Gambar Slide

Gambar Slide

Kompilasi Hukum Islam dan UU Perlindungan Anak

(Kajian Terhadap Permasalahan Itsbat Nikah/Itsbat Poligami)

Amirullah Arsyad


Pendahuluan

Seorang lelaki (sebut saja P) duduk termenung di ruang tunggu sebuah pengadilan. Raut wajahnya menggambarkan bahwa dirinya tengah dilanda rasa bingung, putus asa, penuh tanda tanya dan mungkin pengharapan. Dia baru saja mengikuti jalannya persidangan dirinya yang cukup menyita waktu dan pikiran. Sesekali pandangannya tertuju pada beberapa pengunjung dan juga pegawai yang sesekali melintas di depannya, seakan ingin meminta suatu penjelasan yang sangat serius. Di sebelahnya duduk pula seorang perempuan (sebut saja T) dengan raut wajah yang tidak kurang sama dengan lelaki itu.

Beberapa hari sebelumnya, lelaki itu datang menghadap di Pengadilan Agama tersebut, dengan berbekal surat persetujuan untuk berpoligami dari istri pertama, dia mengajukan permohonan izin untuk berpoligami kepada pengadilan agama dengan seorang wanita (yang belakangan diketahui adalah merupakan istrinya). Setelah melalui rangkaian proses pemeriksaan persidangan, lahirlah putusan yang intinya tidak menerima (Niet Onvankelijk Verklaard/NO)[1] permohonan lelaki tersebut.

Dalam putusan itu, disebutkan bahwa dalam proses tanya jawab dan pemeriksaan saksi terungkap fakta yang juga diakui oleh lelaki P bahwa ia telah menikah secara siri dengan perempuan ‘yang akan dinikahinya’ jika permohonannya dikabulkan. Majelis hakim memberikan putusan NO dengan beberapa pertimbangan antara lain bahwa lelaki P telah nyata terbukti telah menikah dengan T sehingga tidak perlu lagi diberikan izin berpoligami. Pertimbangan majelis hakim tersebut tentu sangat beralasan, karena bagaimana mungkin seseorang diizinkan untuk menikah dengan istri sendiri, bagaimana mungkin seseorang diizinkan untuk berpoligami dengan istrinya sendiri. Bukankah yang harusnya diizinkan untuk menikah adalah mereka yang memang belum menikah. Dan jika sudah menikah lalu buat apa minta izin untuk ‘menikah ulang’? Sementara lelaki P telah terbukti telah menikah dengan perempuan T beberapa tahun yang lalu, meskipun itu dilakukan secara siri. Apalagi dia sudah memiliki keturunan dari hasil perkawinannya dengan orang yang “akan dinikahinya”.

Kepala KUA yang turut mendampingi orang tersebut berdalih bahwa dasar pemohon mengajukan permohonan izin poligami adalah karena perkawinan pemohonan P dan T tidak sah secara hukum karena perkawinannya tidak terdaftar di PPN KUA setempat alias menikah di bawah tangan, sehingga dianggap belum menikah. Akan tetapi meskipun perkawinan secara hukum (undang-undang) dianggap tidak sah namun izin poligami tetap bukan solusi yang tepat, karena perkawinan yang secara hukum atau menurut undang-undang perkawinan yang tidak sah, seharusnya di-itsbat-kan (disahkan)[2]

Di sisi lain, perkawinan P dengan T juga tidak bisa diistbatkan (sekiranya perkara poligami dialihkan ke Itsbat Nikah) karena dalam ketentuan pasal 7 ayat 3 Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan bahwa Itsbat nikah yang dapat diajukan di Pengadilan Agama adalah yang berkenaan dengan adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian atau perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan sebagainya.

Fenomena Nikah Siri di Masyarakat

Definisi Nikah Siri

Istilah nikah siri terdiri dari dua kata yaitu “nikah” dan “siri“. Nikah menurut bahasa mempunyai dua arti yaitu arti sebenarnya dan arti kiasan. Arti sebenarnya ialah dham, yang berarti menghimpit, menindih, atau berkumpul, sedang arti kiasannya ialah watha, yang berarti setubuh atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.[3]

Kata sirri yang dalam bahasa Arab artinya diam-diam atau tersembunyi sebagai lawan kata dari ’alaniyyah yaitu terang-terangan. Sama dengan istilah “di bawah tangan” yang merupakan kata kiasan, yang bermakna diam-diam atau tersembunyi.

Jadi nikah siri ialah nikah yang dilakukan secara diam-diam atau tersembunyi tanpa diketahui atau tercatat di lembaga negara, atau nikah yang dilakukan bukan di depan pegawai atau pejabat yang berwenang, sehingga tidak tercatat di Kantor Urusan Agama, atau Kantor Catatan Sipil.

Sesuai dengan definisi, ciri khusus yang selalu ada pada pernikahan siri adalah tidak adanya pencatatan dan pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah, atau Kantor Pencatatan Sipil bagi yang non Islam. Umumnya, nikah siri dapat dibedakan atas: nikah yang memenuhi tata cara menurut hukum Islam, dan nikah yang tidak memenuhi tata cara menurut hukum Islam.

Faktor-faktor Penyebab Pernikahan Siri

Nikah siri tidak dikenal dalam hukum perkawinan hukum positif. Nikah siri hanya dapat dikenali melalui ciri-ciri yang dimiliki. Nyaris dapat dipastikan setiap orang yang memilih untuk menikah secara siri, selalu dilandasi alasan dan maksud tertentu, kenapa pernikahannya perlu disembunyikan atau dilakukan secara diam-diam. Alasan menikah secara siri, relatif berbeda-beda setiap orang. Ada karena pengaruh ekonomi, ada karena takut ketahuan oleh isteri pertama atau oleh atasan, ada karena enggang menempuh prosedur, ada karena ingin menghindari hukuman disiplin, ada karena terseret dengan pergaulan yang dilarang agama, ada karena tidak direstui oleh orang tua, namun ada juga karena menurutnya sudah sejalan dengan ajaran agama, dan lain sebagainya.

Jadi alasannya, ada yang bersifat intern, yang berkenaan dengan pribadi si pelaku, dan ada yang bersifat ekstern, yang bersumber dari luar seperti keluarga, atasan. Ada juga yang bersifat subjektif, didasarkan pada kepentingan tertentu dan ada yang bersifat objektif, yang berkenaan dengan keadaan.

l

Status Hukum Pernikahan Siri

Mengenai hukum pernikahan yang dirahasiakan, Imam Malik menyatakan pernikahan tersebut batal, sebab pernikahan itu wajib diumumkan kepada masyarakat luas. Sedang menurut Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, nikah siri hukumnya sah, tapi makruh dilakukan.[4]

Di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya dalam penjelasannya, dinyatakan tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak diatur lain dalam undang-undang ini.

Suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah menurut hukum, apabila saat akan adanya hubungan hukum nikahnya dilakukan menurut hukum agama. Bagi yang beragama Islam, maka hubungan hukum nikahnya harus dijalin dengan hukum perkawinan Islam. Dengan kata lain akad nikah harus dilakukan menurut tata cara yang sesuai dengan ajaran Islam.

Di dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, dinyatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a) calon suami; b) calon isteri; c) wali nikah; d) dua orang saksi; dan e) ijab dan kabul.[5] Kelima hal yang harus ada tersebut, itulah yang biasa disebut rukun perkawinan. Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Sedang sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, disebut syarat perkawinan.[6] Rukun dan syarat perkawinan, memiliki kedudukan yang sangat penting, keduanya harus ada, tidak boleh ada yang tidak lengkap atau diabaikan.

Secara teori, suatu tindakan disebut perbuatan hukum manakala dilakukan menurut hukum, dan oleh karena itu berakibat hukum. Sebaliknya suatu tindakan yang tidak dilakukan menurut hukum, tidak dapat dikatakan perbuatan hukum sekalipun tindakan itu belum tentu melawan hukum dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan atau dilindungi oleh hukum.

Sejalan dengan kerangka teori, suatu akad nikah yang dilakukan, dapat memiliki dua wujud: pertama dilakukan semata-mata hanya menurut aturan Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Perkawinan, dan kedua dilakukan menurut aturan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang Undang Perkawinan secara simultan.[7]

Apabila wujud akad nikah yang pertama dipilih, maka pernikahan itu telah menjadi pernikahan yang sah menurut ajaran agama, namun belum termasuk kategori perbuatan hukum sehingga belum mendapat pengakuan secara hukum. Sebaliknya apabila wujud akad nikah yang kedua dipilih, maka perkawinan itu selain telah menjadi perkawinan yang sah menurut ajaran agama, juga merupakan perbuatan hukum sehingga perlu mendapat pengakuan dan perlindungan secara hukum.

Perbuatan kawin atau nikah, baru dikatakan perbuatan hukum apabila memenuhi unsur tata cara agama dan tata cara pencatatan nikah yang diatur Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Perkawinan. Kedua unsur tersebut, berfungsi secara kumulatif, bukan alternatif. Dengan kata lain, menurut Undang Undang Perkawinan, selain memenuhi aturan syariat, pernikahan haruslah dicatat petugas pencatat nikah. Pernikahan yang memenuhi kedua aturan itu, disebut legal wedding, dan jika sebaliknya disebut illegal wedding. Dengan demikian, jika dengan klausula yuridis bahwa perkawinan yang dilakukkan secara syar’i sebagaimana yang dimaksud di dalam ketentuan Undang Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu, maka selama itu pula nikah siri yang tidak tercatat akan menjadi fenomenal. Sekalipun ketentuan ayat (1) tersebut diikuti dengan ketentuan ayat (2) yang menyatakan bahwa perkawinan itu (sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat, namun dapat saja dimaknakan secara fenomenal pula bahwa ketentuan ayat (2) itu tidak melekat pada ayat (1) yang legalistik, sehingga dipahami sebagai dua hal yang berbeda pada domein dan pertanggungjawaban yang berbeda.

Pengesahan Pengakuan Nikah dan Ketentuan dalam KHI

Kaidah Hukum Pasal 7 KHI

Kaidah (atau norma) ialah rumusan asas yang menjadi hukum.[8] Atau sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam keadaan tertentu, atau petunjuk hidup yang mengikat.[9] Pemahaman akan hukum dimulai dengan pemahaman norma atau kaidah. Kaidah yang sudah mendapat legitimasi secara formal,[10] akan menjadi norma hukum yang harus dipatuhi dalam pergaulan di masyarakat. Norma yang sudah menjadi hukum dijamin kepastian hukumnya. Ciri-ciri umum dari kaidah hukum ialah legitimasi dan sanksi. Dari segi isi kaidah terdiri atas: a) perintah-perintah, b) larangan-larangan, dan c) kebolehan.[11]

Hukum ialah: a) norma (petunjuk hidup yang berupa perintah dan cegahan); b) yang berasal dan atau mendapat pengesahan dari negara; c) bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan ketertiban dalam masyarakat; dan d) mempunyai sanksi yang tegas dan nyata dari Negara terhadap mereka yang tidak mentaatinya.[12]

Fungsi langsung hukum dapat dibedakan atas: fungsi yang bersifat primer, dan fungsi yang bersifat skunder. Fungsi primer antara lain berupa pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong dilakukannya perbuatan tertentu, penyediaan fasilitas bagi rencana-rencana privat. Fungsi sekunder antara lain berupa memperkuat dan memperlemah penghargaan terhadap otoritas umum.

Di dalam Pasal 64 UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang Undang ini berlaku, yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama adalah sah. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut UUPA), dikatakan bahwa salah satu bidang perkawinan yang diatur dalam Undang Undang Perkawinan adalah pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijalankan menurut peraturan lain. Dilihat dari segi jangka waktu, itsbat nikah yang ditampung oleh Undang Undang Perkawinan dan UUPA, terbatas pada alasan perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 berlaku secara efektif.

Pengesahan nikah biasanya diperlukan bagi mereka yang sudah lama melangsungkan pernikahannya, yang membutuhkan keterangan dengan akta yang sah, seperti untuk mendapatkan pensiunan janda, pensiunan veteran, dan sebagainya. Dalam kitab I’anatut Thalibin, juz IV sebagaimana dikutip Moch. Anwar, untuk mensahkan pengakuan itu diperlukan persyaratan, yaitu:

Dalam pengakuan nikah seseorang perempuan, harus dikemukakan sahnya pernikahan dan syarat-syaratnya, yaitu seperti: Wali, dan dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil.[13]

Orang yang hanya menyatakan diri telah menikah, menurut pendapat yang paling shahih secara mutlak tidak dianggap cukup. Melainkan ia harus menerangkan:

Saya menikahi dia dengan wali orang yang baik (benar) serta dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil dan atas ridlanya (mempelai wanita), kalau keridlaan itu memang disayaratkan.[14]

Dalam hal ini, seseorang yang mengaku telah menikah namun pernikahannya tidak terdaftar pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (PPN KUA) Kecamatan setempat, untuk dapat disahkannya secara hukum (undang-undang), maka dia dapat mengajukan permohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama dalam wilayah yang meliputi domisili pemohon yang bersangkutan (dalam hukum acara diistilahkan kompetensi relatif).

Dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang sekilas telah disinggung dimuka, disebutkan bahwa itsbat nikah yang hendak dimohonkan ke Pengadilan Agama hanyalah perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, lebih lengkapnya berikut kami kutip ketentuan pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam tersebut:

Ayat (3) : Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas

mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian ;

(b) Hilangnya Akta Nikah ;

(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan ;

(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan ;

(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ;

(baca pasal 7 s/d pasal 12 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)

Dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, lembaga itsbat nikah yang ditampung oleh Kompilasi Hukum Islam, lebih luas dan lebih maju. Lebih luas karena juga mencakup perkawinan yang terjadi setelah Undang-Undang Perkawinan berlaku, dan perkawinan poligami. Lebih maju karena tidak terbatas dilakukan dalam rangka perceraian. Tetapi juga pada hal-hal yang berkenaan dengan hak untuk mendapat perwalian, hak untuk mendapat warisan dan lain sebagainya.

Dalam Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tersebut diatas terutama huruf (a) dengan sangat jelas menyebutkan bahwa permohonan itsbat nikah yang diterima di pengadilan agama adalah itsbat nikah dalam rangka perceraian, sedangkan lelaki P dengan perempuan T hanya ingin perkawinan mereka dinyatakan sah secara hukum dan bukan dimaksudkan untuk perceraian. Selain itu, perkawinan lelaki P dan perempuan T juga terjadi setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Dilematis memang permasalahan yang dihadapi lelaki P. Jikalaupun P mengItsbatkan nikahnya dengan alasan perkawinan secara hukum tidak sah, juga belum bisa diterima karena terbentur dengan pasal 7 Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah disebutkan dimuka. Karena salah satu syarat untuk dikabulkan/diItsbatkannya nikah adalah istbat nikah dalam rangka perceraian.

Permasalahan yang sesungguhnya adalah jika P dan T tidak didapatkan solusi atau jalan keluar dari masalahnya atau dibiarkan saja dengan kondisinya saat itu, maka yang merasakan dampaknya adalah anak dari hasil perkawinan siri P dan T karena menyangkut masa depan si anak terutama untuk pendidikannya. Bisa saja kita beranggapan bahwa itu adalah adalah resiko atas perbuatan orang tua yang menikah dan berpoligami tanpa izin pengadilan, ataukah biarlah itu menjadi pelajaran bagi orang tuanya dan juga orang lain untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama, namun dalam hal ini bukan orang tuanya semata yang harus dihakimi, tetapi lebih dari itu hak dan kepentingan si anak jangan sampai dilupakan apalagi diabaikan.

Perlu kami tambahkan sedikit kaitannya dengan apa yang kami paparkan diawal tulisan ini bahwa tujuan lelaki P memohon ‘izin poligami’ agar anak/keturunannya bisa memiliki hak dan jaminan masa depan yang sama dengan anak P yang lain dari istri pertamanya dengan maksud memasukkan anak dan ‘istri keduanya’ dalam tanggungan lelaki P yang notabene adalah PNS. Jaminan yang dimaksud adalah jaminan nafkah, untuk warisan kelak, dan yang terpenting dan sifatnya mendesak adalah pendidikan si anak. Jaminan nafkah hidup bagi anak bisa saja terpenuhi untuk saat ini dan mungkin juga untuk kedepannya karena si anak bisa mendapat bagian dari harta orang tuanya melalui wasiat, hibah dan sebagainya. Namun untuk saat ini yang paling penting dan sifatnya mendesak adalah jaminan dan kelangsungan pendidikan si anak.

Seperti yang diketahui bahwa kebijakan pemerintah dibidang pendidikan sekarang ini, salah satu syarat untuk mendaftar atau masuk ke sekolah SD, adalah dengan melampirkan Akta Kelahiran yang bersangkutan. Sementara pengurusan untuk penerbitan akta kelahiran sendiri memerlukan Buku Nikah atau Akta Nikah orang tua si anak.

Mengitsbatkan Nikah Siri

Secara terminologi, itsbat ialah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) perkawinan. Nikah siri ialah nikah yang dilakukan secara diam-diam, dan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama. Itsbat nikah siri ialah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah siri dengan tujuan agar diakui dan dilindungi oleh hukum. Nikah siri yang akan diitsbatkan menuntut hukum formal untuk berkerja secara terpadu dengan hukum materil. Hukum materil ialah tata cara yang harus ditempuh untuk mendapat atau mewujudkan sesuatu. Hukum formal ialah alat untuk menegakkan atau mempertahankan hukum materil.[15]

Terkait dengan Itsbat nikah, yang dimaksud hukum materil ialah hukum agama sebagai dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, atau rukun dan syarat perkawinan sebagai dimaksud dalam Pasal 15 sampai Pasal 38 Kompilasi Hukum Islam. Jadi, indeks untuk menyeleksi atau menentukan nikah siri yang dapat diitsbatkan, adalah rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan yang telah ditentukan secara limitatif dalam hukum Islam. Sebaliknya, pernikahan liar atau pernikahan yang tidak memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan menurut hukum Islam, tidak dapat diitsbatkan.

Di dalam Buku II Edisi 2007 ditegaskan Pengadilan Agama hanya dapat mengabulkan permohonan itsbat nikah sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan memenuhi syarat dan rukun nikah secara syariat Islam dan pekawinan tersebut tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur di dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam.[16]

Perlunya ada kriteria seperti di atas, dimaksudkan untuk menghindari kesan, bahwa Pengadilan Agama dapat digunakan sebagai tempat cuci piring oleh orang-orang yang sengaja tidak mau taat pada hukum, atau pura-pura tidak mengetahui hukum. Terlebih jika nikah sir i itu hanya dijadikan kedok untuk perselingkuhan sehingga melabrak rukun dan syarat perkawinan yang baku.

Pada dasarnya, itsbat nikah yang dimaksud di dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam, memiliki maksud agar pernikahan tersebut mendapatkan pengakuan dan perlindungan secara hukum.

Itsbat Nikah Dalam Praktik

Putusan Pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal yang relevan secara yuridis yang muncul secara sah di persidangan. Putusan Pengadilan yang tidak logis akan dirasakan oleh masyarakat, sekalipun yang paling awam tentang hukum, karena putusan Pengadilan menyangkut nurani kemanusiaan. Untuk mengitsbatkan suatu pernikahan yang tidak tercatat, dalam praktik tidaklah semudah yang dibayangkan. Hal itu disebabkan, dalam kasus tertentu, selain belum adanya kesamaan persepsi, mengenai kapan suatu pernikahan dapat dikategorikan sah menurut hukum, juga kadang ada tarik-menarik antara azas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan,[17] mana yang harus diutamakan.

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa ketiga azas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi, yaitu dengan cara menerapkan ketiga-tiganya secara berimbang atau proporsional.[18] Berikut akan dipaparkan beberapa kasus yang menarik untuk dicermati.

1. Penafsiran Terhadap Pasal 2 ayat (1) UUP :

Kasus posisi, seorang pria menikah dengan seorang wanita, sebagai isteri kedua. Mereka menikah menurut tata cara ajaran Islam. Semua rukun dan syarat dipenuhi, kecuali satu, yaitu si pria tidak memiliki izin poligami dari Pengadilan Agama. Berhubung tidak ada izin poligami, maka nikah yang dilakukan tidak tercatat di kantor urusan agama, dan tidak dapat dibuktikan dengan buku nikah resmi dari pejabat yang berwenang. Beberapa waktu kemudian, setelah diadakan pemeriksaan, akhirnya diputus oleh Mahkamah Agung.

Keputusan, dalam kasus yang pertama, majelis hakim berpendapat perkawinan poligami yang dilakukan yang hanya memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang Undang Perkawinan saja, adalah sah, karena telah sesuai dengan hukum Islam, sedangkan pencatatan sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan adalah untuk menertibkan perkawinan dan tidak mengandung sanksi tidak sahnya perkawinan itu. Namun ia tetap dipersalahkan karena melanggar pasal 279 KUHP yaitu melakukan perkawinan sedangkan perkawinan yang sudah ada menjadi halangan bagi perkawinan tersebut, sehingga majelis menjatuhkan hukuman 5 (lima) bulan penjara.[19] Namun pada lain waktu, dengan kasus yang persis sama, hanya beda pelaku dan tempat, majelis menjatuhkan putusan yang berbeda.

Dalam kasus yang kedua, majelis berpendapat bahwa perkawinan poligami yang dilakukan hanya memenuhi pasal 2 ayat (1) Undang Undang Perkawinan saja bukan perkawinan yang dimaksud oleh pasal 279 KUHP, sehingg ia tidak terbukti melakukan kejahatan, maka ia dibebaskan dari tuntutan pidana penjara.[20]

Jelas, bahwa kedua pendapat yang berbeda di atas, juga menimbulkan akibat hukum yang bertolak belakang atau kontradiktif.

2. Yang Berkenaan Dengan Tujuan Hukum

Kasus posisi, seorang pria yang berstatus pegawai negeri sipil, melakukan poligami. Mereka menikah sesuai tata cara ajaran Islam. Semua rukun dan syarat yang ditentukan telah dipenuhi, kecuali satu yaitu izin poligami dari instansi berwenang. Oleh karena tidak dibekali izin poligami, maka perkawinannya pun tidak pernah tercatat, dan tidak dapat dibuktikan dengan buku nikah resmi dari pegawai pencatat nikah.

Beberapa tahun kemudian, ketika ia akan mengurus akta kelahiran dan ingin memasukan anak-anaknya dari isteri kedua sebagai tanggungan, tetapi ditolak oleh Kantor Pencatatan Sipil dan BAKN karena yang bersangkutan tidak dapat menunjukkan buku nikah resmi.

Jika sekiranya pegawai negeri yang berpoligami itu mengajukan permohonan itsbat ke Pengadilan Agama untuk istri kedua, apakah dapat dikabulkan atau tidak? Mengenai masalah (yang dialami oleh pegawai negeri) diatas, belum ada kesamaan persepsi.

Bagi yang lebih mengedepankan azas kepastian hukum, berpendapat permohonan itsbat tidak dikabulkan karena ia tidak memiliki izin poligami dari Pengadilan Agama, dan sebagai pegawai negeri semestinya ia memberi contoh yang baik ditengah masyarakat. Sementara yang lebih mengutamakan azas keadilan dan kemanfaatan, berpendirian permohonan patut dipertimbangkan untuk dikabulkan, karena perkawinnya telah memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang Undang Perkawinan. Adapun mengenai tidak adanya izin poligami, hal itu dapat dikesampingkan, mengingat memberi pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak keperdataan anak-anak dan isteri kedua, jauh lebih penting. Adalah sangat tidak adil jika anak-anak yang tidak berdosa dan tidak pernah mengetahui persoalan harus terbebani resiko yang merugikan.

3. Menikah Sebelum Masuk Islam

Kasus posisi, sepasang muda mudi non muslim menikah dibawah tangan, tidak tercatat di Kantor Catatan Sipil. Tidak lama setelah masuk Islam mereka ingin bercerai tetapi tidak memiliki buku nikah. Lalu isteri mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama, kumulasi permohonan itsbat nikah. Terhadap masalah ini sampai sekarang tetap belum ada kesatuan pendapat dengan argumen yang berbeda.

Solusi, pendapat pertama, itsbat nikah yang dimohon oleh isteri dapat dipenuhi oleh Pengadilan Agama, karena mereka telah memeluk agama Islam. Dengan masuk Islamnya mereka, akad nikah yang dilaksanakan sebelumnya, dengan tata cara agama apapun, otomatis dikonversi/diubah hukumnya menjadi sah secara Islam. Karena sahnya itu berlaku surut, maka subjek, objek, perbuatan dan hukum yang digunakan dalam pernikahan sebelumnya dianggap dilakukan berdasarkan hukum Islam, maka lekatlah asas personalitas keislaman dalam kasus pernikahan itu. Dengan demikian, Pengadilan Agama jadi berwenang untuk mengitsbatkannya.

Sementara pendapat kedua, menyatakan pernikahan mereka tidak dapat diitsbatkan oleh Pengadilan Agama, karena saat terjadinya pernikahan mereka non Islam, sehingga pernikahannya dilakukan diluar tata cara ajaran Islam. Yang berwenang untuk mengitsbatkan adalah Pengadilan Negeri.

Kemampuan seorang hakim akan terlihat dari kualitas putusan yang dilakukannya. Kualitas putusan berkorelasi dengan profesionaliasme, kecerdasan moral, dan kepekaan nurani hakim. Pertimbangan yang mendasari putusan pengadilan akan terlihat seperti anyaman tikar pandan yang saling berhubungan dan bersesuaian. Kebenaran yang dituangkan dalam bahasa putusan pengadilan adalah hasil olah pikir berdasarkan fakta-fakta persidangan yang relevan secara yuridis.

Hak Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa Negara menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan hak anak yang merupakan hak asasi manusia, berhak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya, termasuk di dalamnya adalah hak anak terhadap pendidikan.

Berikut kami kutip beberapa ketentuan pasal dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:

Pasal 1 (2) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

(12) Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.

Pasal 3 Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahteran.

Pasal 9 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

Pasal 20 Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Dalam ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal yang kami kutip di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa negara dan pemerintah termasuk masyarakat ataupun keluarga, wajib menjamin hak anak yang merupakan bagian hak asasi manusia, termasuk hak anak memperoleh pendidikan dan pengajaran untuk pengembangan pribadi anak, dan sebagainya. Pendidikan di sini bukan hanya pendidikan anak dalam keluarga, tetapi juga pendidikan formal di sekolah.

Jika negara dan pemerintah berkewajiban memenuhi hak anak khususnya hak pendidikan, maka jalan apa yang seharusnya ditempuh agar hak anak tersebut dapat terpenuhi haknya dan tidak berbenturan dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam sekiranya perkawinan orang tua si anak secara hukum tidak sah karena menikah dibawah tangan?

Haruskah orang tuanya ‘mengelabui hukum’ dengan ‘berpura-pura bercerai’ untuk memenuhi pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam agar Itsbat nikahnya bisa digunakan dalam penerbitan akte kelahiran anak demi kepentingan pendidikan anak? Rasanya tidak mungkin bisa diterima. Bukan saja karena mempermainkan hukum, lebih dari itu juga mengolok-olok ajaran syaria’at Islam. Bukankah perkawinan adalah suatu yang sakral? Dan bukankah talaq meskipun halal tapi dibenci tuhan? Apalagi mempermainkan perkara talaq? yang sama saja dengan mengolok-olok Tuhan.

Ataukah ketentuan pasal itu dikesampingkan saja demi kemaslahatan anak? Ataukah perlu dibuatkan ketentuan tertentu untuk kasus tertentu seperti diatas? Lalu bagaimana hubungannya dengan kepastian hukum? Ataukah hukum disini tetap harus difungsikan sebagai a tool of social engineering?[21]

Kiranya permasalahan ini tetap perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah terutama bagi pakar-pakar hukum untuk terus menggali hukum dan permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat untuk dicarikan solusi. Dan yang terpenting sekali adalah perlunya sosialisasi pemahaman hukum yang lebih giat dan aktif lagi serta berkesinambungan bagi masyarakat agar masyarakat lebih mengetahui aturan hukum dan undang-undang yang berlaku. Karena meskipun ada irah-irah dalam dalam dunia hukum, bahwa Masyarakat dianggap mengerti hukum, namun faktanya masih banyak masyarakat masih buta dengan aturan hukum yang berlaku dalam negara kita. Menurut Muin Fahmal “Sangat salah jika selalu dikatakan masyarakat dianggap tahu hukum, namun sosialisasi undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya tidak maksimal dan nyatanya masih banyak masyarakat yang tidak tahu ataupun belum mengerti hukum lalu kemudian mereka dikena sanksi atas perbuatan mereka yang melanggar hukum yang mereka tidak tahu perbuatan itu adalah sebuah pelanggaran[22] Pernyataan fakar hukum tersebut mengindikasikan betapa pentingnya sosialisasi aturan hukum terus digalakkan. Dengan demikian hukum lebih tepat guna dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat.

Daftar Pustaka

Abubakar, Zainal Abidin, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Surabaya: Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, 1992.

Anwar, Moch., Dasar-dasar Hukum Islami dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, Bandung: CV. Diponegoro, 1991.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984/1985.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III; Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Depag RI., 2001.

Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini, 1990.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2008.

Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 2004.

Mujieb, M. Abdul, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta: Khairul Bayan, 2004.

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.

Sosroatmodjo, Arso dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 2004.

Sugandi, R., KUHP dan Penjelasannya; Surabaya: Usaha Nasional), tt.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2007.

Tim Diskusi Hakim Pengadilan Agama Jeneponto, Problematika Nikah Siri, Jeneponto: Pengadilan Agama Jeneponto, 2010.

Tim Penyempurnaan dan Pengkajian Buku I, Buku II, Buku III dan Buku tentang Pengawasan (Buku IV) Mahkamah Agung RI.Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingungan Peradilan Buku II Edisi 2007; Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2009

Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Surabaya : Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, 1992.

0 komentar:

Galery Video

Waktu Saat Ini

Jadwal Sholat

Rangkin FIFA

www.amrulgunper82.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Sahabatku

Sosok Hukum

Sosok Hukum
Justice Maybe Blind But It Can See In The Dark

PERSSIN ISL

Live Terbeken FM

Berita Lain

Kalender

About Me

Foto Saya
Amirullah Arsyad
Lahir di Sinjai tanggal 7 Juli 1982, putra ke 5 dari 7 orang bersaudara pasangan M. Arsyad Bakry dan St. Hasnah Gani (alm), riwayat pendidikan dimulai dari SD Negeri 183 Sinjai (1994,kemudian mengembara menimba ilmu di kampung tetangga, Madrasah I'dadiyyah DDI Mangkoso (1995), MTS DDI Mangkoso (1998), MA DDI Mangkoso (2001), STAI DDI Mangkoso (2006), dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan pada program Pascasarjana UMI Makassar konsentrasi Hukum Perdata. Jenjang karir mulai tahun 2007 (CPNS/Cakim) pada PA Jeneponto, kemudian tahun 2010 diangkat menjadi Hakim di PA Bitung, Sulut. Semasa Aliyah sampai S1 dia aktip di Organisasi daerah asal santri ORDAS IKSAGO, KUMSASIN, disamping juga aktip di Organisasi kemahasiswaan. Motto : jabatan bukanlah cita-cita, tetapi hanya alat untuk meraih cita-cita, cita-cita yang sejati adalah kembali ke kampung asal di SURGA
Lihat profil lengkapku