Gambar Slide

Gambar Slide
INDAHNYA PERSAHABATAN
(Catatan ini ku persembahkan buat sahabatku Rusmin Saleh dan Arsyad Beddu Lele0

Tak pernah terfikirkan sebelumnya, pertemuanku dengan Rusmin dan Arsyad beberapa tahun silam menjadi awal timbulnya ikatan emosial dalam diri kami. Dahulu kami yang hanya teman biasa, kenalan biasa, layaknya dengan teman-teman lainnya, kini menjadi sahabat sejati yang tak akan pudar meski dipisahkan oleh jarak.
Perkenalannyaku dengan dua sahabatku itu sebenarnya bukanlah baru. Arsyad misalnya, sejak kecil masa-masa ketika masih duduk dibangu SD sudah kukenal karena kami sekolah di SD yang sama (SD 183 Gunper, Sinjai Barat), hanya berbeda tingkatan. Arsyad lebih tinggi 4 kelas dari saya. Meski sekolah di SD yang sama tapi kami hanya kenal begitu saja (kan beda generasi he..he.. Arsyad seumuran dan sekelas dengan kakakku Kasma. Dari deretan teman masa kecilku Arsyad tidak masuk hitungan, soalnya tidak pas untuk dijadikan teman bermain (tidak sebaya).
Namun sejak hijrah ke Barru, mondok di Ponpes DDI Mangkoso sana, kami mulai akrab sebagai sesama perantau ilmu. Disana pulalah kami bertemu dengan Rusmin. Meskipun satu kampung dengan kami, tapi sebelumnya kami belum mengenal Rusmin. Maklum dia ‘orang kota’ tinggalnya di Manipi + 70 Km dari desa saya dengan Arsyad (sorry ukuran jarak pasnya tidak tau.. apa saya belum pernah ngukur ces..,, kalau kurang ditambah saja atau kurangi kalau kejauhan) jadinya tidak kenal. Seingatku (yang rada pelupa he..he), pertemuanku dengan Rusmin berawal ketika rombongan santri asal sinjai berencana berangkat bareng ke Mangkoso setelah liburan Ramadhan. Saat itu saya dengan Arsyad masih duduk di i’dadiyah sedang Rusmin sudah duduk di kelas 3 tsanawiyah, Tonronge. Rombongan yang dipimpin oleh Puang Razak (mahasiswa sekaligus pembina santri asal sinjai dan utusan bosowa yang juga om-nya Rusmin) mengambil tempat di rumah orang tua Rusmin di Manipi. Selama 2 hari kami berkumpul disana menunggu mobil carteran yang akan membawa kami ke Mangkoso. Disitulah saya mulai mengenal Rusmin meski tidak akrab. Jujur saja ketika itu ada rasa minder untuk akrab dengan Rusmin sekeluarga, maklum mereka orang ‘kota’. Lain halnya dengan saya dan Arsyad yang anak gunung tulen. Lagi pula dalam pandanganku keluarga Rusmin adalah keluarga yang terpandang (tinggalnya di Ibu Kota Kecamatan yang elit bagi orang kampung sepertiku).
Selain itu, kesan pertamaku sama Rusmin bahwa dia itu anak yang ‘aneh’ dan hidup ditengah keluarga yang ‘aneh’ pula. Bayangkan saja, bola karet yang kempes dipasangnya dikepala, katanya topi baja. Sambil membawa sapu sebagai senjata dia berlari keluar masuk rumah dan bergaya layaknya tentara yang berperang di Film Combat (tidak salah tulisji to). Selain gayanya yang sepertinya dibuat-buat untuk mencari perhatian orang-orang, dia juga suka main bola di dalam rumah, di depan kami. Anehnya Tata (papa Rusmin) bukannya melarang justeru ikut main bola, dan karena kelihatan seru jadilah kami semua pada ikut main bola rame-rame tanpa mempedulikan isi ruang tamu yang berantakan. Inilah yang saya katakan tadi ‘keluarga aneh’. Anak dan orang tua sama saja, tinggallah Ummi yang kewalahan.mengusir kami pakai sapu ijuk.
Selain aneh, sikap Rusmin juga agresif, kreatif, familiar dan sedikit sok akrab (tabe cummink). Hal itu membuat rasa minderku lama kelamaan hilang. Yang tersisa kemudian adalah kesan familiar dan persahatan sejati yang coba ‘ditawarkan’.
Khusus Arsyad, sejak kami sama-sama di Mangkoso kami sudah akrab. Kami merasa senasib dan terasing diperantauan ilmu. Lagi pula saat itu kami sama-sama berkulit gelap ditengah teman santri lain yang bule-bule kulitnya. Eh.. ngomong-ngomong kulitku kemudian berubah jadi putih sedikit, setidaknya kalau berdampingan dengan Arsyad (sorry Dg Jappa) tapi itu pengakuan anak Tonronge waktu tragedi Bioskop Mini Petta Aji Cacce ketika kita sudah mahasiswa, iya kan? Rusmin sendiri, kalau berdekatan dengan kami, akan nampak seperti bule masuk kampung. Maklum kulitnya amat bersih dan putih (wajar.. orangnya kan pemalas,, eh maksudnya dia tidak pernah turun sawah bantu-bantu orang tua membajak sawah atau mencari rumput untuk makanan ternak, orang tuanya guru sih).
Di i’dadiyah (sekolah persiapan sebelum masuk tsanawiyah atau aliyah), saya dengan Arsyad satu kelas, kami di unit B3. Namun kemudian saat ada pembentukan kelas baru, saya dipindah ke B6, kelas yang kata sebagian orang merupakan kelasnya santri yang IQ-nya paling rendah. Kata orang sih, aku sih adem ayem saja toh aku merasa tidak kalah dengan santri lain di kelas atasnya (asal tau aja, di kampung asal, saya rangking 2 terus lho, masa dibilang IQ-nya paling rendah). Meski tidak sekelas lagi tapi saya dengan Arsyad tetap saling mengunjungi. Baik berkunjung ke kelas masing-masing, maupun ke pondokan kami. Ketika itu saya memang tinggal di Asrama Malino (rumahnya Petta Biba yang didaulat jadi asrama), sementara Arsyad tinggal dirumah yang ditinggal oleh yang punya, kalau tidak salah Arsyad tinggal bersama seorang pembina santri, Pak Quddus dan Kak Wahid.
Setahun di i’dadiyah, saya dengan Arsyad pindah ke kampus II putra di bukit Tonronge (+ 2 Km dari kampus induk Mangkoso). Saya masuk tsanawiyah sedangkan Arsyad masuk Aliyah. Di Tonronge kami tinggal di pondok yang beda, Arsyad tinggal di Mantika X samping masjid, kemudian pindah ke mantika III (Ustman bin Affan). sedang saya tinggal di Mantika II (Umar bin Khattab). Pondok tempatku berukuran 4 x 5 cm2, ukuran yang cukup luas untuk ukuran anak kecil sepertiku dibandingkan pondokan mungil lainnya yang tersebar di Tonronge dan kebanyakan diisi 4 sampai 8 santri. Rusmin ? Mmm.. Rusmin tinggal di Asrama Kembar Malino Mantika IV (Ali nin abi Thalib), cukup dekat dari pondokanku. Pondok kami yang berdekatan itu membuat kami sering saling mengunjungi dan kadang bergantian nginap dipendokan kami. Kalau tidak dipondokanku, di pondokan Arsyad, atau di asramanya Rusmin.
Dari sini,kisah persahabatan sejati inipun mulai terjalin. Saat itu, saya dan Arsyad membuka kebun mini di belakang pondok mini kami. Dikebun itu kami tanami sayur-sayuran ala kadarnya. Darah petani memang tetap mengalir dalam tubuh kami, meski telah jauh dari kampung halaman. Teman-teman santri tetangga rumah sering menyebut kami “Anak seribu pulau” meski tak jarang teman-teman lain turut ambil bagian jika sayur kami sudah siap panen. Bagi saya dan begitupun Arsyad, saat itu kebun mini hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan ‘pangan’ kami (irit uang jajan ces biar gak kekeringan dikampung orang). Disamping itu pada dasarnya bercocok tanam adalah bagian dari hobi. Tak disangka, (mungkin) disinilah jalan Allah untuk saya dan mungkin juga dengan Arsyad untuk menunjukkan jalan terang untuk menapaki masa depan kami. Yang pasti secara perlahan hobi kami berkebun telah menjadikan kami tumbuh menjadi manusia yang mandiri dan selalu ingin berdikari tanpa selalu bergantung pada jerih payah keluarga dengan membebani pundak mereka yang sejatinya sudah penuh dengan beban keluarga. Kami selalu ingin menutupi kebutuhan kami sendiri, meski kecil-kecilan.
Oh iya.. ada lagi satu kebisaaan kami kalau tidak bisa dikatakan kegemaran yaitu sering masuk hutan. Yah, saban malam jum’at, kami masuk hutan untuk ‘rekreasi’ sekedar untuk menghilangkan kejenuhan terhadap pelajaran dan tugas-tugas di sekolah yang bukan main padatnya. Maklum hari jum’at merupakan hari libur sekolah sehingga kami sering memanfaatkannya untuk mencari hiburan dihutan-hutan (kebun terlantar yang ditinggal pemiliknya) meski kami harus absen mengikuti zikir bersama yang dipimpin uzt. Gurutta H. Alwi (almarhum). Sasaran kami adalah DAM penampungan air (kami menyebutnya cekdam). Kebisaaan ‘berwisata alam’ kami bertiga ini terus berlanjut sampai saya, Rusmin dan Arsyad telah menjadi mahasiswa, namun area wisata kami saat mahasiswa bukan lagi hutan, tetapi pesawahan penduduk (pakkampong) terkadang juga dikebun milik si empunya rumah yang kami tempati di Mangkoso ketika sudah mahasiswa (petta biba). Yang kebetulan kebun itu juga diserahkan ke Arsyad untuk digarap. Asryad memang tetap bertani sampai selesai kuliah. Bedanya saat itu dia benar-benar telah jadi petani asli, karena hasilnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan pangan tapi juga untuk membiayai kuliahnya. Saya sendiri dan juga Rusmin hanya sekedar ‘membantu-bantu’ saat mulai menanam jagung, dsb (simpang aset) maupun saat panen (tujuan kami membantu he..he..), kelak sepeninggal Arsyad (tamat kuliah maksudnya) saya mengambil alih tugas Arsyad menggarap kebun-kebun itu, meski tidak sesukses arsyad namun hasilnya cukup lumayan.
Di sawah-sawah pakkampong ataupun di kebunnya Arsayd itulah kami melanjutkan kebisaaan kami “berwisata’. Bedanya ketika masih di Tonronge wisata kami hanya sekedar untuk menghilangkan kejenuhan di sekolah. Tetapi ketika sudah mahasiswa kami lebih sering mengunakannya untuk berdiskusi, bertukar pikiran tentang apa telah kami raih dan apa yang masih akan kami perjuankan kedepan. Dengan beralaskan tikar plastik usang yang kami gelar di atas rerumputan, kamipun berbaring menatap bintang-bintang dan rembulan yang terang benderang dilangit, sambil menerawang.. apa yang akan kami lakukan kelak jika telah menyelesaikan studi di STAI DDI Mangkoso. Kami menyebut rutinitas kami yang dilakukan setiap bulan purnama itu sebagai Rancangan-Rancangan Masa Depan.
Berbagai petualangan-petualangan lainpun kami lalui, yang semuanya semakin mengeratkan hubungan persahabatan kami bertiga. Ikatan emosional yang sulit terpisahkan dan selalu terpatri dalam dada kami. Kami sering bepergian bersama kemanapun kami mau, tak hanya di Mangkoso tetapi juga di kampung (Sinjai) saat liburan. Kami adalah tiga serangkai, selalu ada dan selalu bersama-sama. Dikampung, karena keakraban kami dan seringnya kami jalan dan kumpul bersama, orang tua kamipun ikut menjadi lebih akrab dan menjadi komunitas keluarga besar.
Kebersamaan kami tetap berlanjut meskipun Rusmin kemudian melanjutkan pendidikannya di Pascasarjana UMI Makassar, setidaknya 2 minggu sekali dia tetap mengunjungi kami yang masih nongkrong di Mangkoso. Kebersamaan itu mulai terganggu ketika setamat di STAI, Arsyad merantau ke Kalimantan (kalau tidak salah di Bengalong, Kutai Timur) disana dia menjadi pengasuh di pesantren yang sampai sekarang saya belum tahu apa nama pesantren itu. Tinggallah saya dan Rusmin yang masih melanjutkan petualangan-petualangan kami. Sedangkan dengan Arsyad, komunikasi tetap kami jalin baik melalui surat, kaset rekaman suara yang dikirim melalui rekan seperantauannya, ataupun lewat HP. Pokoknya apapun dilakukan untuk menjaga komunikasi diantara kami tetap lancar. Pernah satu kali (lupa tahun berapa) Arsyad sempat ‘nyadar’ dan menemui kami. Tetapi masya Allah, kulitnya yang dari dulu memang sudah gelap, tambah gelap lagi. (kata pucca : kalau saja Arsyad tidak buka mulut kalau ketawa, tidak akan ketahuan kalau itu orang… ha..ha.. pucca jintu kuwa gang). Ketika dia datang bukan main riangnya saya dan Rusmin, pertemuan itu kami tidak sia-siakan, wisata alampun dilakukan lagi untuk mengenang kegemaran-kegemaran kami dahulu.
Tahun 2006 tepatnya bulan Juli 2006, saya menyelesaikan kuliah di STAI (bergelar akademik SHI), sedang Rusmin juga telah menyelesaikan kuliahnya di UMI dengan menyandang gelar MA (sama dengan gurutta tauwa) dan kamipun kembali ke kampung untuk mengabdikan ilmu kami dikampung halaman tercinta. Pada tahun ini juga, saya dan Rusmin ‘bersama-sama’ mengikuti ujian seleksi penerimaan calon hakim di PTA Makassar. Ketika itu Allah memberikan amanahnya dengan meluluskan saya sebagai salah seorang wakil-Nya (mudah-mudahan amien). Yang aneh ketika itu, meskipun Rusmin sama-sama ‘berjuang’, dia ogah-ogahan dan sama sekali tidak serius mengikuti ujian tes cakim, dia hanya mensupport saya bahkan mengajari saya kaidah-kaidah nahwu sebagai persiapan ujian baca kitab kuning yang menjadi salah satu materi ujian, sedang dia sendiri hanya belajar sambil lalu. Datang ke lokasi ujian saja (Lestari 45) terlambat 1 jam. Padahal saya yang kalang kabut menunggunya sedari pagi. Tahu apa yang dikatakan Rusmin setibanya di Gedung lestari 45? Dia bilang begini “Kodina kusa’ring, elokkija tinro naku pasa’rimmo..tarapassa lingka ujian padahal elokku paccappukampi” (Jengkelku, saya masih mau tidur tapi sudah terjaga padahal rencana nanti detik-detik akhir ujian baru saya datang). Satu lagi yang membuat saya heran dengan sikap Rusmin, dia datang tanpa membawa peralatan ujian sama sekali, jadilah pensilku saya potong dua dan ku berikan ke Rusmin, huuh heraannn dehh…. Sehari sebelum ujian Rusmin juga bilang, mudah-mudahan saya tidak lulus, saya sama sekali tidak berminat jadi hakim, nah lho..? Akhirnya Rusmin sendiri yang sejak awal memang ogah-ogahan mengikuti seleksi penerimaan calon hakim tersebut tidak lulus, dan atas ketidak lulusannya Rusmin malah bersyukur. Saya sebenarnya sangat menyayangkan sikap Rusmin yang tidak serius mengikuti ujian. Bagaimana tidak, diantara teman-teman sekampungku yang sama-sama mondok di pesantren dia yang paling jenius dan juga alim meski sedikit urakan. Belakang saya baru tahu, kalau Rusmin lebih condong terjun langsung ke masyarakat berda’wah. Dan tahun 2008 dia buktikan tekadnya dengan melamar dan lulus PNS di Depag sulawesi tengah untuk formasi kemasjidan.
Kembali ke tahun 2006 lalu. Pada tahun ini, Arysad pulkam, dari kakaknya kudengar kabar bahwa dia pulang untuk menikah (dengan Sriwati). Di acara perkawinan Arsyad, persahabatan kami yang sangat kental sejak dulu membuat saya dan Rusmin merasa perlu untuk turut andil dalam ‘mensukseskan’ acara perkawinan sahabat kami itu, bahkan Rusmin sempat menjadi guru privat Arsyad melafadzkan Ijab qabul pernikahan dalam lapadz arab,, Qabiltu Nikaaha haa bil mahril mazkur naqdan lillahi ta’ala (wow keerennnn..). sungguh, meski Arsyad yang menikah namun saya dan Rusminpun teramat bahagia melihat sahabat kami ini berbahagia, bersanding di pelaminan dengan wanita pujaan hatinya.
Satu hal yang sangat mengesankan saya, ketika kami akan mengantar Arsyad ke Bone (tempat pengantin wanita). Saat itu kendaraan pengantar terbatas dan tidak bisa mengangkut semua keluarga si Arsyad yang ingin ikut mengatar ke Bone. Namun apa yang dikatakan Arsyad dan keluarganya. “siapkan tempat untuk Amirullah dan Rusmin, mereka harus ada dalam rombongan”. Keluarga Arsyad yang lainpun mengalah dan memberikan tempat untuk saya, mereka sangat memahami betapa eratnya persahatan kami bertiga, dan kebahagiaan Arsyad hari itu adalah kebahagiaan kami bertiga yang harus dirasakan bersama, sungguh.. alangkah indahnya persahabatan ini.
Tahun 2006 itupun rupanya menjadi tahun terakhir petualangan-petualangan yang kami lalui bersama-sama. Karena kemudian Rusmin merantau ke Luwuk Banggai, sebuah daerah pemukiman transmigran di ujung timur propensi sulawesi tengah. Disana dia tinggal sampai lulus jadi PNS dan bertugas di Depag Luwuk Banggai (maaf kalau salah sebutka kodong).. Aryad sendiri karena telah berkeluarga, dia memboyong istrinya ke Bengalong, Kutai Timur. Disanalah mereka tinggal sampai Arsyad lulus pada penerimaan calon hakim di PTA Samarinda tahun 2009, dan sampai sekarang ini (tahun 2010) dia bertugas di Pengadilan Agama Balikpapan. Sedangkan sayatetap dipenempatan pertama, Pengadilan Agama Jeneponto
Kini, kami memang tidak bersama-sama lagi, kami telah berada didaerah yang saling berjauhan. Kami telah terikat dengan pekerjaan kami masing-masing, dengan kesibukan masing-masing, dengan aktifitas masing-masing, yang menyulitkan kami untuk saling ‘mengerling’ lagi. Tapi kami sadar, kebersamaan tidak semata ditentukan dengan seringnya kami jalan bersama, kumpul bersama. Kini kami harus belajar memahami bahwa persahabatan sejati, ada dalam hati kami. Persahabatan ini abadi, waktu dan jarak tidak akan mampu memisahkan persabatan kami, dan akan tetap bersama sebagai SAHABAT SEJATI, selamanya.
Catatan ini kepersembahkan buat kedua sahabatku, Ust. Rusmin Saleh, SHI., MA (luwuk banggai) dan Arsyad B., SHI (Balikpapan).. kunanti kedatangan kalian sahabatku.

Catatan Bangkeng :
Petikan pembicaraan kami dalam pertemuan terakhir bulan Nopember 2009 yang lalu :
Arsyad : “Kita sudah sama-sama jadi pegawai, dan skor sekarang dua sama.
Rusmin : “Awas jangan sampai saya menang langsung menjadi 3-2).
Maksud dua sama adalah :
 Rusmin paling pertama jadi Master lalu jadi PNS
 Saya paling pertama lulus PNS lalu kuliah S 2
 Arsyad paling pertama menikah lalu lulus PNS
Tiga poin diatas, Kerja, kuliah minimal S 2, dan Menikah, adalah target-target yang kami namakan rancangan masa depan yang sering kami programkan dulu semasih kuliah di Mangkoso)

Saya diam saja mendengar kata-kata 2 sahabat saya, tapi dalam hati saya siap berkompetisi, siapa tahu siapa tahu saya lebih dulu menikah dari rusmin? Kan saya pemenangnya 3-2, he he he..kejutan…

0 komentar:

Galery Video

Waktu Saat Ini

Jadwal Sholat

Rangkin FIFA

www.amrulgunper82.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Sahabatku

Sosok Hukum

Sosok Hukum
Justice Maybe Blind But It Can See In The Dark

PERSSIN ISL

Live Terbeken FM

Berita Lain

Kalender

About Me

Foto Saya
Amirullah Arsyad
Lahir di Sinjai tanggal 7 Juli 1982, putra ke 5 dari 7 orang bersaudara pasangan M. Arsyad Bakry dan St. Hasnah Gani (alm), riwayat pendidikan dimulai dari SD Negeri 183 Sinjai (1994,kemudian mengembara menimba ilmu di kampung tetangga, Madrasah I'dadiyyah DDI Mangkoso (1995), MTS DDI Mangkoso (1998), MA DDI Mangkoso (2001), STAI DDI Mangkoso (2006), dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan pada program Pascasarjana UMI Makassar konsentrasi Hukum Perdata. Jenjang karir mulai tahun 2007 (CPNS/Cakim) pada PA Jeneponto, kemudian tahun 2010 diangkat menjadi Hakim di PA Bitung, Sulut. Semasa Aliyah sampai S1 dia aktip di Organisasi daerah asal santri ORDAS IKSAGO, KUMSASIN, disamping juga aktip di Organisasi kemahasiswaan. Motto : jabatan bukanlah cita-cita, tetapi hanya alat untuk meraih cita-cita, cita-cita yang sejati adalah kembali ke kampung asal di SURGA
Lihat profil lengkapku