Gambar Slide

Gambar Slide
Sebuah legenda beredar dari kaki Gunung Karampuang, Kabupaten Sinjai,  Sulswesi Selatan. Legenda tentang seorang manusia sakti bernama To Manurung yang turun dari langit dan memberikan sejumlah pesan dan pengetahuan baru bagi warga desa: tentang tatanan hidup sederhana dan pentingnya kebersamaan. Pengetahuan itu hingga kini masih ditaati para pengikutnya yang hidup mengucilkan diri di sebuah desa adat yang disebut Karampuang.
Desa yang terletak sekitar 31 kilometer dari pusat Kota Sinjai ini, memang mencerminkan suatu desa tradisional yang ketat memegang teguh amanah para leluhur. Konon, asal kata dari Karampuang tersebut diambil dari kata Karaeng dan Puang. Penamaan ini akibat dijadikannya lokasi itu sebagai pertemuan antara Kerajaan Gowa (Karaeng) dan Kerajaan Bone (Puang). Dalam legenda Karampuang juga dikisahkan bahwa asal mula adanya daratan di Sinjai berawal dari Karampuang. Dahulu daerah ini adalah wilayah lautan sehingga yang muncul ke permukaan adalah beberapa daerah saja, termasuk Karampuang. Yang muncul itu dinamakan cimbolo, yakni daratan yang timbul seperti tempurung di atas permukaan air. Di puncak cimbolo muncul To Manurung yang akhirnya digelar Manurung Karampulue (seseorang yang karena kehadirannya menjadikan bulu kuduk berdiri).
Dengan lokasi terpencil di tengah bukit berbatu, Karampuang menjadi daerah yang jarang dijamah pengaruh luar. Tak heran, kondisi seperti ini juga menyebabkan warga tak pernah berniat mengubah tatanan yang sudah ada dengan arus perkembangan begitu cepat di luar desa mereka. Tradisi lama masih mereka pegang. Tatanan baru tak mengubah tatanan lama dan kehidupan yang penuh kesederhanaan tak pernah mereka tinggalkan. Karampuang adalah sebuah desa adat yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip manajemen sebuah kerajaan. Ada raja, perdana menteri, dan beberapa menteri. Karampuang dipimpin seorang Pamatoa yang berfungsi sebagai raja, Panggela sebagai Perdana Menteri, Sangro atau dukun sebagai menteri kesehatan dan kesejahteraan. Kemudian ada Guru yang bertindak sebagai menteri pendidikan dan keagamaan.
Kendati begitu, di kerajaan ini tak akan ditemukan istana yang megah dan gemerlap layaknya kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi maupun di daerah lainnya. Istana hanya berupa dua rumah panggung beratap rumbia. Satu di antaranya menjadi tempat tingal Pamatoa dan yang lainnya menjadi kediaman Panggela dengan beberapa kamar yang menjadi hak Sangro dan Guru serta Ana Malolo yang bertugas sebagai Pabicara atau juru bicara alias menteri penerangan. Kesederhanaan juga tampak dari penampilan para raja dan pejabatnya yang hampir tak bisa dibedakan dengan warga biasa. Bagi mereka, fungsi lebih penting ketimbang sekedar simbol-simbol yang menunjukkan hirarki sosial. Sederhana, memang.
Kegiatan menonjol di komunitas Karampuang adalah pembacaan ayat-ayat suci Alquran yang digelar setiap malam Jumat. Biasanya menjelang malam, ayat-ayat Alquran akan mengalun dari sebuah rumah adat yang ditinggali oleh Panggela Mangga. Bagi warga Karampuang, Jumat adalah hari istimewa. Apalagi, ketika jagung telah dipetik dan sawah mulai dibasahi. Ini pertanda bagi mereka untuk memulai menanam padi. Saat seperti itulah, sebagai umat muslim mereka mempunyai kewajiban berkumpul untuk membacakan doa dan puji-pujian kepada Allah SWT pada malam menjelang mereka mulai menggarap sawah.
Malam Barjanji. Demikian mereka menyebut acara tersebut. Acara itu dipimpin Guru dan dihadiri hampir seluruh pejabat dan warga Karampuang. Pamatoa yang dianggap orang suci dibebaskan dari urusan-urusan kemasyarakatan. Untuk urusan seperti ini, Guru dan Ana Malolo-lah yang banyak berperan. Pamatoa dan Panggela lebih mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran adat.
Memang ada satu pejabat yang juga tak terlihat di forum ini yakni Sangro yang bertugas sebagai menteri kesehatan dan kesejahteran. Namun, Sangro bukannya tak ada. Tapi, malam ini justru Sangro harus bertugas mempersiapkan masakan bagi para tamu dan tugas itu dilakukannya di dapur sebagai menteri kesejahteraan. Sangro memang kerap dijabat oleh seorang wanita.
Barjanji sebenarnya mengandung makna sebagai sebuah permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar yang akan dilakukan esok hari mendapatkan hasil baik. Barjanji telah menjadi tradisi bagi warga Karampuang untuk memulai setiap tahap kegiatan yang dilakukan secara kolektif. Namun, Malam Barjanji bukan sekadar malam untuk berdoa. Malam Barjanji juga menjadi malam untuk berkumpul makan besar sambil membicarakan berbagai masalah mereka, termasuk arisan adat untuk menentukan tanah yang akan digarap esok hari. Sebagai komunitas kecil dengan sumberdaya yang terbatas, satu petak sawah di Karampuang kerap dikerjakan seluruh warga desa laki-laki dengan sistem arisan bergilir. Kali ini dua warga mendapatkan kesempatan pertama untuk digarap sawahnya.
Sesuai kesepakatan, pada pagi harinya seluruh warga bersama-sama pergi ke sawah. Namun, sawah di Karampuang terletak di lembah di antara bukit berbatu. Kondisi ini membuat warga sulit membuka lahan persawahaan. Sebidang tanah kecil harus mereka dapatkan dengan kerja keras bertahun-tahun hanya untuk sekadar menyisihkan kerikil-kerikil batu yang berserakan.
Dipimpin Panggela, seluruh kaum lelaki di sana bekerja seharian untuk mengolah sawah. Semua tenaga dikerahkan, termasuk sapi dan kerbau yang menjadi milik adat. Di saat para kaum laki tengah bersawah, kaum Hawa di sana hanya berdiam di rumah. Seusai mempersiapkan bekal bagi kaum Adam di sawah, para perempuan meluangkan waktu dengan bersantai di rumah. Berbeda dengan kediaman Panggela, di rumah ini, dalam bimbingan Sangro para wanita kembali mempersiapkan berbagai makananan untuk acara yang diberi nama Petik Jagung pada malam harinya.
Ketika matahari mulai terbenam, para lelaki pulang ke rumah. Setelah melepas lelah, mereka kembali berkumpul di kediaman Panggela untuk melaksanakan acara Petik Jagung. Acara ini sebenarnya bukan ritual yang sarat dengan unsur religius. Namun, acara ini sekadar hiburan bagi mereka yang seharian bekerja keras di sawah. Acara ini juga sekaligus untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan. Uniknya, wujud syukur ini dilakukan dengan cara bernyanyi sambil membelai-belai jagung. Acara ini juga menjadi forum sosial dalam membagi hasil jagung kepada warga dan pejabat kerajaan.(ORS/Potret)

Ade” karampuang ko bulu”he Sinjai

KARAMPUANG.
Adalah kawasan adat di kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, yang tidak banyak dikenal luas. Namun ternyata, Karampuang adalah sebuah desa yang sudah ada sejak puluhan ribu tahun lalu, hal ini dapat kita lihat dari Berbagai situs peninggalan sejarah leluhur orang karampauang, yang menjadi misteri dan belum dapat terungkap sepenuhnya. Dengan menempuh perjalanan sekitar satu jam dari pusat kota kabupaten sinjai, dimana desa karampuang letaknya berada di bebukitan yang ketianggianya sekitar seribuh meter dari permukaan laut.
Desa karampuang yang hanya di huni sekitar 70 kepala keluarga, dimana masyarakatnya begitu, mengutamakan hidup harmonis.
Masyarakat adat Karampuang cenderung masih sangat tertutup, Bagi mereka dunia luar bisa merusak adat dan tradisi yang mereka jaga selama puluhan ribu tahun.
Karampuang adalah desa purba yang sudah ada sejak zaman megalitik atau zaman batu, sebagai Bukti adalah goresan Situs purba bernama Manusia Kangkang.
Selain itu terdapat Kolam tua di desa karampuang, dimana kolam itu digunakan untuk memandikan balita, yang diyakini masyarakat karampuang, bila air melimpah dikolam, maka warga akan berebut memandikan bayinya, karena airnya akan membawa berkah.
Di desa karampuang juga terdapat ribuan makam purba yang usianya suda puluhan ribu tahun, serta situs yang dikeramatkan yaitu situs batu lapa, dimana masyarakat karampuang menyakini jika manusia pertama dibumi ini adalah berasal dari karampuang.
Konon ceritanya puluhan ribu tahun lalu, sosok seorang wanita atau dewi, yang disebut dengan to manurung, membuat satu istana dan membentuk masyarakat adat karampuang, setelah itu sang wanita “to manurung” kembali kelangit dimana awalnya ia berasal.
Mitos to manurung itulah, yang terus dipertahankan oleh masyarakat adat karampuang, dan dijadikan sebagai pemacu semangat sumber penggerak kehidupan mereka.
Kendati sudah berusia 14 abad, Toma Toa “rumah tua” masih berdiri kokoh. Seluruh kegiatan pemerintahan di Karampuang berpusat di rumah yang mereka sangat sakralkan ini.
Berbeda dengan rumah adat Bugis pada umumnya, yang lebih menonjolkan sifat ke laki-lakian, sebaliknya Toma Toa melambangkan keangunan dari sosok perempuan. Masyarakat Karampuang adalah matrilinial. Sesuatu yang unik dan langka di Sulawesi Selatan.
Begitu sakralnya rumah ini, bila ingin memperbaiki Toma Toa, mereka harus melakukan ritual tertentu. Tidak sebarang orang bisa tinggal di Toma Toa. Hanya pemangku adat.
Arung adalah pemimpin masyarakat adat Karampuang yang berhak tinggal di Toma Toa. Ia sangat disegani dan hanya sesekali berbicara.
Karena sepatah kata yang keluar dari mulutnya adalah kebijakan yang harus ditaati. Tentunya Arung tidak boleh cacat moral. Arung tidak sendiri dalam memimpin. Ia dibantu 3 pemangku adat lain, Salah satunya Gella.
Dimana Gella tinggal tidak jauh dari Toma Toa, bila Arung adalah raja, maka Gella adalah perdana menteri yang juga bertanggung jawab, soal hukum dan peradilan di Karampuang.
Di tangan Gella, ketertiban Karampuang terjaga. Ia tidak segan menghukum siapapun yang melanggar aturan adat yang berlaku.
Ada dua lagi yakni Sandro dan Guru. Sandro harus dijabat seorang wanita. Dialah yang mengatur soal kesejahteraan rakyat. Selain Sandro ada juga Guru yang mengatur soal pendidikan.
Keempat pemangku adat inilah yang mengatur jalan roda kehidupan di Karampuang. Mereka sangat dihormati, namun juga bertindak bijaksana. Masyarakat Karampuanglah yang memilih mereka dan pada waktu tertentu masyarakat pula yang akan menggantinya. Biasanya 40 tahun sekali.
Setiap memasuki musim tanam padi, masyarakat Karampuang menggelar hajatan besar yang mereka namakan mapugao hanuai, hajatan menyambut masa bercocok tanam setelah mereka menikmati panen berlimpah.
MARIMPA SOLO
Tardisi yang di beri nama marimpa salo, dimana tradisi marimpa salo digelar untuk merayakan panen hasil laut. Tradisi marimpa salo digelar masyarakat yang bermungkim di daerah pesisir pantai sinjai utara, dan sinjai timur, dimana setiap tahunya mereka mengelar acara tradisi menghalau ikan dari hulu hingga ke muara sungai.
Saat perayaan marimpa solo digelar, juga dibarengi dengan pementasan tari appadekko yang menggambarkan ritual masyarakat nelayan, menikmati hasil tangkapan ikan, selain itu juga diselingi dengan ketangkasan adu silat, sebagai ungkapan kegembiraan masyarakat pesisir, setelah mereka menikmati hasil tangkapan selama setahun mereka berjuang mencari nafkah di lautan lepas.
Kabupaten sinjai yang dihuni oleh komunitas suku bugis, memiliki banyak aneka ragam tradisi adat dan budaya, serta di hiasi beberapa lokasi objek wisata, diantaranya sembilan pulau kecil yang tersebar di perairan laut sinjai.
Selain itu juga terdapat objek wisata situs purbakala yang lokasinya berada di bebukitan, yaitu objek wisata gojeng atau batu page, dimana terdapat banyak batu situs peninggalan raja-raja, dan didukung dengan keindahan panorama alam yang selama ini dijadikan sebagai objek wisata, selain itu kabupaten sinjai. juga didukung dengan kekayaan hasil laut, serta hasil pertanian dan perkebunan. (sumber:http://portalbugis.wordpress.com)

0 komentar:

Galery Video

Waktu Saat Ini

Jadwal Sholat

Rangkin FIFA

www.amrulgunper82.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Sahabatku

Sosok Hukum

Sosok Hukum
Justice Maybe Blind But It Can See In The Dark

PERSSIN ISL

Live Terbeken FM

Berita Lain

Kalender

About Me

Foto Saya
Amirullah Arsyad
Lahir di Sinjai tanggal 7 Juli 1982, putra ke 5 dari 7 orang bersaudara pasangan M. Arsyad Bakry dan St. Hasnah Gani (alm), riwayat pendidikan dimulai dari SD Negeri 183 Sinjai (1994,kemudian mengembara menimba ilmu di kampung tetangga, Madrasah I'dadiyyah DDI Mangkoso (1995), MTS DDI Mangkoso (1998), MA DDI Mangkoso (2001), STAI DDI Mangkoso (2006), dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan pada program Pascasarjana UMI Makassar konsentrasi Hukum Perdata. Jenjang karir mulai tahun 2007 (CPNS/Cakim) pada PA Jeneponto, kemudian tahun 2010 diangkat menjadi Hakim di PA Bitung, Sulut. Semasa Aliyah sampai S1 dia aktip di Organisasi daerah asal santri ORDAS IKSAGO, KUMSASIN, disamping juga aktip di Organisasi kemahasiswaan. Motto : jabatan bukanlah cita-cita, tetapi hanya alat untuk meraih cita-cita, cita-cita yang sejati adalah kembali ke kampung asal di SURGA
Lihat profil lengkapku