BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gugatan perwakilan kelompok atau yang lebih dikenal dengan istilah class action yakni merupakan suatu prosedur pengajuan gugatan dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Dalam kenyataannya gugatan secara class action banyak sekali terjadi akhir-akhir ini, terutama kasus-kasus yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi masyarakat. Akan tetapi masih banyak juga masyarakat awam yang tidak mengerti mengenai arti atau makna class action itu sendiri. Seperti diketahui, munculnya beberapa kasus gugatan perwakilan kelompok, baik gugatan class action maupun legal standing ke pengadilan akhir-akhir ini merupakan salah satu fenomena baru dalam praktik peradilan perdata di Indonesia. Meskipun demikian pada umumnya gugatan legal standing yang diajukan ke pengadilan selama ini hampir selalu dinyatakan tidak diterima atau Niet Onvankellijk verklaard, dimana hal itu terjadi dikarenakan beberapa alas an diantaranya adalah secara procedural gugatan class action dan legal standing belum diatur secara jelas dalam perundang-undangan. Selain itu sering pula dipersoalkan apakah pihak penggugat yang mengajukan gugatan secara hukum mempunyai kapasitas atau kewenangan untuk mengatasnamakan kepentingan public atau kepentingan masyarakat kelompok yang diwakilinya.
Class action itu sendiri sebenarnya lebih dikenal di Negara-negara yang menganut sistem hukum common law daripada di Negara-negara yang menganut sistem hukum civil law. Dimana dalam sejarahnya sendiri class action pertama kali diperkenalkan di Inggris, dimana merupakan Negara yang melahirkan sistem common law. Dan di Negara-negara yang tidak menganut sistem common law tersebut hanya mengadopsi dan disesuaikan dengan hukum yang berlaku di negaranya masing-masing, termasuk juga Indonesia. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa hak gugat (legal standing) baru dimilik oleh beberapa ORNOP-ORNOP di Indonesia yaitu diantaranya organisasi lingkungan hidup, organisasi perlindungan konsumen, dan organisasi bidang kehutanan. Dan sekiranya kita perlu mengetahui apa class action itu sebenarnya dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pengajuan gugatan tersebut.
1.2 Rumusan masalah
Bagaimanakah perkembangan Class Action di Indonesia serta bagaimanakah penerapan praktek Class Action pada kasus yang terjadi di Indonesia?
1.3 Ruang Lingkup
Dalam tulisan ini mencakup masalah gugatan class action di Indonesia serta penerapannya dalam praktek pada kasus yang terjadi di Indonesia.
1.4 Metode penulisan
Metode yang penulis dipergunakan dalam mengkaji permasalahan tersebut di atas adalah dengan mengunakan metode normatif dan metode kepustakaan. Metode normatif artinya penulis menggunakan bahan-bahan hukum primer seperti undang-undang dan peraturan lainnya dalam menganalisis dan mengakaji permasalahan. Penulis mencari sendiri dalam bahan hukum primer tersebut hal-hal yang berhubungan dengan pemecahan permasalahan yang telah diatur dalm hukum primer yang sudah berlaku secara normatif. Sedangkan metode kepustakaan, artinya penulis menggunakan bahan-bahan hukum sekunder dalam memberikan pemecahan permasalahan. Bahan hukum sekunder itu diantarannya berbagai buku bacaan dan berbagai literatur yang ditulis oleh para sarjana dan berbagai sumber informasi yang dapat digunakan seperti dalam internet dan sebagainya.
Sedangkan teknik pengolahan data pada karya tulis ini adalah dianalisis secara kualiitatif berdasarkan data acuan berupa suatu kasus sehingga mendapat suatu data yang valid (sah) tentang permasalahan yang dibahas.
BAB II
PEMBAHASAN
Seperti telah diketahui, bahwa istilah class action itu sendiri tidak begitu dikenal di Negara-negara yang tidak menganut sistem hukum common law. Akan tetapi dinegara-negara tersebut hanya mengadopsi class action tersebut dan disesuaikan dengan hukum yang berlaku di negaranya masing-masing. Di Indonesia sendiri sejarah class action dibagi atas dua periode yaitu sebelum adanya pengakuan class action dan setelah adanya pengakuan class action. Adapun yang menjadi tolak ukur dari pengakuan class action adalah dengan dikeluarkannya UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
a. Periode sebelum adanya pengakuan class action
Meskipun sebelum tahun 1997 belum ada aturan hukum yang mengatur mengenai class action, namun gugatan class action sudah pernah dipraktekkan dalam dunia peradilan di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya gugatan class action yang pertama kali dilakukan di Indonesia yaitu pada tahun 1987 terhadap kasus R.O. Tambunan melawan Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors dimana diajukan di PN Jakarta Pusat. Menyusul kemudian kasus Muchtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta dan Kakanwil Kesehatan DKI (kasus endemic demam berdarah) di PN Jakarta Pusat pada tahun 1988 dan kasus YLKI melawan PT.PLN Persero (kasus pemadaman listrik se-Jawa Bali tanggal 13 April 1997) pada tahun 1997 di PN Jakarta Selatan.
b. Periode setelah adanya pengakuan class action
Class action dalam hukum positif di Indonesia baru diberikan pengakuan setelah diundangkannya UU Lingkungan Hidup pada tahun 1997 yang kemudian diatur pula dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Kehutanan pada tahun 1999. Akan tetapi ketiga UU tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur dan acara dalam gugatan perwakilan kelompok (class action). Sebelum tahun 2002 gugatan secara class action dilaksanakan melalui prosedur yang sama dengan gugatan perdata biasa. Adapun ketentuan khusus yang mengatur mengenai acara dan prosedur class action baru diatur dalam PERMA No. I Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Dalam aturan hukum Indonesia pengaturan mengenai class action diatur dalam bentuk perundang-undangan, diantaranya yaitu :
A. UU No.23 Tahun1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dalam pasal 37 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.
Adapun syarat dalam pengajuan gugatan dalam UU ini adalah sbb:
a. berbentuk badan hukum atau yayasan
b. dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup
c. telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
B. UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 46 ayat 1 huruf b menyebutkan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Selanjutnya dalam penjelasannya menyebutkan bahwa undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan ini harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satunya adalah adanya bukti transaksi.
Adapun syarat dalam pengajuan gugatan dalam UU ini adalah sbb:
a. harus berbentuk badan hukum atau yayasan
b. dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
C. UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Dalam pasal 38 ayat 1 Undang-undang No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara orang-perorangan, kelompok dengan pemberian kuasa, kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan.
D. UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Diatur dalam pasal 71 ayat 1 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
Adapun syarat dalam pengajuan gugatan ini adalah:
a. berbentuk badan hukum
b. dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
E. Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
Dimana terdiri dari 6 bab yaitu:
I. Mengenai ketentuan umum
II. Mengenai tata cara dan persyaratan gugatan perwakilan kelompok
III. Mengenai pemberitahuan atau notifikasi
IV. Mengenai pernyataan keluar
V. Mengenai putusan
VI. Mengenai ketentuan penutup
Wakil kelompok dalam class action harus dibedakan dengan ORNOP yang oleh peraturan diberi hak gugat (legal standing) mewakili kepentingan orang banyak, misalnya para konsumen, kepentingan perlindungan lingkungan, hutan, dsbnya. Wakil kelompok dalam class action berasal dari kelompok yang mempunyai kepentingan dan mengalami kerugian yang sama dengan kelompok yang diwakilinya, sedangkan oraganisasi lingkungan, organisasi konsumen, organisasi kehutanan, dsbnya bukan pihak yang mengalami kerugian atau permasalahan secara konkret.
Meskipun beberapa peraturan perundang-undangan diatas sudah meletakkan dasar-dasar gugatan perwakilan kelompok, akan tetapi implementasinya sering dihadapkan pada kendala teknik procedural, karena seperti diketahui bahwa dalam hukum acara perdata positif Indonesia dianggap tidak mengatur procedur gugatan perwakilan kelompok.
Adapun ketentuan mengenai prosedur pengajuan gugatan ini diatur secara khusus dalam PERMA No.1 tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok. Namun sepanjang tidak diatur PERMA No. 1 tahun 2002 maka dapat berlaku juga ketentuan dalam hukum acara perdata yang berlaku (HIR/RBg). Dalam kasus class action berlaku juga ketentuan hukum acara perdata yang mensyaratkan, apabila wakil kelompok pihak diwakili atau didampingi oleh pengacara maka diwajibkan untuk membuat surat kuasa khusus antara wakil kelompok kepada pengacara. Adapun hal yang menarik pada pengacara dalam class action adalah dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 pasal 2 huruf d dimana menyebutkan bahwa hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan pergantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompok. Dalam hal ini sebenarnya diperlukan adanya keberanian hakim untuk melakukan terobosan hukum dengan melakukan penemuan hukum (rechvinding), dalam upaya membuat putusan-putusan yang memenuhi perasaan keadilan masyarakat meskipun suatu perkara tidak diatur secara jelas dalam perundang-undangan. Adapun hakim dapat menggunakan metode penemuan hukum yang ada, seperti interprestasi, analogi maupun eksposisi/konstruksi hukum. Hakim tidak perlu terpaku pada undang-undang saja, tetapi hakim dapat mempergunakan sumber hukum lainnya seperti hukum kebiasaan, yurisprudensi, doktrin, SEMA/PERMA, dll.
Dengan diakui dan diterimanya gugatan perwakilan, baik legal standing maupun class action tersebut dalam praktik maka terdapat beberapa manfaat utama, yaitu:
1. mencapai peradilan yang lebih ekonomis
2. memberi peluang yang lebih besar ke pengadilan, dan
3. merubah perilaku yang tidak pantas dari para pelanggar atau
orang-orang yang potensial melakukan pelanggaran.
Adapun terdapat beberapa kasus class action yang dapat kita lihat sebagai bahan kajian dalam memahami mengenai gugatan class action ini, yaitu salah satunya adalah mengenai kasus gugatan class action Banjir Jakarta Tahun 200. kasus posisinya yaitu dimana pada tahun 2002 tepatnya pada bulan Januari-Februari 2002 terjadi banjir yang sangat besar di Jakarta dan sekitarnya yang mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit baik materiil maupun immaterial yang sifatnya individual maupun komunal yang diderita oleh kurang lebih 8.300.000 jiwa warga Jakarta. Kerugian tersebut terjadi salah satunya disebabkan karena tidak adanya peran pemerintak sebagai pelayan public terutama dalam hal pemberian peringatan dini dan respon cepat darurat pada waktu terjadinya peristiwa tersebut. Berdasarkan hal tersebut warga Jakarta melakukan upaya hukum untuk menuntut perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, dan karena korban jumlahnya banyak, serta memiliki kesamaan fakta, dasar hukum, serta kesamaan jenis tuntutan maka digunakan prosedur gugatan class action. Adapun gugatan diajukan di PN Jakarta Pusat pada bulan Maret 2002, dimana sebagai penggugat adalah warga Jakarta korban banjir yang terdiri dari 15 orang wakil kelompok yang memiliki penggugat dalam klasifikasi wakil kelompok sbb:
1. korban banjir yang mengalami kerugian/hilangnya jiwa
2. korban banjir yang menderita sakit
3. korban banjir yang menderita kerugian kehilangan harta benda
4. korban banjir yang menderita kerugian kerusakan harta benda
5. korban banjir yang menderita kerugian kehilangan keuntungan yang seharusnya didapatkan.
Sedangkan dasar kesamaan kedudukan dan kepentingan hukum para wakil kelompok dalam kaitan dengan prosedur gugatan class action pada waktu itu dipakai beberapa ketentuan yang secara eksplisit mengatur prosedur gugatan class action seperti UU No.23 Tahun 1997 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta beberapa peraturan lain serta yurisprudensi yang ada. Sedangkan sebagai tergugat adalah:
1. Negara RI cq. Presiden RI sebagai tergugat I
2. Negara RI cq. Presiden RI cq. Gubernur Kepala Daerah Tk 1
Prov. DKI Jakarta sebagai tergugat II
3. Negara RI cq. Presiden RI cq. Gubernur Kepala Daerah Tk. 1
Prov. Jawa Barat sebagai pihak turut tergugat.
Pada tanggal 26 Maret 2002 berlakulah Perma No. 1 Tahun 2002 yang mengatur acara gugatan perwakilan kelompok, sehingga beberapa aturan dalam Perma ini kemudian dijadikan alasan bagi para tergugat dan turut tergugat dalam mengajukan eksepsinya, beberapa hal yang dipermasalahkan diantaranya adalah:
Gugatan tidak mendasarkan pada aturan/UU spesifik yang telah mengatur /mencantumkan mekanisme gugatan perwakilan kelompok.
Sesuai dengan PERMA untuk sahnya gugatan perwakilan kelompok harus dituangkan dalam bentuk penetapan sehingga gugatan harus dianggap premature dan dinyatakan tidak diterima.
Penggunaan istilah wakil kelas sebagai pengganti istilah penggugat.
Mempertanyakan legalitas wakil kelas.
Akan tetapi majelis hakim tidak mengabulkan eksepsi dari tergugat dan turut tergugat dalam putusan selanya dengan pertimbangan hukum karena ketika pemeriksaan dimulai PERMA belum berlaku sehingga ketentuan dalam PERMA yang muncul kemudian tidak dapat berlaku surut. Dalam putusan selanya Majelis juga menetapkan untuk melanjutkan proses peradilan untuk memeriksa pokok perkaranya dan meminta penggugat untuk melakukan pemberitahuan kepada anggota kelas lewat media massa seperti yang diatur dalam PERMA.
Setelah dilakukan pemeriksaan di persidangan akhirnya Majelis Hakim dalam putusannya menolak gugatan 15 orang warga korban banjir. Dalam putusan akhirnya, majelis hakim menolak dalil para penggugat class action. Majelis menilai bahwa yang bertanggung jawab terhadap banjir di Jakarta bukanlah Gubernur DKI, melainkan masing-masing walikota di 5 wilayah DKI. Majelis berpendapat bahwa berdasar UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kewengan otonomi berada pada tingkat Kotamadya dan atau Kabupaten, bukan pada propinsi. Oleh karena itu, hanya pemerintahan kabupaten dan kotamadya yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum baik didalam maupun diluar pengadilan. Selain itu disebutkan pula bahwa tergugat II (Gubernur DKI) telah berdaya upaya telah berusaha menanggulangi dan mengendalikan banjir di Jakarta sepanjang Januari-Februari 2002.
Selain itu, dalam gugatan class action dimungkinkan juga terjadi perdamaian antara penggugat dengan tergugat. Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara. Sebelum dilakukan upaya perdamaian dalam class action, pihak penggugat harus mendapatkan persetujuan dari anggota kelompok. Persetujuan ini dapat menggunakan mekanisme pemberitahuan. Pada umumnya upaya perdamaian ini dilakukan diluar proses persidangan, dimana biasanya diantara pihak-pihak dilakukan perjanjian perdamaian secara tertulis diatas kertas bermaterai. Adapun kekuatan putusan perdamaian sama kuatnya dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya, dan dalam hal para pihak sepakat melakukan perdamaian maka tidak dimungkinkan upaya banding.
BAB III
PENUTUP
Implementasi gugatan perwakilan kelompok, baik gugatan class action maupun legal standing dalam praktik peradilan di Indonesia sampai sekarang ini masih sering dihadapkan pada kendala yang bersifat teknis procedural. Peraturan perundang-undangan yang mengaturnya masih sebatas hukum materiil, sedangkan dalam hukum formilnya tidak diatur secara jelas. Ketiadaan ketentuan procedural dalam hukum formil yang mengaturnya, sebenarnya bukan merupakan halangan bagi hakim untuk memberikan putusan yang adil, karena hakim dapat menggunakan sumber hukum lainnya. Hakim harus mempunyai keberanian untuk melakukan terobosan hukum dengan menggunakan penemuan hukum (rechtsvinding) sehingga eksistensi gugatan legal standing dapat diakui dan diterima dalam praktik peradilan di Indonesia.
(sumber : Dokumen Hukum Blog)
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gugatan perwakilan kelompok atau yang lebih dikenal dengan istilah class action yakni merupakan suatu prosedur pengajuan gugatan dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Dalam kenyataannya gugatan secara class action banyak sekali terjadi akhir-akhir ini, terutama kasus-kasus yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi masyarakat. Akan tetapi masih banyak juga masyarakat awam yang tidak mengerti mengenai arti atau makna class action itu sendiri. Seperti diketahui, munculnya beberapa kasus gugatan perwakilan kelompok, baik gugatan class action maupun legal standing ke pengadilan akhir-akhir ini merupakan salah satu fenomena baru dalam praktik peradilan perdata di Indonesia. Meskipun demikian pada umumnya gugatan legal standing yang diajukan ke pengadilan selama ini hampir selalu dinyatakan tidak diterima atau Niet Onvankellijk verklaard, dimana hal itu terjadi dikarenakan beberapa alas an diantaranya adalah secara procedural gugatan class action dan legal standing belum diatur secara jelas dalam perundang-undangan. Selain itu sering pula dipersoalkan apakah pihak penggugat yang mengajukan gugatan secara hukum mempunyai kapasitas atau kewenangan untuk mengatasnamakan kepentingan public atau kepentingan masyarakat kelompok yang diwakilinya.
Class action itu sendiri sebenarnya lebih dikenal di Negara-negara yang menganut sistem hukum common law daripada di Negara-negara yang menganut sistem hukum civil law. Dimana dalam sejarahnya sendiri class action pertama kali diperkenalkan di Inggris, dimana merupakan Negara yang melahirkan sistem common law. Dan di Negara-negara yang tidak menganut sistem common law tersebut hanya mengadopsi dan disesuaikan dengan hukum yang berlaku di negaranya masing-masing, termasuk juga Indonesia. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa hak gugat (legal standing) baru dimilik oleh beberapa ORNOP-ORNOP di Indonesia yaitu diantaranya organisasi lingkungan hidup, organisasi perlindungan konsumen, dan organisasi bidang kehutanan. Dan sekiranya kita perlu mengetahui apa class action itu sebenarnya dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pengajuan gugatan tersebut.
1.2 Rumusan masalah
Bagaimanakah perkembangan Class Action di Indonesia serta bagaimanakah penerapan praktek Class Action pada kasus yang terjadi di Indonesia?
1.3 Ruang Lingkup
Dalam tulisan ini mencakup masalah gugatan class action di Indonesia serta penerapannya dalam praktek pada kasus yang terjadi di Indonesia.
1.4 Metode penulisan
Metode yang penulis dipergunakan dalam mengkaji permasalahan tersebut di atas adalah dengan mengunakan metode normatif dan metode kepustakaan. Metode normatif artinya penulis menggunakan bahan-bahan hukum primer seperti undang-undang dan peraturan lainnya dalam menganalisis dan mengakaji permasalahan. Penulis mencari sendiri dalam bahan hukum primer tersebut hal-hal yang berhubungan dengan pemecahan permasalahan yang telah diatur dalm hukum primer yang sudah berlaku secara normatif. Sedangkan metode kepustakaan, artinya penulis menggunakan bahan-bahan hukum sekunder dalam memberikan pemecahan permasalahan. Bahan hukum sekunder itu diantarannya berbagai buku bacaan dan berbagai literatur yang ditulis oleh para sarjana dan berbagai sumber informasi yang dapat digunakan seperti dalam internet dan sebagainya.
Sedangkan teknik pengolahan data pada karya tulis ini adalah dianalisis secara kualiitatif berdasarkan data acuan berupa suatu kasus sehingga mendapat suatu data yang valid (sah) tentang permasalahan yang dibahas.
BAB II
PEMBAHASAN
Seperti telah diketahui, bahwa istilah class action itu sendiri tidak begitu dikenal di Negara-negara yang tidak menganut sistem hukum common law. Akan tetapi dinegara-negara tersebut hanya mengadopsi class action tersebut dan disesuaikan dengan hukum yang berlaku di negaranya masing-masing. Di Indonesia sendiri sejarah class action dibagi atas dua periode yaitu sebelum adanya pengakuan class action dan setelah adanya pengakuan class action. Adapun yang menjadi tolak ukur dari pengakuan class action adalah dengan dikeluarkannya UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
a. Periode sebelum adanya pengakuan class action
Meskipun sebelum tahun 1997 belum ada aturan hukum yang mengatur mengenai class action, namun gugatan class action sudah pernah dipraktekkan dalam dunia peradilan di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya gugatan class action yang pertama kali dilakukan di Indonesia yaitu pada tahun 1987 terhadap kasus R.O. Tambunan melawan Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors dimana diajukan di PN Jakarta Pusat. Menyusul kemudian kasus Muchtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta dan Kakanwil Kesehatan DKI (kasus endemic demam berdarah) di PN Jakarta Pusat pada tahun 1988 dan kasus YLKI melawan PT.PLN Persero (kasus pemadaman listrik se-Jawa Bali tanggal 13 April 1997) pada tahun 1997 di PN Jakarta Selatan.
b. Periode setelah adanya pengakuan class action
Class action dalam hukum positif di Indonesia baru diberikan pengakuan setelah diundangkannya UU Lingkungan Hidup pada tahun 1997 yang kemudian diatur pula dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Kehutanan pada tahun 1999. Akan tetapi ketiga UU tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur dan acara dalam gugatan perwakilan kelompok (class action). Sebelum tahun 2002 gugatan secara class action dilaksanakan melalui prosedur yang sama dengan gugatan perdata biasa. Adapun ketentuan khusus yang mengatur mengenai acara dan prosedur class action baru diatur dalam PERMA No. I Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Dalam aturan hukum Indonesia pengaturan mengenai class action diatur dalam bentuk perundang-undangan, diantaranya yaitu :
A. UU No.23 Tahun1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dalam pasal 37 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.
Adapun syarat dalam pengajuan gugatan dalam UU ini adalah sbb:
a. berbentuk badan hukum atau yayasan
b. dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup
c. telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
B. UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 46 ayat 1 huruf b menyebutkan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Selanjutnya dalam penjelasannya menyebutkan bahwa undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan ini harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satunya adalah adanya bukti transaksi.
Adapun syarat dalam pengajuan gugatan dalam UU ini adalah sbb:
a. harus berbentuk badan hukum atau yayasan
b. dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
C. UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Dalam pasal 38 ayat 1 Undang-undang No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi disebutkan bahwa masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara orang-perorangan, kelompok dengan pemberian kuasa, kelompok orang tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan.
D. UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Diatur dalam pasal 71 ayat 1 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
Adapun syarat dalam pengajuan gugatan ini adalah:
a. berbentuk badan hukum
b. dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
E. Perma No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
Dimana terdiri dari 6 bab yaitu:
I. Mengenai ketentuan umum
II. Mengenai tata cara dan persyaratan gugatan perwakilan kelompok
III. Mengenai pemberitahuan atau notifikasi
IV. Mengenai pernyataan keluar
V. Mengenai putusan
VI. Mengenai ketentuan penutup
Wakil kelompok dalam class action harus dibedakan dengan ORNOP yang oleh peraturan diberi hak gugat (legal standing) mewakili kepentingan orang banyak, misalnya para konsumen, kepentingan perlindungan lingkungan, hutan, dsbnya. Wakil kelompok dalam class action berasal dari kelompok yang mempunyai kepentingan dan mengalami kerugian yang sama dengan kelompok yang diwakilinya, sedangkan oraganisasi lingkungan, organisasi konsumen, organisasi kehutanan, dsbnya bukan pihak yang mengalami kerugian atau permasalahan secara konkret.
Meskipun beberapa peraturan perundang-undangan diatas sudah meletakkan dasar-dasar gugatan perwakilan kelompok, akan tetapi implementasinya sering dihadapkan pada kendala teknik procedural, karena seperti diketahui bahwa dalam hukum acara perdata positif Indonesia dianggap tidak mengatur procedur gugatan perwakilan kelompok.
Adapun ketentuan mengenai prosedur pengajuan gugatan ini diatur secara khusus dalam PERMA No.1 tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok. Namun sepanjang tidak diatur PERMA No. 1 tahun 2002 maka dapat berlaku juga ketentuan dalam hukum acara perdata yang berlaku (HIR/RBg). Dalam kasus class action berlaku juga ketentuan hukum acara perdata yang mensyaratkan, apabila wakil kelompok pihak diwakili atau didampingi oleh pengacara maka diwajibkan untuk membuat surat kuasa khusus antara wakil kelompok kepada pengacara. Adapun hal yang menarik pada pengacara dalam class action adalah dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 pasal 2 huruf d dimana menyebutkan bahwa hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan pergantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompok. Dalam hal ini sebenarnya diperlukan adanya keberanian hakim untuk melakukan terobosan hukum dengan melakukan penemuan hukum (rechvinding), dalam upaya membuat putusan-putusan yang memenuhi perasaan keadilan masyarakat meskipun suatu perkara tidak diatur secara jelas dalam perundang-undangan. Adapun hakim dapat menggunakan metode penemuan hukum yang ada, seperti interprestasi, analogi maupun eksposisi/konstruksi hukum. Hakim tidak perlu terpaku pada undang-undang saja, tetapi hakim dapat mempergunakan sumber hukum lainnya seperti hukum kebiasaan, yurisprudensi, doktrin, SEMA/PERMA, dll.
Dengan diakui dan diterimanya gugatan perwakilan, baik legal standing maupun class action tersebut dalam praktik maka terdapat beberapa manfaat utama, yaitu:
1. mencapai peradilan yang lebih ekonomis
2. memberi peluang yang lebih besar ke pengadilan, dan
3. merubah perilaku yang tidak pantas dari para pelanggar atau
orang-orang yang potensial melakukan pelanggaran.
Adapun terdapat beberapa kasus class action yang dapat kita lihat sebagai bahan kajian dalam memahami mengenai gugatan class action ini, yaitu salah satunya adalah mengenai kasus gugatan class action Banjir Jakarta Tahun 200. kasus posisinya yaitu dimana pada tahun 2002 tepatnya pada bulan Januari-Februari 2002 terjadi banjir yang sangat besar di Jakarta dan sekitarnya yang mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit baik materiil maupun immaterial yang sifatnya individual maupun komunal yang diderita oleh kurang lebih 8.300.000 jiwa warga Jakarta. Kerugian tersebut terjadi salah satunya disebabkan karena tidak adanya peran pemerintak sebagai pelayan public terutama dalam hal pemberian peringatan dini dan respon cepat darurat pada waktu terjadinya peristiwa tersebut. Berdasarkan hal tersebut warga Jakarta melakukan upaya hukum untuk menuntut perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, dan karena korban jumlahnya banyak, serta memiliki kesamaan fakta, dasar hukum, serta kesamaan jenis tuntutan maka digunakan prosedur gugatan class action. Adapun gugatan diajukan di PN Jakarta Pusat pada bulan Maret 2002, dimana sebagai penggugat adalah warga Jakarta korban banjir yang terdiri dari 15 orang wakil kelompok yang memiliki penggugat dalam klasifikasi wakil kelompok sbb:
1. korban banjir yang mengalami kerugian/hilangnya jiwa
2. korban banjir yang menderita sakit
3. korban banjir yang menderita kerugian kehilangan harta benda
4. korban banjir yang menderita kerugian kerusakan harta benda
5. korban banjir yang menderita kerugian kehilangan keuntungan yang seharusnya didapatkan.
Sedangkan dasar kesamaan kedudukan dan kepentingan hukum para wakil kelompok dalam kaitan dengan prosedur gugatan class action pada waktu itu dipakai beberapa ketentuan yang secara eksplisit mengatur prosedur gugatan class action seperti UU No.23 Tahun 1997 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta beberapa peraturan lain serta yurisprudensi yang ada. Sedangkan sebagai tergugat adalah:
1. Negara RI cq. Presiden RI sebagai tergugat I
2. Negara RI cq. Presiden RI cq. Gubernur Kepala Daerah Tk 1
Prov. DKI Jakarta sebagai tergugat II
3. Negara RI cq. Presiden RI cq. Gubernur Kepala Daerah Tk. 1
Prov. Jawa Barat sebagai pihak turut tergugat.
Pada tanggal 26 Maret 2002 berlakulah Perma No. 1 Tahun 2002 yang mengatur acara gugatan perwakilan kelompok, sehingga beberapa aturan dalam Perma ini kemudian dijadikan alasan bagi para tergugat dan turut tergugat dalam mengajukan eksepsinya, beberapa hal yang dipermasalahkan diantaranya adalah:
Gugatan tidak mendasarkan pada aturan/UU spesifik yang telah mengatur /mencantumkan mekanisme gugatan perwakilan kelompok.
Sesuai dengan PERMA untuk sahnya gugatan perwakilan kelompok harus dituangkan dalam bentuk penetapan sehingga gugatan harus dianggap premature dan dinyatakan tidak diterima.
Penggunaan istilah wakil kelas sebagai pengganti istilah penggugat.
Mempertanyakan legalitas wakil kelas.
Akan tetapi majelis hakim tidak mengabulkan eksepsi dari tergugat dan turut tergugat dalam putusan selanya dengan pertimbangan hukum karena ketika pemeriksaan dimulai PERMA belum berlaku sehingga ketentuan dalam PERMA yang muncul kemudian tidak dapat berlaku surut. Dalam putusan selanya Majelis juga menetapkan untuk melanjutkan proses peradilan untuk memeriksa pokok perkaranya dan meminta penggugat untuk melakukan pemberitahuan kepada anggota kelas lewat media massa seperti yang diatur dalam PERMA.
Setelah dilakukan pemeriksaan di persidangan akhirnya Majelis Hakim dalam putusannya menolak gugatan 15 orang warga korban banjir. Dalam putusan akhirnya, majelis hakim menolak dalil para penggugat class action. Majelis menilai bahwa yang bertanggung jawab terhadap banjir di Jakarta bukanlah Gubernur DKI, melainkan masing-masing walikota di 5 wilayah DKI. Majelis berpendapat bahwa berdasar UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kewengan otonomi berada pada tingkat Kotamadya dan atau Kabupaten, bukan pada propinsi. Oleh karena itu, hanya pemerintahan kabupaten dan kotamadya yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum baik didalam maupun diluar pengadilan. Selain itu disebutkan pula bahwa tergugat II (Gubernur DKI) telah berdaya upaya telah berusaha menanggulangi dan mengendalikan banjir di Jakarta sepanjang Januari-Februari 2002.
Selain itu, dalam gugatan class action dimungkinkan juga terjadi perdamaian antara penggugat dengan tergugat. Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara. Sebelum dilakukan upaya perdamaian dalam class action, pihak penggugat harus mendapatkan persetujuan dari anggota kelompok. Persetujuan ini dapat menggunakan mekanisme pemberitahuan. Pada umumnya upaya perdamaian ini dilakukan diluar proses persidangan, dimana biasanya diantara pihak-pihak dilakukan perjanjian perdamaian secara tertulis diatas kertas bermaterai. Adapun kekuatan putusan perdamaian sama kuatnya dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya, dan dalam hal para pihak sepakat melakukan perdamaian maka tidak dimungkinkan upaya banding.
BAB III
PENUTUP
Implementasi gugatan perwakilan kelompok, baik gugatan class action maupun legal standing dalam praktik peradilan di Indonesia sampai sekarang ini masih sering dihadapkan pada kendala yang bersifat teknis procedural. Peraturan perundang-undangan yang mengaturnya masih sebatas hukum materiil, sedangkan dalam hukum formilnya tidak diatur secara jelas. Ketiadaan ketentuan procedural dalam hukum formil yang mengaturnya, sebenarnya bukan merupakan halangan bagi hakim untuk memberikan putusan yang adil, karena hakim dapat menggunakan sumber hukum lainnya. Hakim harus mempunyai keberanian untuk melakukan terobosan hukum dengan menggunakan penemuan hukum (rechtsvinding) sehingga eksistensi gugatan legal standing dapat diakui dan diterima dalam praktik peradilan di Indonesia.
(sumber : Dokumen Hukum Blog)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Galery Video
Waktu Saat Ini
Link Almamater
Link Silarurahim
Hiburan
Jadwal Sholat
Rangkin FIFA
www.amrulgunper82.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.
Sahabatku
Sosok Hukum
Live Terbeken FM
Berita Lain
-
TUGAS POKOK HAKIM ( Makalah Pembinaan Hakim ) Yang harus dilakukan para Hakim terkait dengan tugas pokok : A. Menerima, memeriksa dan mengad...
-
Nalar dan Wahyu Filsafat dan Agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu manusia dan dunianya. Apabila yang satu membawa kebenaran yang be...
-
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gugatan perwakilan kelompok atau yang lebih dikenal dengan istilah class action yakni merupakan su...
-
Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 (tiga) macam, yaitu: 1) Putusan 2) Penetapan 3) Akta perdamaian Putusan...
-
Sebuah legenda beredar dari kaki Gunung Karampuang , Kabupaten Sinjai , Sulswesi Selatan. Legenda tentang seorang manusia sakti bernama ...
-
(Dikutip dari www.bambangoke.com) Install IDM 5.19 tadi, setelah selesai maka akan muncul peringatan Internet Download Manager has been Reg...
-
(penulis : ITA) 1. Mr. Palomar Tokoh yang dibuat oleh Calvino tentang Mr. Palomar adalah orang yang mencari ‘kunci untuk menguas...
-
Kompilasi Hukum Islam dan UU Perlindungan Anak (Kajian Terhadap Permasalahan Itsbat Nikah/Itsbat Poligami) Amirullah Arsyad Pe...
-
( Dikutip dari Justitia Blog oleh Alie ) John Austin memberikan defenisi hukum sebagai “peraturan yang diadakan untuk memberikan bimb...
-
INDAHNYA PERSAHABATAN ( Catatan ini ku persembahkan buat sahabatku Rusmin Saleh dan Arsyad Beddu Lele 0 Tak pernah terfikirkan sebelumny...
Kalender
About Me
- Amirullah Arsyad
- Lahir di Sinjai tanggal 7 Juli 1982, putra ke 5 dari 7 orang bersaudara pasangan M. Arsyad Bakry dan St. Hasnah Gani (alm), riwayat pendidikan dimulai dari SD Negeri 183 Sinjai (1994,kemudian mengembara menimba ilmu di kampung tetangga, Madrasah I'dadiyyah DDI Mangkoso (1995), MTS DDI Mangkoso (1998), MA DDI Mangkoso (2001), STAI DDI Mangkoso (2006), dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan pada program Pascasarjana UMI Makassar konsentrasi Hukum Perdata. Jenjang karir mulai tahun 2007 (CPNS/Cakim) pada PA Jeneponto, kemudian tahun 2010 diangkat menjadi Hakim di PA Bitung, Sulut. Semasa Aliyah sampai S1 dia aktip di Organisasi daerah asal santri ORDAS IKSAGO, KUMSASIN, disamping juga aktip di Organisasi kemahasiswaan. Motto : jabatan bukanlah cita-cita, tetapi hanya alat untuk meraih cita-cita, cita-cita yang sejati adalah kembali ke kampung asal di SURGA
0 komentar:
Posting Komentar