat orang menjadi sombong, seakan-akan si filosof mengetahui segala-galanya, seakan-akan ia pasti lebih maju daripada orang yang saleh.
Akan tetapi, di lain fihak, orang yang bicara atas nama agama juga dapat berdosa karena sombong. Meskipun yang mau dibicarakan adalah wahyu Allah, namun ia dapat lupa bahwa ia sendiri tetap manusia, tetap terbatas dan tidak pasti dalam pengertiannya, juga dalam pengertiannya terhdap wahyu itu.
Jadi, dengan cara mengadakan "perhitungan", kita tidak akan maju jauh. Akan tetapi, pertanyaan di atas tetap perlu kita jawab. Apakah fungsi filsafat dalam berhadapan dengan agama yang menimba pengertiannya dari wahyu Allah ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu membicarakan hubungan antara wahyu dan akal budi.
I. Tiga Pandangan Ekstrem
Untuk membahas hubungan antara wahyu Ilahi dan akal budi manusia, sebaiknya kita bertolak dari tiga pandangan ekstrem tentang hubungan itu. Masing-masing pandangan hanya menekankan satu segi dan melalaikan segi-segi lainnya. Tiga pandangan itu adalah Rasionalisme, Fideisme dan Relativisme.
Sikap rasional tidak menuntut agar segala sikap harus dibuktikan secara lengkap atau "ilmiah. " Sikap rasional justru menerima keterbatasan seseorang dalam memastikan kebenaran suatu masalah. Dalam hampir semua pengandaian hidup, kita tergantung kepada pengertian dan kepastian orang lain dan masyarakat. Saya belum pernah pergi ke kota Jayapura, tetapi bukanlah sikap irasional kalau saya yakin bahwa kota itu ada; kalau pun saya pernah bermaksud pergi ke sana, saya tetap tidak dapat mengecek sendiri apakah kota itu betul-betul terletak di pantai utara Irian Jaya dan bahwa kota itu memang Jayapura. Adalah tidak bertentangan dengan sikap rasional, kalau kita dalam banyak hal mengandalkan pendapat orang lain, adat kebiasaan, bahkan perasaan kita sendiri (yang kadang-kadang lebih dapat dipercayai daripada sekedar pikiran pintar yang masuk ke kepala kita). Sikap rasional tidak menuntut kita untuk membuktikan segala-galanya sebelum kita mengandaikannya (misalnya, apakah sebuah jembatan yang akan kita lewati betul-betul masih cukup kuat). Tetapi, apabila pendapat atau pengandaian kita memang dipersoalkan, kita tidak boleh menjawabnya dengan mengacu kepada kebiasaan, kepercayaan, perasaan, pendapat orang atau otoritas di sekeliling kita, melainkan mencari pertimbangan-pertimbangan yang dapat dimengerti dan dicek oleh orang lain untuk menanggapi keberatan itu.
Jadi, sikap rasional itu kelihatan dalam tantangan. Orang yang bersikap tidak rasional adalah orang yang menolak tantangan semata-mata karena keyakinannya. Sedangkan orang yang bersikap rasional adalah orang yang betul-betul memperhatikan, memeriksa dan menjawabnya.
Sikap rasionalisme lebih dari itu. Seorang rasionalis tidak menerima sesuatu apapun yang tidak dibuktikan. Maka ia tidak dapat percaya pada cinta orang lain, pada pengalaman masyarakat yang tertuang dalam adat kebiasaan, dan tentu juta tidak percaya pada wahyu. Allah hanya mau diterima sejauh ia sendiri dapat mengertinya. Padahal Allah dengan sendirinya mengatasi jangkauan pengertian ciptaan. Maka rasionalisme adalah lawan agama.
Akan tetapi, seperti saya tunjukkan di atas, rasionalisme sebenarnya irasional. Karena, ia bertolak dari sebuah pengandaian yang justru tidak mungkin terpenuhi : Yaitu bahwa segala sesuatu dapat dimengerti seseorang. Seorang rasionalis yang taat azas sebetulnya tidak dapat berbuat sesuatu apa pun karena segala perbuatan mengandaikan hal-hal yang tidak dapat dicek (dapatkah ia mengecek setiap kali mau makan, apakah dalam makanan itu tidak ada bisa?)
Yang harus dituntut adalah sikap rasional, sebagaimana mau saya Derlihatkan di bawah, dan bukan sikap rasionalisme.
Fideisme adalah kebalikan dari rasionalisme. Fideisme (dari kata Latin ':fides", iman) adalah sikap membatasi diri pada iman akan wahyu Allah, dan sekaligus menganggap bahwa penggunaan nalar manusia tidak perlu. Fideisme dapat berwujud iman sederhana seseorang yang merasa cukup dengan mengikuti pedoman agamanya, tak perduli kepada segala macam pikiran, kritik, keresahan intelektual atau paham-paham baru yang diramaikan. la dapat juga berwujud pandangan dunia yang secara prinsipiil menolak segala pertimbangan nalar sebagai tidak memadai terhadap kepastian yang merupakan ciri hakiki wahyu Allah.
Sikap terakhir itu menjadi fundamentalisme apabila semua pandangan tentang alam, dunia, masyarakat dan sejarah diambil secara harfiah dari sumber-sumber wahyu yang dipercayai (dari Kitab Sucinya) dengan menolak segala hasil ilmu pengetahuan yang benar-benar, atau hanya tampaknya, tidak sesuai dengan apa yang ditulis dalam sumber wahyu itu.
Fideisme pada hakekatnya tidak menyadari bahwa kemampuan manusia untuk bernalar adalah juga ciptaan Tuhan yang diberikan untuk dipergunakan serta dimanfaatkan demi tujuan yang baik. Kecuali itu, fideisme salah dalam pengandalan bahwa antara hasil nalar dan wahyu nahi mesti ada pertentangan.
Relativisme dapat juga disebut sebagai ajaran tentang dua kebenaran : Ada kebenaran agama dan ada kebenaran nalar. Dua-duanya boleh bertentangan. Misalnya, sebagai orang bernalar, seseorang menerima ajaran Darwin tentang evolusi jenis-jenis makhluk hidup di dunia selama beratus-ratusjuta tahun. Sedangkan sebagai orang beriman kristiani, ia percaya bahwa dunia diciptakan sekitar 7000 tahun lalu dalam waktu tujuh hari.
Jelaslah bahwa relativisme adalah siap yang paling lemah dari tiga sikap ekstrem itu. Relativisme melepaskan paham kebenaran sama sekali. Menurut prinsip non-kontradiksi, sesuatu itu sejauh ada, tidak mungkin tidak ada. Kalau bumi kita sudah berumur beratus-ratus juga tahun (menurut anggapan ilmiah, sekarang bumi berumur antara 4 dan 5 milyar tahun), maka tak mungkin bumi baru mulai berada, melalui penciptaan, sekitar tujuh ribu tahun yang lalu. Dan sebaliknya. Relativisme merupakan penyerahan claim atas pengetahuan yang benar. Maka, menurut relativisme, Allah itu sekaligus dapat disebut ada dan tidak ada. Sikap ini membuat mustahil pengambilan sikap yang sungguhan.
2. Pandangan Seimbang
Apabila kita meninjau kembali rasionalisme, fideisme dan relativisme, maka menjadi jelas bahwa kesalahan dasar sikap-sikap itu terletak pada ketidakseimbangannya. Yang kita cari adalah sikap seimbang. Sikap seimbang adalah sikap yang dapat menerima serta menanggapi unsur-unsur benar dalam tiga sikap ekstrem itu, tetapi menghubungkannya satu sama lain.
Kita mulai dengan fideisme. Fideisme mementingkan iman, percaya kepada wahyu ilahi. Kalau orang percaya kepada Allah, ia langsung akan mengakui bahwa sikap dasar fideisme itu benar. Kalau Allah memang ada, jelas Allah itu ada mutlak, baik sebagai kebenaran, maupun dalam kekuasaan untuk bertindak. Maka sabda Allah adalah mutlak benar dan merupakan pegangan mutlak bagi manusia. Wajarlah orang beriman mendasarkan hidupnya atas wahyu Allah.
Akan tetapi, justru kemutlakan Allah itulah yang seharusnya membuat kaum fideis sadar bahwa kemampuan manusia untuk bernalar perlu dipergunakan, bahkan ia berdosa terhadap Allah Pencipta apabila ia tidak mau bernalar. Mengapa ? Karena, segala apa yang ada adalah ciptaan Allah, termasuk akal budi dengan kemampuannya untuk bernalar. Jadi, akalbudi dan wahyu berasal dari sumber yang sama, dari Allah. Dan oleh karena itu, tidak mungkin dua-duanya secara prinsipiil bertentangan.
Jadi, adalah tidak mungkin, kalau manusia mempergunakan nalarnya secara benar, artinya secara terbuka, kritis, mendalam, ia sampai pada hasil yang bertentangan dengan wahyu. Karena semuanya berasal dari sumber yang sama, maka hanya ada satu kebenaran. Itu juga berarti bahwa adalah tidak tepat kalau hubungan nalar-wahyu dirumuskan begini : Pakailah nalar sejauh tidak menyangkut isi wahyu. Hakekat nalar manusia adalah mencari kebenaran. Seseorang akan berdosa apabila pencarian kebenaran diputuskan begitu saja pada titik tertentu. Berdosa terhadap kehendak Dia yang menciptakan nalar itu.
Maka, semua pemecahan konflik wahyu-nalar yang berpola : Kurangilah, atau hentikanlah penalaran, jangan bernalar secara radikal dan sebagainya, adalah salah. Salah terhadap nalar, salah secara moral karena membuka pintu pada sikap munafik dan bohong, dan salah secara keagamaan karena menyangkal bahwa nalar berasal dari Allah. Tidaklah benar pendapat bahwa semakin alim seseorang, semakin ia tidak berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui.
Lalu, mengapa terdapat pertentangan antara wahyu dan nalar manusia? Atas pengandalan di atas, sebenarnya tidak boleh ada perten- tangan, dan pertentangan itu kelihatan bersifat sementara. Hal itu tidak mengherankan. Nalar manusia tidak pernah sempurna, tidak pernah menangkap seluruh kebenaran. la suka melihat satu sudut dan melupakan yang satunya. la terpengaruh oleh prasangkanya. Dari mana pertentangan sementara itu? Pertentangan antara wahyu dan nalar dapat berasal dari keduabelah pihak, dari fihak nalar dan dari pihak wahyu.
Di satu pihak, nalar dapat melampaui batasnya. Teori ilmu pengetahuan moderen membuat kita sangat sadar akan keterbatasan nalar . .Misalnya saja, pernyataan atheisme bahwa "Allah tidak ada" menurut metodologi sekarang tidak rasional. Kalau Allah ada, maka Allah mengatasi nalar manusia, maka baik adanya maupun tidak adanya tidak dapat dipastikan melalui nalar belaka.
Tetapi kesalahan sering terletak bukan di pihak nalar, melainkan di pihak wahyu. Tentu saja bukan pada wahyu itu sendiri. Wahyu sendiri tidak dapat salah karena wahyu adalah Sabda Allah yang Maha benar. Tetapi, cara manusia menangkap dan mengartikan wahyu dapat saja salah, karena untuk itu manusia mau tak mau mempergunakan nalar yang sama yang juga di pergunakan dalam penyelidikan ilmiah atau dalam filsafat. Jadi dapat saja terjadi pertentangan antara nalar dan apa yang dianggap wahyu, karena manusia menyebut sesuatu kebenaran wahyu yang sebenarnya bukan wahyu, melainkan tafsirannya. Jadi, kontradiksi itu terletak bukan antara wahyu dan nalar, melainkan antara tafsiran nalar manusia tentang wahyu dan hasil nalar manusia lain.
Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa antara wahyu dan pengetahuan manusia tidak mungkin ada pertentangan, asal saja keduabelah pihak tahu batas mereka masing-masing. Kalau ada pertentangan, pertentangan itu sebenarnya tak pernah terjadi antara wahyu dan nalar, melainkan antara nalar yang satu (yang berusaha mengerti, dan dengan demikian selalu juga menafsirkan wahyu) dengan nalar yang lain (yang dipakai dalam kegiatan ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari).
Ada pertimbangan tambahan. Wahyu dan nalar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah. Maka dua-duanya wajib dipakai dengan sebaik- baiknya, tetapi menurut maksudnya masing-masing.
Kiranya manusia dijadikan makhluk bernalar oleh Sang Pencipta agar supaya ia mempergunakan nalarnya itu sebaik-baiknya untuk mewujudkan kehidupannya. Jadi, nalar diberikan untuk hal-hal yang terletak dalam jangkauan nalar itu. Yang ada dalam jangkauan nalar adalah alam terbatas, alam tercipta. Maka nalar itu dipanggil untuk mencari pengetahuan serta pengertian yang semakin benar dan men- dalam tentang seluruh alam ciptaan. Untuk itu, manusia dapat mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan dengan cara masing-masing untuk menyelidiki apa yang ada. Wilayah nalar adalah manusia sendiri, alam inderawi dan masyarakat. Sedangkan Allah tidak dapat "dikuasai" oleh nalar .Satu-satunya yang dapat dicapai nalar menuju Allah adalah keterbukaannya, serta pencarian jejak-jejak kebesaran Allah dalam alam ciptaan. Tetapi tentang siapa Allah yang sebenarnya, bagaimana hidup batin Allah, apa yang menjadi kehendak dan tuntutannya serta sikapnya terhadap manusia, itu semua secara prinsipiil tak terjangkau oleh nalar manusia (Mengapa? Karena nalar manusia bersifat terbatas/terhingga sehingga kekhasan Allah yang justru tak terbatas/tak terhingga tidak teljangkau olehnya).
Pertimbangan ini menunjukkan juga untuk tujuan apa Allah berkenan menurunkan wahyunya. Kiranya tidak untuk memberitahukan hal-hal yangjuga dapat diselidiki dan diketahui melalui nalaryangjustru juga diberikan oleh Allah. Seakan-akan wahyu mau membuat manusia malas bernalar saja. Melainkan, wahyu kiranya diberikan kepada manusia untuk mengetahui hal-hal yang justru tidak, dan tidak pernah, dapat diketahui dengan nalar, yaitu tentang Allah sendiri sebagaimana disebutkan di atas. Karena skap Allah menyangkut manusia yang masih berada dalam dunia, maka dalam wahyu juga terdapat hal-hal yang menyangkut dunia (terutama apa yang menjadi tanggungjawab serta kewajiban manusia dalam hidupnya di dunia, jadi bidang moralitas) tetapi bukan sebagai pemberitahuan tentang dunia, melainkan tentang sikap Allah terhadapnya. Akan tetapi, wahyu tidak bermaksud memberikan informasi tentang hal-hal yang juga dapatkita selidiki melalui ilmu pengetahuan, melainkan tentang hal yang memang tidak dapat diselidiki melalui ilmu pengetahuan, tentang Allah sendiri.
Oleh karena itu dapat juga dikatakan begini : Apabila nalar mau menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling fundamental seperti misalnya : Siapakah Allah, apa kehendak dan sikap Allah terhadap manusia, apa tujuan terakhir manusia, nalar tidak memadai dan mudah salah tafsir, sombong dan menyesatkan. Dan sebaliknya,jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia : Misalnya apakah matahari mengitari bumi atau sebaliknya, bagaimana urutan terjadinya organisme-organisme hidup di bumi (yang ditegaskan dalam wahyu ialah bahwa ada dunia dan bahwa adahidup serta bahwa hidup dapat berkembang akhirnya berdasarkan keputusan Allah), tetapi juga manakah struktur-struktur psikis dan sosial manusia, manakah struktur-struktur ekonomis dan politis yang paling cocok agar manusia hidup dengan sejahtera ;
Semua hal ini kita cari jawabannya bukan dalam wahyu, melainkan dari pengalaman kita, dengan bantuan ilmu pengetahuan. Kalau kita mencari jawaban tentang hal-hal manusia dan duniawi itu dalam wahyu, kemungkinan besar kita akan salah tafsir dan lalu menciptakan kesan pertentangan yang sebetulnya tak benar.
Maka, adalah tidak betul pendapat bahwa semakin alim seseorang semakin ia merasa tidak perlu berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui. Justru orang yang mantap karena berakar dalam iman, akan lebih mantap dan berani juga untuk mempergunakan akalbudinya. la tidak takut dengan pengetahuan yang lebih kritis dan mendalam akan menjauhkannya dari iman. Dan menurut hemat saya, kita tidak boleh memberikan kesan bahwa semakin kita berpikir secara mendalam dan kritis, semakin agama berada dalam bahaya.

F. KEPUSTAKAAN
Achmad Sanusi (1998), Filsafat Ilmu, Teori Keilmuan dan Metode Penelitian, Bandung: Program Pasca Sarjana IKIP Bandung.

-------------------(1999), Titik Balik Paradigma Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Orasi limiah Pada Wisuda UHAMKA tanggal 31 Juli 1999, Jakarta: Majelis Pendidikan Tinggi Muhammadiyah UHAMKA.
Branner, Julia. (2002), Memadu Met ode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Samarinda: Pustaka Pelajar.
Capra, Fritjop, (1998), Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan Kebangkitan .Kebudayaan, Terjemahan M. Thoyibi, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Conny R. Semiawan, dkk. (1988), Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Bandung: Remadja karya.
Endang Saefuddin Anshari, (1982), Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu.
Himsworth, Harold (1997), Pengetahuan Keilmuan dan Pemikiran Filosofi, (Terjemahan Achmad Bimadja, Ph.D), Bandung: ITB Bandung.
Ismaun, (2002), Filsafat Ilmu, Materi Kuliah, Bandung (Terbitan Khusus).
Jammer, Max (1999), Einsten and Religion: Physics and Theology, New Jersey: Princeton University, Press.
Kuhn, Thomas S, (2000), The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Terjemahan Tjun Surjaman, Bandung: Rosda).
Noeng Muhadjir, (1996), Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Iii, Yogyakarta. Rake Sarasin.
--------------------, (1998), Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis, Fungsional Komparatif, Yogyakarta: Rake Sarasin.
Redja Mudyahardjo, (2001), Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar, Bandung: Rosda.
Sidi Gazalba, (1973), Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang.
Sudarto (1997), Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Tibawi, AL, (1972), Islamic Education, London: Luzak & Company Ltd.
Titus, Harold. H, (1959), Living Issues in Philosophy: An Introductory Book of Readings, New York: The Mac Millan Company.
Zuhairini dkk. (1995), Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Ada yang menyatakan, bahwa menentukan awal-akhir Ramadhan tidak harus dengan rukyat, tetapi bisa dengan hisab (perhitungan astronomi), sebagaimana yang digunakan dalam menentukan waktu shalat. Apakah memang boleh demikian? Jika tidak, mengapa? Bukankah hisab boleh digunakan dalam menentukan waktu shalat, berarti seharusnya boleh juga digunakan untuk menentukan awal-akhir Ramadhan?

Jawab:

Untuk menjelaskan boleh-tidaknya hal di atas, kami akan menjelaskan beberapa ketentuan sebagai berikut:

Pertama: Allah Swt. telah meminta kita agar beribadah sebagaimana yang Dia perintahkan. Jika kita beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang Dia perintahkan, berarti kita telah melakukan kesalahan meskipun apa yang kita lakukan itu kita anggap baik dan benar.

Kedua: Allah Swt. telah memerintahkan kita berpuasa dan berhari raya karena melihat hilal (rukyat al-hilal). Dia juga telah menjadikan rukyat sebagai sebab berpuasa dan berhari raya:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ

Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan berhari rayalah kalian karena melihatnya. (HR. Muslim)

Jika kita telah melihat hilal Ramadhan, kita berpuasa; jika kita melihat hilal Syawal, kita pun berhari raya.

Ketiga: Jika kita tidak mampu melihat hilal Syawal, misalnya karena mendung benar-benar telah menyelimutinya, sekalipun hilal tersebut nyata-nyata ada, maka kenyataannya kita tidak akan berpuasa dan berhari raya karena alasan awal bulan. Sebab, hadisnya dengan tegas menyatakan:

فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ

Jika mendung telah menghalangi kalian maka sempurnakanlah (genapkanlah) hitungan bulan Sya‘ban. (HR Muslim)

Keempat: Allah Swt. tidak membebani kita untuk beribadah kepada-Nya dengan cara yang tidak Dia perintahkan. Misalnya, seandainya hisab (perhitungan astronomi) menyatakan bahwa besok secara pasti adalah bulan Ramadhan—dan pada zaman sekarang perhitungan astronomi bisa menetapkan posisi bulan sejak bulan tersebut lahir hingga bulan purnama, kemudian menyusut, serta menghitungnya dari waktu ke waktu—tetapi faktanya kita memang benar-benar tidak bisa melihat hilal tersebut, karena mendung misalnya, maka status orang yang berpuasa (karena perhitungan tersebut) adalah dosa, meski dengan alasan bahwa Ramadhan memang benar-benar telah masuk. Dia tetap dianggap berdosa karena hilal belum bisa dilihat, tetapi dia tetap berpuasa. Padahal seharusnya dia menyempurnakan Sya‘ban menjadi 30 hari. Setelah itu, baru dia berpuasa. Jadi, orang yang berpuasa Ramadhan dalam kondisi seperti ini pada dasarnya berdosa karena dia telah melakukan pelanggaran. Sebaliknya, orang yang menyempurnakan hitungan Sya‘ban dan belum berpuasa—meski hilal tersebut nyata-nyata ada, tetapi tidak terlihat karena tertutup awan—tetap mendapatkan pahala karena mengikuti hadis Nabi di atas.

Kelima: Dari sini tampak dengan jelas, bahwa kita tidak berpuasa dan berhari raya karena faktor bulannya, tetapi karena faktor melihat hilal. Jika kita telah melihatnya maka kita wajib berpuasa. Jika belum melihatnya maka kita pun tidak boleh berpuasa, sekalipun bulan tersebut—menurut perhitungan astronomi—benar-benar telah masuk.

Keenam: Jika ada sejumlah saksi, dan mereka telah memberikan kesaksian terhadap rukyat, maka mereka pun harus diperlakukan sama dengan kasus kesaksian yang lain. Jika saksinya Muslim dan tidak Fasik maka kesaksiannya bisa diterima. Jika saksi tersebut tampaknya bukan Muslim, dan tidak adil, atau fasik, maka kesaksiannya tidak boleh diterima.

Keenam: Penetapan kefasikan saksi juga harus dilakukan melalui pembuktian syar‘i, bukan berdasarkan perhitungan astronomi. Dengan kata lain, perhitungan tersebut tidak bisa digunakan untuk membangun hujjah (argumentasi). Misalnya, Anda mengatakan, “Beberapa jam lalu telah terjadi lahirnya anak bulan sehingga sekarang tidak bisa dilihat…” Memang, ada perbedaan pendapat di kalangan ahli astronomi tentang tenggat waktu setelah lahirnya anak bulan yang memungkinkan dilakukannya rukyat. Jadi, kesaksian yang menjadi saksi perhitungan astronomi tersebut tidak boleh dijadikan hujjah, tetapi perhitungannya bisa dibahas, dan dinyatakan benar setelah melihat hilal. Dia juga boleh ditanya, di mana hilal tersebut muncul, sementara yang lain menyaksikannya secara langsung. Begitu seterusnya. Setelah itu, kesaksian rukyat tersebut diterima atau ditolak berdasarkan prinsip ini.

Ketujuh: Siapa saja yang menelaah nas-nas yang menyatakan hukum puasa, pasti akan menemukan adanya perbedaan dengan nas-nas yang menyatakan hukum shalat. Puasa dan hari raya telah dihubungkan dengan rukyat:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ

Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan berhari rayalah kalian karena melihatnya. (HR Muslim).

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan bulan (hilal Ramadhan) maka hendaknya dia berpuasa. (QS al-Baqarah [a2]: 185).

Jadi, yang menentukan (puasa dan hari raya) adalah rukyat. Berbeda dengan nas-nas shalat yang dihubungkan dengan waktu:

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ

Dirikanlah shalat karena matahari telah tergelincir. (QS al-Isra’ [17]: 78).

«إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا»

Jika matahari telah tergelincir maka shalatlah kalian. (HR at-Thabrani).

Jadi, praktik shalat memang bergantung pada waktu, dan dengan cara apapun agar waktu shalat itu bisa dibuktikan maka shalat pun bisa dilakukan dengan cara tersebut. Jika Anda melihat matahari untuk melihat waktu zawal (tergelincirnya matahari), atau melihat bayangan agar Anda bisa melihat bayangan benda, apakah sama atau melebihinya, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis-hadis tentang waktu shalat; jika Anda melakukanya dan Anda bisa membuktikan waktu tersebut maka shalat Anda pun sah. Jika Anda tidak melakukannya, tetapi cukup dengan menghitungnya dengan perhitungan astronomi, kemudian Anda tahu bahwa waktu zawal itu jatuh jam ini, kemudian Anda melihat jam Anda, tanpa harus keluar untuk melihat matahari atau bayangan, maka shalat Anda pun sah. Dengan kata lain, waktu tersebut bisa dibuktikan dengan cara apapun. Mengapa? Karena Allah Swt. telah memerintahkan Anda untuk melakukan shalat ketika waktunya masuk, dan menyerahkan kepada Anda untuk melakukan pembuktian masuknya waktu tersebut tanpa memberikan ketentuan detail, tentang bagaimana cara membuktikannya. Berbeda dengan puasa. Allah memerintahkan Anda berpuasa berdasarkan rukyat. Dia pun menentukan sebab (berpuasa dan berhari raya) untuk Anda. Lebih dari itu, Dia menyatakan kepada Anda, “Jika mendung menghalangi rukyat sehingga tidak terlihat maka janganlah Anda berpuasa, meskipun hilal tersebut ada di balik mendung, dan Anda yakin hilal tersebut ada melalui perhitungan astronomi.”

Ketujuh: Allah Swt. adalah Pencipta alam ini. Dialah yang mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya. Pengetahuan tentang pergerakan bintang dan rinciannya adalah anugerah dari Allah kepada umat manusia. Namun, Allah Swt. tidak memerintah kita untuk beribadah dengan berpijak pada perhitungan astronomi, tetapi memerintah kita untuk melakukan rukyat. Karena itulah, sehingga kita pun beribadah kepada-Nya sebagaimana yang Dia perintahkan, dan tidak beribadah kepada-Nya dengan apa yang tidak Dia perintahkan.

Dengan demikian, hanya rukyat-lah satu-satunya penentu dalam berpuasa dan berhari raya, bukan perhitungan astronomi. Karena itu, saya menegaskan, bahwa perhitungan astronomi tidak boleh digunakan untuk berpuasa dan berhari raya; hanya rukyat-lah satu-satunya yang boleh. Sebab, itulah yang dinyatakan dalam nas-nas syariah. Wallâhu a‘lam. [Ust. Hafidz Abdurrahman]
Di dalam cd master windows XP sebenarnya sudah ada aplikasi yang dapat digunakan untuk mengetik huruf arab. Kenapa komputer yang baru diinstal tidak dapat digunakan untuk mengetik font arab.
Hal itu dikarenakan ketika kita menginstal win XP dihadapkan dengan dua pilihan yaitu custom dan typical. Memang XP merekomendasikan kita untuk memilih typical karena dengan memilih typical performa win XP menjadi berjalan optimum. Namun bukan berarti kita tidak boleh memilih custom, buktinya disitu disediakan pilihan custom yang memungkinkan kita bebas memasang fitur-fitur bawaan windows tersebut. Berkaitan dengan pengetikan huruf arab seperti dalam pembahasan kita kali ini, maka pilihan typical harus kita tinggalkan dan beralih memilih custom.
Agar windows XP dapat menampilkan huruf arab terutama dalam pemakaiannya di MS Word, ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan yaitu :

1. Siapkan CD master Microsoft Windows XP Profesional SP2.
2. Buka menu Control Panel pada Start menu dan kemudian Buka menu regional and Language Options. Pilih menu languages, pada Suplemental language support, centang Install files for complex script and right-to-left languages (including Thai)
3. Centang juga Instal files for east Asian languages, untuk menambah encoding huruf asia lain yang mungkin juga anda perlukan.
4. Klik apply, pada opsi ini masukan cd Windows SP 2 anda, dan browse file yang diperlukan untuk instalasi font arabic ini, letak file di dalam folder i386, klik ok lanjutkan sampai file yang yang diperlukan selesai terinstal.
5. Setelah itu restart PC atau Komputer anda. Setelah restart masuk menu Control panel >> Regional and languages options lagi
6. Pilih menu Advanced >>> Pada Opsi Code page conversion tables >>>centang kotak pada 1004 (mac-arabic) atau centang bahasa lainnya yang ingin ada tambahan seperti font Jepang, Korea, chinese dan font lain yang anda butuhkan. Kemudian klik aplly.
7. Kemudian klik menu languages, klik detail pada opsi Text services and input languages .
8. Pada input languages Pilih arabic (saudi arabia) atau arabic lainnya tergantung jenis huruf arab yag anda inginkan.
9. Pada Keyboard Layout pilih Arabic(101) atau Arabic (102) dan klik ok
10. Kemudan pada opsi preferences klik key setting pilih opsi hot keys for input languages >>> switch between input languages > change Keys Silahkan pilih opsi yang anda inginkan dan klik ok.
11. Untuk tampilkan menu language di dekstop anda klik language bar, dan centang pada opsi show menu language bar on dekstop.
12. Pengaturan ini dimaksudkan sebagai hot keys antara perpindahan bahasa pada saat anda ingin menggunakan bahasa / font default ke bahasa lain ( Arabic)


Bila langkah diatas sudah selesai dilakukan maka anda bisa menuliskan huruf arab pada Microsoft Office Word. Pada saat anda akan menuliskan karakter font atau huruf arab, terlebih dulu anda tekan Hots Keys yang anda pilih di atas atau juga bisa menukar bahasa penulisan atau font pada language bar ( Tampil language bar pada dekstop ) centang language yang ingin anda pergunakan.
Untuk memudahkan penggunaannya dalam pengetikan di MS Word disarankan anda menggunakan keyboard yang dilengkapi dengan font arabic. Banyak di toko komputer yang menjual keyboard arabic. Tapi kalau tidak ada keyboard arabic, jalan satu-satunya yaitu dengan menghafal semua tombol keyboard.
Semoga bermanfaat.
TUGAS POKOK HAKIM
( Makalah Pembinaan Hakim )
Yang harus dilakukan para Hakim terkait dengan tugas pokok :
A. Menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara (melaksanakan persidangan) dengan memperhatikan :
1. Mengkonstatir atau membuktikan benar tidaknya peristiwa/fakta yang diajukan para pihak dengan pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian, yang diuraikan dalam “duduk perkaranya” serta Berita Acara Persidangan (BAP).
Konstatir itu sendiri adalah :
1.1. Memeriksa identitas para pihak ;
1.2. Memeriksa kuasa hukum para pihak, jika ada ;
1.3. Mendamaikan para pihak (mediasi) ;
1.4. Memeriksa syarat-syaratnya sebagai perkara ;
1.5. Memeriksa seluruh fakta/peristiwa yang dikemukakan para pihak ;
1.6. Memeriksa syarat-syarat dan unsur-unsur setiap fakta/peristiwa
1.7. Memeriksa alat bukti sesuai tatacara pembuktian ;
1.8. Memeriksa jawaban, sangkalan, keberatan dari bukti-bukti pihak lawan ; 1.9. Mendengar pendapat atau kesimpulan masing-masing pihak ;
1.10 Menerapkan pemeriksaan sesuai hukum acara yang berlaku ;
2. Mengkualifisir peristiwa/fakta yang terbukti, dengan menilai peristiwa itu ada hubungan hukum apa, menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikonstatiring, selanjutnya dituangkan dalam pertimbangan hukum putusan yang meliputi :
2.1. Mempertimbangkan syarat-syarat formil perkara ;
2.2. Merumuskan pokok perkara ;
2.3. Mempertimbangkan beban pembuktian ;
2.4. Mempertimbangkan keabsahan peristiwa/fakta peristiwa atau fakta hukum ;
2.5. Mempertimbangkan secara logis, kronologis dan yuridis fakta-fakta hukum menurut hukum pembuktian ;
2.6. Mempertimbangkan jawaban, keberatan dan sangkalan-sangkalan serta bukti¬bukti lawan sesuai hukum pembuktian.

2.7. Menemukan hubungan hukum peristiwa-peristiwa/fakta-fakta yang terbukti dengan petitum ;
2.8 Menemukan hukumnya, baik hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis dengan data sumbernya ;
2.9. Mempertimbangkan biaya perkara.
3. Mengkonstituir, dengan menetapkan hukumnya yang kemudian menuangkan dalam amar putusan (diktum) / penetapan yang berisi :
3.1. Menetapkan hukumnya dalam amar putusan/penetapan ;
3.2. Mengadili seluruh petitum ;
3.3. Mengadili tidak lebih dari petitum kecuali Ex ofosio ;
3.4. Menetapakan biaya perkara ;
B. Yang harus dilakukan oleh Ketua Majelis adalah membimbing dan meprakarsai jalannya persidangan serta mengawasi terhadap pembuatan Berita Acara Persidangan (BAP), juga bertugas :
1. Menetapkan hari sidang ;
2. Memerintahkan pemanggilan para pihak ;
3. Mengatur mekanisme persidangan ;
4. Mengambil prakarsa untuk kelancaran persidangan ;
5. Mengakhiri sidang ;
C. Yang harus dilakukan oleh majelis adalah menyusun konsep putusan / penetapan perkara yang ditanganinya, yang bersumber dari hasil pemeriksaan yang dicatat secara lengkap dalam Berita Acara Persidangan dan berdasarkan BAP tersebut maka dikonsep putusan/penetapan yang memuat :
1. Tentang duduk perkaranya, yang menggambarkan pelaksanaan tugas hakim dalam mengkonstatir kebenaran fakta atau peristiwa yang diajukan.
2. Pertimbangan hukum yang menggambarkan pokok pikiran hakim dalam mengkonstatir fakta-fakta yang telah terbukti tersebut serta menemukan hukumnya bagi peristiwa tersebut, disini merumuskan secara rinci kronologis dan hubungan satu sama lain dengan didasarkan pada hukum atau peraturan perundang-undangan, langsung disebutkan ;

3. Amar putusan yang memuat hasil akhir sebagai konstitusi atau penentuan hukum atas peristiwa atau fakta yang telah terbukti ;
D. Minutasi berkas perkara.
Minutasi (minutering ) berkas-berkas perkara, merupakan suatu tindakan yang menjadikan semua dokumen resmi dan sah. Minutasi dilakukan oleh pejabat PA sesuai dengan bidangnya masing-masing, tetapi secra keseluruhan menjadi tanggung jawab hakim yang menangani perkara tersebut. Minutasi meliputi surart-surat sebagai berikut :
1. Surat gugatan / permohonan ;
2. Surat kuasa untuk membayar (SKUM) ;
3. Penetapan Majelis Hakim (PMH) ;
4. Penetapan Hari Sidang (PHS) ;
5. Relaas Panggilan ;
6. Berita acara persidangan (BAP) ;
7. Bukti-bukti surat ;
8. Penetapan - penetapan hakim ;
9. penetapan / putusan akhir;
10. Surat – surat lainnya dalam berkas perkara ;
Proses minutasi sudah dapat dimulai setelah sidang pertama dan selesai paling lambat 1 bulan setelah perkara diputuskan. Pada saat sidang ikrar talak, berkas perkara tersebut harus sudah diminutasi . Tanggal minutasi dicatat dalam register induk pekara yang bersangkutan. Hal-hal yang terjadi setelah perkara diputus juga harus diminutasi sebagai dokumen resmi.
INDAHNYA PERSAHABATAN
(Catatan ini ku persembahkan buat sahabatku Rusmin Saleh dan Arsyad Beddu Lele0

Tak pernah terfikirkan sebelumnya, pertemuanku dengan Rusmin dan Arsyad beberapa tahun silam menjadi awal timbulnya ikatan emosial dalam diri kami. Dahulu kami yang hanya teman biasa, kenalan biasa, layaknya dengan teman-teman lainnya, kini menjadi sahabat sejati yang tak akan pudar meski dipisahkan oleh jarak.
Perkenalannyaku dengan dua sahabatku itu sebenarnya bukanlah baru. Arsyad misalnya, sejak kecil masa-masa ketika masih duduk dibangu SD sudah kukenal karena kami sekolah di SD yang sama (SD 183 Gunper, Sinjai Barat), hanya berbeda tingkatan. Arsyad lebih tinggi 4 kelas dari saya. Meski sekolah di SD yang sama tapi kami hanya kenal begitu saja (kan beda generasi he..he.. Arsyad seumuran dan sekelas dengan kakakku Kasma. Dari deretan teman masa kecilku Arsyad tidak masuk hitungan, soalnya tidak pas untuk dijadikan teman bermain (tidak sebaya).
Namun sejak hijrah ke Barru, mondok di Ponpes DDI Mangkoso sana, kami mulai akrab sebagai sesama perantau ilmu. Disana pulalah kami bertemu dengan Rusmin. Meskipun satu kampung dengan kami, tapi sebelumnya kami belum mengenal Rusmin. Maklum dia ‘orang kota’ tinggalnya di Manipi + 70 Km dari desa saya dengan Arsyad (sorry ukuran jarak pasnya tidak tau.. apa saya belum pernah ngukur ces..,, kalau kurang ditambah saja atau kurangi kalau kejauhan) jadinya tidak kenal. Seingatku (yang rada pelupa he..he), pertemuanku dengan Rusmin berawal ketika rombongan santri asal sinjai berencana berangkat bareng ke Mangkoso setelah liburan Ramadhan. Saat itu saya dengan Arsyad masih duduk di i’dadiyah sedang Rusmin sudah duduk di kelas 3 tsanawiyah, Tonronge. Rombongan yang dipimpin oleh Puang Razak (mahasiswa sekaligus pembina santri asal sinjai dan utusan bosowa yang juga om-nya Rusmin) mengambil tempat di rumah orang tua Rusmin di Manipi. Selama 2 hari kami berkumpul disana menunggu mobil carteran yang akan membawa kami ke Mangkoso. Disitulah saya mulai mengenal Rusmin meski tidak akrab. Jujur saja ketika itu ada rasa minder untuk akrab dengan Rusmin sekeluarga, maklum mereka orang ‘kota’. Lain halnya dengan saya dan Arsyad yang anak gunung tulen. Lagi pula dalam pandanganku keluarga Rusmin adalah keluarga yang terpandang (tinggalnya di Ibu Kota Kecamatan yang elit bagi orang kampung sepertiku).
Selain itu, kesan pertamaku sama Rusmin bahwa dia itu anak yang ‘aneh’ dan hidup ditengah keluarga yang ‘aneh’ pula. Bayangkan saja, bola karet yang kempes dipasangnya dikepala, katanya topi baja. Sambil membawa sapu sebagai senjata dia berlari keluar masuk rumah dan bergaya layaknya tentara yang berperang di Film Combat (tidak salah tulisji to). Selain gayanya yang sepertinya dibuat-buat untuk mencari perhatian orang-orang, dia juga suka main bola di dalam rumah, di depan kami. Anehnya Tata (papa Rusmin) bukannya melarang justeru ikut main bola, dan karena kelihatan seru jadilah kami semua pada ikut main bola rame-rame tanpa mempedulikan isi ruang tamu yang berantakan. Inilah yang saya katakan tadi ‘keluarga aneh’. Anak dan orang tua sama saja, tinggallah Ummi yang kewalahan.mengusir kami pakai sapu ijuk.
Selain aneh, sikap Rusmin juga agresif, kreatif, familiar dan sedikit sok akrab (tabe cummink). Hal itu membuat rasa minderku lama kelamaan hilang. Yang tersisa kemudian adalah kesan familiar dan persahatan sejati yang coba ‘ditawarkan’.
Khusus Arsyad, sejak kami sama-sama di Mangkoso kami sudah akrab. Kami merasa senasib dan terasing diperantauan ilmu. Lagi pula saat itu kami sama-sama berkulit gelap ditengah teman santri lain yang bule-bule kulitnya. Eh.. ngomong-ngomong kulitku kemudian berubah jadi putih sedikit, setidaknya kalau berdampingan dengan Arsyad (sorry Dg Jappa) tapi itu pengakuan anak Tonronge waktu tragedi Bioskop Mini Petta Aji Cacce ketika kita sudah mahasiswa, iya kan? Rusmin sendiri, kalau berdekatan dengan kami, akan nampak seperti bule masuk kampung. Maklum kulitnya amat bersih dan putih (wajar.. orangnya kan pemalas,, eh maksudnya dia tidak pernah turun sawah bantu-bantu orang tua membajak sawah atau mencari rumput untuk makanan ternak, orang tuanya guru sih).
Di i’dadiyah (sekolah persiapan sebelum masuk tsanawiyah atau aliyah), saya dengan Arsyad satu kelas, kami di unit B3. Namun kemudian saat ada pembentukan kelas baru, saya dipindah ke B6, kelas yang kata sebagian orang merupakan kelasnya santri yang IQ-nya paling rendah. Kata orang sih, aku sih adem ayem saja toh aku merasa tidak kalah dengan santri lain di kelas atasnya (asal tau aja, di kampung asal, saya rangking 2 terus lho, masa dibilang IQ-nya paling rendah). Meski tidak sekelas lagi tapi saya dengan Arsyad tetap saling mengunjungi. Baik berkunjung ke kelas masing-masing, maupun ke pondokan kami. Ketika itu saya memang tinggal di Asrama Malino (rumahnya Petta Biba yang didaulat jadi asrama), sementara Arsyad tinggal dirumah yang ditinggal oleh yang punya, kalau tidak salah Arsyad tinggal bersama seorang pembina santri, Pak Quddus dan Kak Wahid.
Setahun di i’dadiyah, saya dengan Arsyad pindah ke kampus II putra di bukit Tonronge (+ 2 Km dari kampus induk Mangkoso). Saya masuk tsanawiyah sedangkan Arsyad masuk Aliyah. Di Tonronge kami tinggal di pondok yang beda, Arsyad tinggal di Mantika X samping masjid, kemudian pindah ke mantika III (Ustman bin Affan). sedang saya tinggal di Mantika II (Umar bin Khattab). Pondok tempatku berukuran 4 x 5 cm2, ukuran yang cukup luas untuk ukuran anak kecil sepertiku dibandingkan pondokan mungil lainnya yang tersebar di Tonronge dan kebanyakan diisi 4 sampai 8 santri. Rusmin ? Mmm.. Rusmin tinggal di Asrama Kembar Malino Mantika IV (Ali nin abi Thalib), cukup dekat dari pondokanku. Pondok kami yang berdekatan itu membuat kami sering saling mengunjungi dan kadang bergantian nginap dipendokan kami. Kalau tidak dipondokanku, di pondokan Arsyad, atau di asramanya Rusmin.
Dari sini,kisah persahabatan sejati inipun mulai terjalin. Saat itu, saya dan Arsyad membuka kebun mini di belakang pondok mini kami. Dikebun itu kami tanami sayur-sayuran ala kadarnya. Darah petani memang tetap mengalir dalam tubuh kami, meski telah jauh dari kampung halaman. Teman-teman santri tetangga rumah sering menyebut kami “Anak seribu pulau” meski tak jarang teman-teman lain turut ambil bagian jika sayur kami sudah siap panen. Bagi saya dan begitupun Arsyad, saat itu kebun mini hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan ‘pangan’ kami (irit uang jajan ces biar gak kekeringan dikampung orang). Disamping itu pada dasarnya bercocok tanam adalah bagian dari hobi. Tak disangka, (mungkin) disinilah jalan Allah untuk saya dan mungkin juga dengan Arsyad untuk menunjukkan jalan terang untuk menapaki masa depan kami. Yang pasti secara perlahan hobi kami berkebun telah menjadikan kami tumbuh menjadi manusia yang mandiri dan selalu ingin berdikari tanpa selalu bergantung pada jerih payah keluarga dengan membebani pundak mereka yang sejatinya sudah penuh dengan beban keluarga. Kami selalu ingin menutupi kebutuhan kami sendiri, meski kecil-kecilan.
Oh iya.. ada lagi satu kebisaaan kami kalau tidak bisa dikatakan kegemaran yaitu sering masuk hutan. Yah, saban malam jum’at, kami masuk hutan untuk ‘rekreasi’ sekedar untuk menghilangkan kejenuhan terhadap pelajaran dan tugas-tugas di sekolah yang bukan main padatnya. Maklum hari jum’at merupakan hari libur sekolah sehingga kami sering memanfaatkannya untuk mencari hiburan dihutan-hutan (kebun terlantar yang ditinggal pemiliknya) meski kami harus absen mengikuti zikir bersama yang dipimpin uzt. Gurutta H. Alwi (almarhum). Sasaran kami adalah DAM penampungan air (kami menyebutnya cekdam). Kebisaaan ‘berwisata alam’ kami bertiga ini terus berlanjut sampai saya, Rusmin dan Arsyad telah menjadi mahasiswa, namun area wisata kami saat mahasiswa bukan lagi hutan, tetapi pesawahan penduduk (pakkampong) terkadang juga dikebun milik si empunya rumah yang kami tempati di Mangkoso ketika sudah mahasiswa (petta biba). Yang kebetulan kebun itu juga diserahkan ke Arsyad untuk digarap. Asryad memang tetap bertani sampai selesai kuliah. Bedanya saat itu dia benar-benar telah jadi petani asli, karena hasilnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan pangan tapi juga untuk membiayai kuliahnya. Saya sendiri dan juga Rusmin hanya sekedar ‘membantu-bantu’ saat mulai menanam jagung, dsb (simpang aset) maupun saat panen (tujuan kami membantu he..he..), kelak sepeninggal Arsyad (tamat kuliah maksudnya) saya mengambil alih tugas Arsyad menggarap kebun-kebun itu, meski tidak sesukses arsyad namun hasilnya cukup lumayan.
Di sawah-sawah pakkampong ataupun di kebunnya Arsayd itulah kami melanjutkan kebisaaan kami “berwisata’. Bedanya ketika masih di Tonronge wisata kami hanya sekedar untuk menghilangkan kejenuhan di sekolah. Tetapi ketika sudah mahasiswa kami lebih sering mengunakannya untuk berdiskusi, bertukar pikiran tentang apa telah kami raih dan apa yang masih akan kami perjuankan kedepan. Dengan beralaskan tikar plastik usang yang kami gelar di atas rerumputan, kamipun berbaring menatap bintang-bintang dan rembulan yang terang benderang dilangit, sambil menerawang.. apa yang akan kami lakukan kelak jika telah menyelesaikan studi di STAI DDI Mangkoso. Kami menyebut rutinitas kami yang dilakukan setiap bulan purnama itu sebagai Rancangan-Rancangan Masa Depan.
Berbagai petualangan-petualangan lainpun kami lalui, yang semuanya semakin mengeratkan hubungan persahabatan kami bertiga. Ikatan emosional yang sulit terpisahkan dan selalu terpatri dalam dada kami. Kami sering bepergian bersama kemanapun kami mau, tak hanya di Mangkoso tetapi juga di kampung (Sinjai) saat liburan. Kami adalah tiga serangkai, selalu ada dan selalu bersama-sama. Dikampung, karena keakraban kami dan seringnya kami jalan dan kumpul bersama, orang tua kamipun ikut menjadi lebih akrab dan menjadi komunitas keluarga besar.
Kebersamaan kami tetap berlanjut meskipun Rusmin kemudian melanjutkan pendidikannya di Pascasarjana UMI Makassar, setidaknya 2 minggu sekali dia tetap mengunjungi kami yang masih nongkrong di Mangkoso. Kebersamaan itu mulai terganggu ketika setamat di STAI, Arsyad merantau ke Kalimantan (kalau tidak salah di Bengalong, Kutai Timur) disana dia menjadi pengasuh di pesantren yang sampai sekarang saya belum tahu apa nama pesantren itu. Tinggallah saya dan Rusmin yang masih melanjutkan petualangan-petualangan kami. Sedangkan dengan Arsyad, komunikasi tetap kami jalin baik melalui surat, kaset rekaman suara yang dikirim melalui rekan seperantauannya, ataupun lewat HP. Pokoknya apapun dilakukan untuk menjaga komunikasi diantara kami tetap lancar. Pernah satu kali (lupa tahun berapa) Arsyad sempat ‘nyadar’ dan menemui kami. Tetapi masya Allah, kulitnya yang dari dulu memang sudah gelap, tambah gelap lagi. (kata pucca : kalau saja Arsyad tidak buka mulut kalau ketawa, tidak akan ketahuan kalau itu orang… ha..ha.. pucca jintu kuwa gang). Ketika dia datang bukan main riangnya saya dan Rusmin, pertemuan itu kami tidak sia-siakan, wisata alampun dilakukan lagi untuk mengenang kegemaran-kegemaran kami dahulu.
Tahun 2006 tepatnya bulan Juli 2006, saya menyelesaikan kuliah di STAI (bergelar akademik SHI), sedang Rusmin juga telah menyelesaikan kuliahnya di UMI dengan menyandang gelar MA (sama dengan gurutta tauwa) dan kamipun kembali ke kampung untuk mengabdikan ilmu kami dikampung halaman tercinta. Pada tahun ini juga, saya dan Rusmin ‘bersama-sama’ mengikuti ujian seleksi penerimaan calon hakim di PTA Makassar. Ketika itu Allah memberikan amanahnya dengan meluluskan saya sebagai salah seorang wakil-Nya (mudah-mudahan amien). Yang aneh ketika itu, meskipun Rusmin sama-sama ‘berjuang’, dia ogah-ogahan dan sama sekali tidak serius mengikuti ujian tes cakim, dia hanya mensupport saya bahkan mengajari saya kaidah-kaidah nahwu sebagai persiapan ujian baca kitab kuning yang menjadi salah satu materi ujian, sedang dia sendiri hanya belajar sambil lalu. Datang ke lokasi ujian saja (Lestari 45) terlambat 1 jam. Padahal saya yang kalang kabut menunggunya sedari pagi. Tahu apa yang dikatakan Rusmin setibanya di Gedung lestari 45? Dia bilang begini “Kodina kusa’ring, elokkija tinro naku pasa’rimmo..tarapassa lingka ujian padahal elokku paccappukampi” (Jengkelku, saya masih mau tidur tapi sudah terjaga padahal rencana nanti detik-detik akhir ujian baru saya datang). Satu lagi yang membuat saya heran dengan sikap Rusmin, dia datang tanpa membawa peralatan ujian sama sekali, jadilah pensilku saya potong dua dan ku berikan ke Rusmin, huuh heraannn dehh…. Sehari sebelum ujian Rusmin juga bilang, mudah-mudahan saya tidak lulus, saya sama sekali tidak berminat jadi hakim, nah lho..? Akhirnya Rusmin sendiri yang sejak awal memang ogah-ogahan mengikuti seleksi penerimaan calon hakim tersebut tidak lulus, dan atas ketidak lulusannya Rusmin malah bersyukur. Saya sebenarnya sangat menyayangkan sikap Rusmin yang tidak serius mengikuti ujian. Bagaimana tidak, diantara teman-teman sekampungku yang sama-sama mondok di pesantren dia yang paling jenius dan juga alim meski sedikit urakan. Belakang saya baru tahu, kalau Rusmin lebih condong terjun langsung ke masyarakat berda’wah. Dan tahun 2008 dia buktikan tekadnya dengan melamar dan lulus PNS di Depag sulawesi tengah untuk formasi kemasjidan.
Kembali ke tahun 2006 lalu. Pada tahun ini, Arysad pulkam, dari kakaknya kudengar kabar bahwa dia pulang untuk menikah (dengan Sriwati). Di acara perkawinan Arsyad, persahabatan kami yang sangat kental sejak dulu membuat saya dan Rusmin merasa perlu untuk turut andil dalam ‘mensukseskan’ acara perkawinan sahabat kami itu, bahkan Rusmin sempat menjadi guru privat Arsyad melafadzkan Ijab qabul pernikahan dalam lapadz arab,, Qabiltu Nikaaha haa bil mahril mazkur naqdan lillahi ta’ala (wow keerennnn..). sungguh, meski Arsyad yang menikah namun saya dan Rusminpun teramat bahagia melihat sahabat kami ini berbahagia, bersanding di pelaminan dengan wanita pujaan hatinya.
Satu hal yang sangat mengesankan saya, ketika kami akan mengantar Arsyad ke Bone (tempat pengantin wanita). Saat itu kendaraan pengantar terbatas dan tidak bisa mengangkut semua keluarga si Arsyad yang ingin ikut mengatar ke Bone. Namun apa yang dikatakan Arsyad dan keluarganya. “siapkan tempat untuk Amirullah dan Rusmin, mereka harus ada dalam rombongan”. Keluarga Arsyad yang lainpun mengalah dan memberikan tempat untuk saya, mereka sangat memahami betapa eratnya persahatan kami bertiga, dan kebahagiaan Arsyad hari itu adalah kebahagiaan kami bertiga yang harus dirasakan bersama, sungguh.. alangkah indahnya persahabatan ini.
Tahun 2006 itupun rupanya menjadi tahun terakhir petualangan-petualangan yang kami lalui bersama-sama. Karena kemudian Rusmin merantau ke Luwuk Banggai, sebuah daerah pemukiman transmigran di ujung timur propensi sulawesi tengah. Disana dia tinggal sampai lulus jadi PNS dan bertugas di Depag Luwuk Banggai (maaf kalau salah sebutka kodong).. Aryad sendiri karena telah berkeluarga, dia memboyong istrinya ke Bengalong, Kutai Timur. Disanalah mereka tinggal sampai Arsyad lulus pada penerimaan calon hakim di PTA Samarinda tahun 2009, dan sampai sekarang ini (tahun 2010) dia bertugas di Pengadilan Agama Balikpapan. Sedangkan sayatetap dipenempatan pertama, Pengadilan Agama Jeneponto
Kini, kami memang tidak bersama-sama lagi, kami telah berada didaerah yang saling berjauhan. Kami telah terikat dengan pekerjaan kami masing-masing, dengan kesibukan masing-masing, dengan aktifitas masing-masing, yang menyulitkan kami untuk saling ‘mengerling’ lagi. Tapi kami sadar, kebersamaan tidak semata ditentukan dengan seringnya kami jalan bersama, kumpul bersama. Kini kami harus belajar memahami bahwa persahabatan sejati, ada dalam hati kami. Persahabatan ini abadi, waktu dan jarak tidak akan mampu memisahkan persabatan kami, dan akan tetap bersama sebagai SAHABAT SEJATI, selamanya.
Catatan ini kepersembahkan buat kedua sahabatku, Ust. Rusmin Saleh, SHI., MA (luwuk banggai) dan Arsyad B., SHI (Balikpapan).. kunanti kedatangan kalian sahabatku.

Catatan Bangkeng :
Petikan pembicaraan kami dalam pertemuan terakhir bulan Nopember 2009 yang lalu :
Arsyad : “Kita sudah sama-sama jadi pegawai, dan skor sekarang dua sama.
Rusmin : “Awas jangan sampai saya menang langsung menjadi 3-2).
Maksud dua sama adalah :
 Rusmin paling pertama jadi Master lalu jadi PNS
 Saya paling pertama lulus PNS lalu kuliah S 2
 Arsyad paling pertama menikah lalu lulus PNS
Tiga poin diatas, Kerja, kuliah minimal S 2, dan Menikah, adalah target-target yang kami namakan rancangan masa depan yang sering kami programkan dulu semasih kuliah di Mangkoso)

Saya diam saja mendengar kata-kata 2 sahabat saya, tapi dalam hati saya siap berkompetisi, siapa tahu siapa tahu saya lebih dulu menikah dari rusmin? Kan saya pemenangnya 3-2, he he he..kejutan…
Dikutip dari VIVAnews

BUANG RACUN TUBUH DENGAN TIDUR

Banyak manfaat yang bisa kita dapatkan jika melakukan aktivitas tidur dengan kuantitas dan kualitas yang baik.
Selain bisa meningkatkan kekebalan tubuh dan menjadi obat kecantikan alami, aktivitas tidur yang dijalani secara normal 7-8 jam tiap malam bisa membantu tubuh melakukan detoksifikasi alami untuk mengusir racun dalam tubuh.
“Tubuh kita secara alami bisa membersihkan racun dengan tidur yang berkualitas dengan kuantitas yang cukup,” kata DR Lily G Karmel MA dari Fit 'n Chic Family Fitnes saat ditemui di acara Seminar Hipertensi pada Peringatan Hari Hipertensi Sedunia tahun 2010 di Kantor Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementrian Kesehatan di Percetakan Negara, Jakarta, Senin 12 Juli 2010.
Lewat pemaparannya dalam seminar, berikut penggalan waktu tubuh melakukan detoksifikasi alami saat tidur:
21.00 - 23.00 : secara alami melakukan detoksifikasi tubuh dan pertumbuhan. Umumnya, proses pertumbuhan pada anak-anak terjadi pada waktu ini. Karena itu, jangan biarkan si kecil tidur lebih dari pukul 9 malam.
23.00 - 01.00 : terjadi proses pembersihan liver atau hati
01.00 - 03.00: detoksifikasi empedu
03.00 - 05.00: detoksifikasi paru-paru
05.00-07.00 : detoksifikasi usus besar
Tak hanya itu, DR Lily menambahkan, saat aktivitas tidur pukul 24.00-04.00 tubuh bahkan tak henti bekerja. Aktivitas sumsum tulang belakang terus memproduksi darah ketika kita sedang terlelap tidur.
“Untuk itu, lakukan tidur berkualitas dengan kuantitas cukup, sekitar 7-8 jam per malam,” katanya menegaskan.

Galery Video

Waktu Saat Ini

Jadwal Sholat

Rangkin FIFA

www.amrulgunper82.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Sahabatku

Sosok Hukum

Sosok Hukum
Justice Maybe Blind But It Can See In The Dark

PERSSIN ISL

Live Terbeken FM

Berita Lain

Kalender

About Me

Foto Saya
Amirullah Arsyad
Lahir di Sinjai tanggal 7 Juli 1982, putra ke 5 dari 7 orang bersaudara pasangan M. Arsyad Bakry dan St. Hasnah Gani (alm), riwayat pendidikan dimulai dari SD Negeri 183 Sinjai (1994,kemudian mengembara menimba ilmu di kampung tetangga, Madrasah I'dadiyyah DDI Mangkoso (1995), MTS DDI Mangkoso (1998), MA DDI Mangkoso (2001), STAI DDI Mangkoso (2006), dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan pada program Pascasarjana UMI Makassar konsentrasi Hukum Perdata. Jenjang karir mulai tahun 2007 (CPNS/Cakim) pada PA Jeneponto, kemudian tahun 2010 diangkat menjadi Hakim di PA Bitung, Sulut. Semasa Aliyah sampai S1 dia aktip di Organisasi daerah asal santri ORDAS IKSAGO, KUMSASIN, disamping juga aktip di Organisasi kemahasiswaan. Motto : jabatan bukanlah cita-cita, tetapi hanya alat untuk meraih cita-cita, cita-cita yang sejati adalah kembali ke kampung asal di SURGA
Lihat profil lengkapku