Gambar Slide

Gambar Slide
Di dalam cd master windows XP sebenarnya sudah ada aplikasi yang dapat digunakan untuk mengetik huruf arab. Kenapa komputer yang baru diinstal tidak dapat digunakan untuk mengetik font arab.
Hal itu dikarenakan ketika kita menginstal win XP dihadapkan dengan dua pilihan yaitu custom dan typical. Memang XP merekomendasikan kita untuk memilih typical karena dengan memilih typical performa win XP menjadi berjalan optimum. Namun bukan berarti kita tidak boleh memilih custom, buktinya disitu disediakan pilihan custom yang memungkinkan kita bebas memasang fitur-fitur bawaan windows tersebut. Berkaitan dengan pengetikan huruf arab seperti dalam pembahasan kita kali ini, maka pilihan typical harus kita tinggalkan dan beralih memilih custom.
Agar windows XP dapat menampilkan huruf arab terutama dalam pemakaiannya di MS Word, ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan yaitu :

1. Siapkan CD master Microsoft Windows XP Profesional SP2.
2. Buka menu Control Panel pada Start menu dan kemudian Buka menu regional and Language Options. Pilih menu languages, pada Suplemental language support, centang Install files for complex script and right-to-left languages (including Thai)
3. Centang juga Instal files for east Asian languages, untuk menambah encoding huruf asia lain yang mungkin juga anda perlukan.
4. Klik apply, pada opsi ini masukan cd Windows SP 2 anda, dan browse file yang diperlukan untuk instalasi font arabic ini, letak file di dalam folder i386, klik ok lanjutkan sampai file yang yang diperlukan selesai terinstal.
5. Setelah itu restart PC atau Komputer anda. Setelah restart masuk menu Control panel >> Regional and languages options lagi
6. Pilih menu Advanced >>> Pada Opsi Code page conversion tables >>>centang kotak pada 1004 (mac-arabic) atau centang bahasa lainnya yang ingin ada tambahan seperti font Jepang, Korea, chinese dan font lain yang anda butuhkan. Kemudian klik aplly.
7. Kemudian klik menu languages, klik detail pada opsi Text services and input languages .
8. Pada input languages Pilih arabic (saudi arabia) atau arabic lainnya tergantung jenis huruf arab yag anda inginkan.
9. Pada Keyboard Layout pilih Arabic(101) atau Arabic (102) dan klik ok
10. Kemudan pada opsi preferences klik key setting pilih opsi hot keys for input languages >>> switch between input languages > change Keys Silahkan pilih opsi yang anda inginkan dan klik ok.
11. Untuk tampilkan menu language di dekstop anda klik language bar, dan centang pada opsi show menu language bar on dekstop.
12. Pengaturan ini dimaksudkan sebagai hot keys antara perpindahan bahasa pada saat anda ingin menggunakan bahasa / font default ke bahasa lain ( Arabic)


Bila langkah diatas sudah selesai dilakukan maka anda bisa menuliskan huruf arab pada Microsoft Office Word. Pada saat anda akan menuliskan karakter font atau huruf arab, terlebih dulu anda tekan Hots Keys yang anda pilih di atas atau juga bisa menukar bahasa penulisan atau font pada language bar ( Tampil language bar pada dekstop ) centang language yang ingin anda pergunakan.
Untuk memudahkan penggunaannya dalam pengetikan di MS Word disarankan anda menggunakan keyboard yang dilengkapi dengan font arabic. Banyak di toko komputer yang menjual keyboard arabic. Tapi kalau tidak ada keyboard arabic, jalan satu-satunya yaitu dengan menghafal semua tombol keyboard.
Semoga bermanfaat.
TUGAS POKOK HAKIM
( Makalah Pembinaan Hakim )
Yang harus dilakukan para Hakim terkait dengan tugas pokok :
A. Menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara (melaksanakan persidangan) dengan memperhatikan :
1. Mengkonstatir atau membuktikan benar tidaknya peristiwa/fakta yang diajukan para pihak dengan pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian, yang diuraikan dalam “duduk perkaranya” serta Berita Acara Persidangan (BAP).
Konstatir itu sendiri adalah :
1.1. Memeriksa identitas para pihak ;
1.2. Memeriksa kuasa hukum para pihak, jika ada ;
1.3. Mendamaikan para pihak (mediasi) ;
1.4. Memeriksa syarat-syaratnya sebagai perkara ;
1.5. Memeriksa seluruh fakta/peristiwa yang dikemukakan para pihak ;
1.6. Memeriksa syarat-syarat dan unsur-unsur setiap fakta/peristiwa
1.7. Memeriksa alat bukti sesuai tatacara pembuktian ;
1.8. Memeriksa jawaban, sangkalan, keberatan dari bukti-bukti pihak lawan ; 1.9. Mendengar pendapat atau kesimpulan masing-masing pihak ;
1.10 Menerapkan pemeriksaan sesuai hukum acara yang berlaku ;
2. Mengkualifisir peristiwa/fakta yang terbukti, dengan menilai peristiwa itu ada hubungan hukum apa, menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikonstatiring, selanjutnya dituangkan dalam pertimbangan hukum putusan yang meliputi :
2.1. Mempertimbangkan syarat-syarat formil perkara ;
2.2. Merumuskan pokok perkara ;
2.3. Mempertimbangkan beban pembuktian ;
2.4. Mempertimbangkan keabsahan peristiwa/fakta peristiwa atau fakta hukum ;
2.5. Mempertimbangkan secara logis, kronologis dan yuridis fakta-fakta hukum menurut hukum pembuktian ;
2.6. Mempertimbangkan jawaban, keberatan dan sangkalan-sangkalan serta bukti¬bukti lawan sesuai hukum pembuktian.

2.7. Menemukan hubungan hukum peristiwa-peristiwa/fakta-fakta yang terbukti dengan petitum ;
2.8 Menemukan hukumnya, baik hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis dengan data sumbernya ;
2.9. Mempertimbangkan biaya perkara.
3. Mengkonstituir, dengan menetapkan hukumnya yang kemudian menuangkan dalam amar putusan (diktum) / penetapan yang berisi :
3.1. Menetapkan hukumnya dalam amar putusan/penetapan ;
3.2. Mengadili seluruh petitum ;
3.3. Mengadili tidak lebih dari petitum kecuali Ex ofosio ;
3.4. Menetapakan biaya perkara ;
B. Yang harus dilakukan oleh Ketua Majelis adalah membimbing dan meprakarsai jalannya persidangan serta mengawasi terhadap pembuatan Berita Acara Persidangan (BAP), juga bertugas :
1. Menetapkan hari sidang ;
2. Memerintahkan pemanggilan para pihak ;
3. Mengatur mekanisme persidangan ;
4. Mengambil prakarsa untuk kelancaran persidangan ;
5. Mengakhiri sidang ;
C. Yang harus dilakukan oleh majelis adalah menyusun konsep putusan / penetapan perkara yang ditanganinya, yang bersumber dari hasil pemeriksaan yang dicatat secara lengkap dalam Berita Acara Persidangan dan berdasarkan BAP tersebut maka dikonsep putusan/penetapan yang memuat :
1. Tentang duduk perkaranya, yang menggambarkan pelaksanaan tugas hakim dalam mengkonstatir kebenaran fakta atau peristiwa yang diajukan.
2. Pertimbangan hukum yang menggambarkan pokok pikiran hakim dalam mengkonstatir fakta-fakta yang telah terbukti tersebut serta menemukan hukumnya bagi peristiwa tersebut, disini merumuskan secara rinci kronologis dan hubungan satu sama lain dengan didasarkan pada hukum atau peraturan perundang-undangan, langsung disebutkan ;

3. Amar putusan yang memuat hasil akhir sebagai konstitusi atau penentuan hukum atas peristiwa atau fakta yang telah terbukti ;
D. Minutasi berkas perkara.
Minutasi (minutering ) berkas-berkas perkara, merupakan suatu tindakan yang menjadikan semua dokumen resmi dan sah. Minutasi dilakukan oleh pejabat PA sesuai dengan bidangnya masing-masing, tetapi secra keseluruhan menjadi tanggung jawab hakim yang menangani perkara tersebut. Minutasi meliputi surart-surat sebagai berikut :
1. Surat gugatan / permohonan ;
2. Surat kuasa untuk membayar (SKUM) ;
3. Penetapan Majelis Hakim (PMH) ;
4. Penetapan Hari Sidang (PHS) ;
5. Relaas Panggilan ;
6. Berita acara persidangan (BAP) ;
7. Bukti-bukti surat ;
8. Penetapan - penetapan hakim ;
9. penetapan / putusan akhir;
10. Surat – surat lainnya dalam berkas perkara ;
Proses minutasi sudah dapat dimulai setelah sidang pertama dan selesai paling lambat 1 bulan setelah perkara diputuskan. Pada saat sidang ikrar talak, berkas perkara tersebut harus sudah diminutasi . Tanggal minutasi dicatat dalam register induk pekara yang bersangkutan. Hal-hal yang terjadi setelah perkara diputus juga harus diminutasi sebagai dokumen resmi.
INDAHNYA PERSAHABATAN
(Catatan ini ku persembahkan buat sahabatku Rusmin Saleh dan Arsyad Beddu Lele0

Tak pernah terfikirkan sebelumnya, pertemuanku dengan Rusmin dan Arsyad beberapa tahun silam menjadi awal timbulnya ikatan emosial dalam diri kami. Dahulu kami yang hanya teman biasa, kenalan biasa, layaknya dengan teman-teman lainnya, kini menjadi sahabat sejati yang tak akan pudar meski dipisahkan oleh jarak.
Perkenalannyaku dengan dua sahabatku itu sebenarnya bukanlah baru. Arsyad misalnya, sejak kecil masa-masa ketika masih duduk dibangu SD sudah kukenal karena kami sekolah di SD yang sama (SD 183 Gunper, Sinjai Barat), hanya berbeda tingkatan. Arsyad lebih tinggi 4 kelas dari saya. Meski sekolah di SD yang sama tapi kami hanya kenal begitu saja (kan beda generasi he..he.. Arsyad seumuran dan sekelas dengan kakakku Kasma. Dari deretan teman masa kecilku Arsyad tidak masuk hitungan, soalnya tidak pas untuk dijadikan teman bermain (tidak sebaya).
Namun sejak hijrah ke Barru, mondok di Ponpes DDI Mangkoso sana, kami mulai akrab sebagai sesama perantau ilmu. Disana pulalah kami bertemu dengan Rusmin. Meskipun satu kampung dengan kami, tapi sebelumnya kami belum mengenal Rusmin. Maklum dia ‘orang kota’ tinggalnya di Manipi + 70 Km dari desa saya dengan Arsyad (sorry ukuran jarak pasnya tidak tau.. apa saya belum pernah ngukur ces..,, kalau kurang ditambah saja atau kurangi kalau kejauhan) jadinya tidak kenal. Seingatku (yang rada pelupa he..he), pertemuanku dengan Rusmin berawal ketika rombongan santri asal sinjai berencana berangkat bareng ke Mangkoso setelah liburan Ramadhan. Saat itu saya dengan Arsyad masih duduk di i’dadiyah sedang Rusmin sudah duduk di kelas 3 tsanawiyah, Tonronge. Rombongan yang dipimpin oleh Puang Razak (mahasiswa sekaligus pembina santri asal sinjai dan utusan bosowa yang juga om-nya Rusmin) mengambil tempat di rumah orang tua Rusmin di Manipi. Selama 2 hari kami berkumpul disana menunggu mobil carteran yang akan membawa kami ke Mangkoso. Disitulah saya mulai mengenal Rusmin meski tidak akrab. Jujur saja ketika itu ada rasa minder untuk akrab dengan Rusmin sekeluarga, maklum mereka orang ‘kota’. Lain halnya dengan saya dan Arsyad yang anak gunung tulen. Lagi pula dalam pandanganku keluarga Rusmin adalah keluarga yang terpandang (tinggalnya di Ibu Kota Kecamatan yang elit bagi orang kampung sepertiku).
Selain itu, kesan pertamaku sama Rusmin bahwa dia itu anak yang ‘aneh’ dan hidup ditengah keluarga yang ‘aneh’ pula. Bayangkan saja, bola karet yang kempes dipasangnya dikepala, katanya topi baja. Sambil membawa sapu sebagai senjata dia berlari keluar masuk rumah dan bergaya layaknya tentara yang berperang di Film Combat (tidak salah tulisji to). Selain gayanya yang sepertinya dibuat-buat untuk mencari perhatian orang-orang, dia juga suka main bola di dalam rumah, di depan kami. Anehnya Tata (papa Rusmin) bukannya melarang justeru ikut main bola, dan karena kelihatan seru jadilah kami semua pada ikut main bola rame-rame tanpa mempedulikan isi ruang tamu yang berantakan. Inilah yang saya katakan tadi ‘keluarga aneh’. Anak dan orang tua sama saja, tinggallah Ummi yang kewalahan.mengusir kami pakai sapu ijuk.
Selain aneh, sikap Rusmin juga agresif, kreatif, familiar dan sedikit sok akrab (tabe cummink). Hal itu membuat rasa minderku lama kelamaan hilang. Yang tersisa kemudian adalah kesan familiar dan persahatan sejati yang coba ‘ditawarkan’.
Khusus Arsyad, sejak kami sama-sama di Mangkoso kami sudah akrab. Kami merasa senasib dan terasing diperantauan ilmu. Lagi pula saat itu kami sama-sama berkulit gelap ditengah teman santri lain yang bule-bule kulitnya. Eh.. ngomong-ngomong kulitku kemudian berubah jadi putih sedikit, setidaknya kalau berdampingan dengan Arsyad (sorry Dg Jappa) tapi itu pengakuan anak Tonronge waktu tragedi Bioskop Mini Petta Aji Cacce ketika kita sudah mahasiswa, iya kan? Rusmin sendiri, kalau berdekatan dengan kami, akan nampak seperti bule masuk kampung. Maklum kulitnya amat bersih dan putih (wajar.. orangnya kan pemalas,, eh maksudnya dia tidak pernah turun sawah bantu-bantu orang tua membajak sawah atau mencari rumput untuk makanan ternak, orang tuanya guru sih).
Di i’dadiyah (sekolah persiapan sebelum masuk tsanawiyah atau aliyah), saya dengan Arsyad satu kelas, kami di unit B3. Namun kemudian saat ada pembentukan kelas baru, saya dipindah ke B6, kelas yang kata sebagian orang merupakan kelasnya santri yang IQ-nya paling rendah. Kata orang sih, aku sih adem ayem saja toh aku merasa tidak kalah dengan santri lain di kelas atasnya (asal tau aja, di kampung asal, saya rangking 2 terus lho, masa dibilang IQ-nya paling rendah). Meski tidak sekelas lagi tapi saya dengan Arsyad tetap saling mengunjungi. Baik berkunjung ke kelas masing-masing, maupun ke pondokan kami. Ketika itu saya memang tinggal di Asrama Malino (rumahnya Petta Biba yang didaulat jadi asrama), sementara Arsyad tinggal dirumah yang ditinggal oleh yang punya, kalau tidak salah Arsyad tinggal bersama seorang pembina santri, Pak Quddus dan Kak Wahid.
Setahun di i’dadiyah, saya dengan Arsyad pindah ke kampus II putra di bukit Tonronge (+ 2 Km dari kampus induk Mangkoso). Saya masuk tsanawiyah sedangkan Arsyad masuk Aliyah. Di Tonronge kami tinggal di pondok yang beda, Arsyad tinggal di Mantika X samping masjid, kemudian pindah ke mantika III (Ustman bin Affan). sedang saya tinggal di Mantika II (Umar bin Khattab). Pondok tempatku berukuran 4 x 5 cm2, ukuran yang cukup luas untuk ukuran anak kecil sepertiku dibandingkan pondokan mungil lainnya yang tersebar di Tonronge dan kebanyakan diisi 4 sampai 8 santri. Rusmin ? Mmm.. Rusmin tinggal di Asrama Kembar Malino Mantika IV (Ali nin abi Thalib), cukup dekat dari pondokanku. Pondok kami yang berdekatan itu membuat kami sering saling mengunjungi dan kadang bergantian nginap dipendokan kami. Kalau tidak dipondokanku, di pondokan Arsyad, atau di asramanya Rusmin.
Dari sini,kisah persahabatan sejati inipun mulai terjalin. Saat itu, saya dan Arsyad membuka kebun mini di belakang pondok mini kami. Dikebun itu kami tanami sayur-sayuran ala kadarnya. Darah petani memang tetap mengalir dalam tubuh kami, meski telah jauh dari kampung halaman. Teman-teman santri tetangga rumah sering menyebut kami “Anak seribu pulau” meski tak jarang teman-teman lain turut ambil bagian jika sayur kami sudah siap panen. Bagi saya dan begitupun Arsyad, saat itu kebun mini hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan ‘pangan’ kami (irit uang jajan ces biar gak kekeringan dikampung orang). Disamping itu pada dasarnya bercocok tanam adalah bagian dari hobi. Tak disangka, (mungkin) disinilah jalan Allah untuk saya dan mungkin juga dengan Arsyad untuk menunjukkan jalan terang untuk menapaki masa depan kami. Yang pasti secara perlahan hobi kami berkebun telah menjadikan kami tumbuh menjadi manusia yang mandiri dan selalu ingin berdikari tanpa selalu bergantung pada jerih payah keluarga dengan membebani pundak mereka yang sejatinya sudah penuh dengan beban keluarga. Kami selalu ingin menutupi kebutuhan kami sendiri, meski kecil-kecilan.
Oh iya.. ada lagi satu kebisaaan kami kalau tidak bisa dikatakan kegemaran yaitu sering masuk hutan. Yah, saban malam jum’at, kami masuk hutan untuk ‘rekreasi’ sekedar untuk menghilangkan kejenuhan terhadap pelajaran dan tugas-tugas di sekolah yang bukan main padatnya. Maklum hari jum’at merupakan hari libur sekolah sehingga kami sering memanfaatkannya untuk mencari hiburan dihutan-hutan (kebun terlantar yang ditinggal pemiliknya) meski kami harus absen mengikuti zikir bersama yang dipimpin uzt. Gurutta H. Alwi (almarhum). Sasaran kami adalah DAM penampungan air (kami menyebutnya cekdam). Kebisaaan ‘berwisata alam’ kami bertiga ini terus berlanjut sampai saya, Rusmin dan Arsyad telah menjadi mahasiswa, namun area wisata kami saat mahasiswa bukan lagi hutan, tetapi pesawahan penduduk (pakkampong) terkadang juga dikebun milik si empunya rumah yang kami tempati di Mangkoso ketika sudah mahasiswa (petta biba). Yang kebetulan kebun itu juga diserahkan ke Arsyad untuk digarap. Asryad memang tetap bertani sampai selesai kuliah. Bedanya saat itu dia benar-benar telah jadi petani asli, karena hasilnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan pangan tapi juga untuk membiayai kuliahnya. Saya sendiri dan juga Rusmin hanya sekedar ‘membantu-bantu’ saat mulai menanam jagung, dsb (simpang aset) maupun saat panen (tujuan kami membantu he..he..), kelak sepeninggal Arsyad (tamat kuliah maksudnya) saya mengambil alih tugas Arsyad menggarap kebun-kebun itu, meski tidak sesukses arsyad namun hasilnya cukup lumayan.
Di sawah-sawah pakkampong ataupun di kebunnya Arsayd itulah kami melanjutkan kebisaaan kami “berwisata’. Bedanya ketika masih di Tonronge wisata kami hanya sekedar untuk menghilangkan kejenuhan di sekolah. Tetapi ketika sudah mahasiswa kami lebih sering mengunakannya untuk berdiskusi, bertukar pikiran tentang apa telah kami raih dan apa yang masih akan kami perjuankan kedepan. Dengan beralaskan tikar plastik usang yang kami gelar di atas rerumputan, kamipun berbaring menatap bintang-bintang dan rembulan yang terang benderang dilangit, sambil menerawang.. apa yang akan kami lakukan kelak jika telah menyelesaikan studi di STAI DDI Mangkoso. Kami menyebut rutinitas kami yang dilakukan setiap bulan purnama itu sebagai Rancangan-Rancangan Masa Depan.
Berbagai petualangan-petualangan lainpun kami lalui, yang semuanya semakin mengeratkan hubungan persahabatan kami bertiga. Ikatan emosional yang sulit terpisahkan dan selalu terpatri dalam dada kami. Kami sering bepergian bersama kemanapun kami mau, tak hanya di Mangkoso tetapi juga di kampung (Sinjai) saat liburan. Kami adalah tiga serangkai, selalu ada dan selalu bersama-sama. Dikampung, karena keakraban kami dan seringnya kami jalan dan kumpul bersama, orang tua kamipun ikut menjadi lebih akrab dan menjadi komunitas keluarga besar.
Kebersamaan kami tetap berlanjut meskipun Rusmin kemudian melanjutkan pendidikannya di Pascasarjana UMI Makassar, setidaknya 2 minggu sekali dia tetap mengunjungi kami yang masih nongkrong di Mangkoso. Kebersamaan itu mulai terganggu ketika setamat di STAI, Arsyad merantau ke Kalimantan (kalau tidak salah di Bengalong, Kutai Timur) disana dia menjadi pengasuh di pesantren yang sampai sekarang saya belum tahu apa nama pesantren itu. Tinggallah saya dan Rusmin yang masih melanjutkan petualangan-petualangan kami. Sedangkan dengan Arsyad, komunikasi tetap kami jalin baik melalui surat, kaset rekaman suara yang dikirim melalui rekan seperantauannya, ataupun lewat HP. Pokoknya apapun dilakukan untuk menjaga komunikasi diantara kami tetap lancar. Pernah satu kali (lupa tahun berapa) Arsyad sempat ‘nyadar’ dan menemui kami. Tetapi masya Allah, kulitnya yang dari dulu memang sudah gelap, tambah gelap lagi. (kata pucca : kalau saja Arsyad tidak buka mulut kalau ketawa, tidak akan ketahuan kalau itu orang… ha..ha.. pucca jintu kuwa gang). Ketika dia datang bukan main riangnya saya dan Rusmin, pertemuan itu kami tidak sia-siakan, wisata alampun dilakukan lagi untuk mengenang kegemaran-kegemaran kami dahulu.
Tahun 2006 tepatnya bulan Juli 2006, saya menyelesaikan kuliah di STAI (bergelar akademik SHI), sedang Rusmin juga telah menyelesaikan kuliahnya di UMI dengan menyandang gelar MA (sama dengan gurutta tauwa) dan kamipun kembali ke kampung untuk mengabdikan ilmu kami dikampung halaman tercinta. Pada tahun ini juga, saya dan Rusmin ‘bersama-sama’ mengikuti ujian seleksi penerimaan calon hakim di PTA Makassar. Ketika itu Allah memberikan amanahnya dengan meluluskan saya sebagai salah seorang wakil-Nya (mudah-mudahan amien). Yang aneh ketika itu, meskipun Rusmin sama-sama ‘berjuang’, dia ogah-ogahan dan sama sekali tidak serius mengikuti ujian tes cakim, dia hanya mensupport saya bahkan mengajari saya kaidah-kaidah nahwu sebagai persiapan ujian baca kitab kuning yang menjadi salah satu materi ujian, sedang dia sendiri hanya belajar sambil lalu. Datang ke lokasi ujian saja (Lestari 45) terlambat 1 jam. Padahal saya yang kalang kabut menunggunya sedari pagi. Tahu apa yang dikatakan Rusmin setibanya di Gedung lestari 45? Dia bilang begini “Kodina kusa’ring, elokkija tinro naku pasa’rimmo..tarapassa lingka ujian padahal elokku paccappukampi” (Jengkelku, saya masih mau tidur tapi sudah terjaga padahal rencana nanti detik-detik akhir ujian baru saya datang). Satu lagi yang membuat saya heran dengan sikap Rusmin, dia datang tanpa membawa peralatan ujian sama sekali, jadilah pensilku saya potong dua dan ku berikan ke Rusmin, huuh heraannn dehh…. Sehari sebelum ujian Rusmin juga bilang, mudah-mudahan saya tidak lulus, saya sama sekali tidak berminat jadi hakim, nah lho..? Akhirnya Rusmin sendiri yang sejak awal memang ogah-ogahan mengikuti seleksi penerimaan calon hakim tersebut tidak lulus, dan atas ketidak lulusannya Rusmin malah bersyukur. Saya sebenarnya sangat menyayangkan sikap Rusmin yang tidak serius mengikuti ujian. Bagaimana tidak, diantara teman-teman sekampungku yang sama-sama mondok di pesantren dia yang paling jenius dan juga alim meski sedikit urakan. Belakang saya baru tahu, kalau Rusmin lebih condong terjun langsung ke masyarakat berda’wah. Dan tahun 2008 dia buktikan tekadnya dengan melamar dan lulus PNS di Depag sulawesi tengah untuk formasi kemasjidan.
Kembali ke tahun 2006 lalu. Pada tahun ini, Arysad pulkam, dari kakaknya kudengar kabar bahwa dia pulang untuk menikah (dengan Sriwati). Di acara perkawinan Arsyad, persahabatan kami yang sangat kental sejak dulu membuat saya dan Rusmin merasa perlu untuk turut andil dalam ‘mensukseskan’ acara perkawinan sahabat kami itu, bahkan Rusmin sempat menjadi guru privat Arsyad melafadzkan Ijab qabul pernikahan dalam lapadz arab,, Qabiltu Nikaaha haa bil mahril mazkur naqdan lillahi ta’ala (wow keerennnn..). sungguh, meski Arsyad yang menikah namun saya dan Rusminpun teramat bahagia melihat sahabat kami ini berbahagia, bersanding di pelaminan dengan wanita pujaan hatinya.
Satu hal yang sangat mengesankan saya, ketika kami akan mengantar Arsyad ke Bone (tempat pengantin wanita). Saat itu kendaraan pengantar terbatas dan tidak bisa mengangkut semua keluarga si Arsyad yang ingin ikut mengatar ke Bone. Namun apa yang dikatakan Arsyad dan keluarganya. “siapkan tempat untuk Amirullah dan Rusmin, mereka harus ada dalam rombongan”. Keluarga Arsyad yang lainpun mengalah dan memberikan tempat untuk saya, mereka sangat memahami betapa eratnya persahatan kami bertiga, dan kebahagiaan Arsyad hari itu adalah kebahagiaan kami bertiga yang harus dirasakan bersama, sungguh.. alangkah indahnya persahabatan ini.
Tahun 2006 itupun rupanya menjadi tahun terakhir petualangan-petualangan yang kami lalui bersama-sama. Karena kemudian Rusmin merantau ke Luwuk Banggai, sebuah daerah pemukiman transmigran di ujung timur propensi sulawesi tengah. Disana dia tinggal sampai lulus jadi PNS dan bertugas di Depag Luwuk Banggai (maaf kalau salah sebutka kodong).. Aryad sendiri karena telah berkeluarga, dia memboyong istrinya ke Bengalong, Kutai Timur. Disanalah mereka tinggal sampai Arsyad lulus pada penerimaan calon hakim di PTA Samarinda tahun 2009, dan sampai sekarang ini (tahun 2010) dia bertugas di Pengadilan Agama Balikpapan. Sedangkan sayatetap dipenempatan pertama, Pengadilan Agama Jeneponto
Kini, kami memang tidak bersama-sama lagi, kami telah berada didaerah yang saling berjauhan. Kami telah terikat dengan pekerjaan kami masing-masing, dengan kesibukan masing-masing, dengan aktifitas masing-masing, yang menyulitkan kami untuk saling ‘mengerling’ lagi. Tapi kami sadar, kebersamaan tidak semata ditentukan dengan seringnya kami jalan bersama, kumpul bersama. Kini kami harus belajar memahami bahwa persahabatan sejati, ada dalam hati kami. Persahabatan ini abadi, waktu dan jarak tidak akan mampu memisahkan persabatan kami, dan akan tetap bersama sebagai SAHABAT SEJATI, selamanya.
Catatan ini kepersembahkan buat kedua sahabatku, Ust. Rusmin Saleh, SHI., MA (luwuk banggai) dan Arsyad B., SHI (Balikpapan).. kunanti kedatangan kalian sahabatku.

Catatan Bangkeng :
Petikan pembicaraan kami dalam pertemuan terakhir bulan Nopember 2009 yang lalu :
Arsyad : “Kita sudah sama-sama jadi pegawai, dan skor sekarang dua sama.
Rusmin : “Awas jangan sampai saya menang langsung menjadi 3-2).
Maksud dua sama adalah :
 Rusmin paling pertama jadi Master lalu jadi PNS
 Saya paling pertama lulus PNS lalu kuliah S 2
 Arsyad paling pertama menikah lalu lulus PNS
Tiga poin diatas, Kerja, kuliah minimal S 2, dan Menikah, adalah target-target yang kami namakan rancangan masa depan yang sering kami programkan dulu semasih kuliah di Mangkoso)

Saya diam saja mendengar kata-kata 2 sahabat saya, tapi dalam hati saya siap berkompetisi, siapa tahu siapa tahu saya lebih dulu menikah dari rusmin? Kan saya pemenangnya 3-2, he he he..kejutan…
Dikutip dari VIVAnews

BUANG RACUN TUBUH DENGAN TIDUR

Banyak manfaat yang bisa kita dapatkan jika melakukan aktivitas tidur dengan kuantitas dan kualitas yang baik.
Selain bisa meningkatkan kekebalan tubuh dan menjadi obat kecantikan alami, aktivitas tidur yang dijalani secara normal 7-8 jam tiap malam bisa membantu tubuh melakukan detoksifikasi alami untuk mengusir racun dalam tubuh.
“Tubuh kita secara alami bisa membersihkan racun dengan tidur yang berkualitas dengan kuantitas yang cukup,” kata DR Lily G Karmel MA dari Fit 'n Chic Family Fitnes saat ditemui di acara Seminar Hipertensi pada Peringatan Hari Hipertensi Sedunia tahun 2010 di Kantor Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementrian Kesehatan di Percetakan Negara, Jakarta, Senin 12 Juli 2010.
Lewat pemaparannya dalam seminar, berikut penggalan waktu tubuh melakukan detoksifikasi alami saat tidur:
21.00 - 23.00 : secara alami melakukan detoksifikasi tubuh dan pertumbuhan. Umumnya, proses pertumbuhan pada anak-anak terjadi pada waktu ini. Karena itu, jangan biarkan si kecil tidur lebih dari pukul 9 malam.
23.00 - 01.00 : terjadi proses pembersihan liver atau hati
01.00 - 03.00: detoksifikasi empedu
03.00 - 05.00: detoksifikasi paru-paru
05.00-07.00 : detoksifikasi usus besar
Tak hanya itu, DR Lily menambahkan, saat aktivitas tidur pukul 24.00-04.00 tubuh bahkan tak henti bekerja. Aktivitas sumsum tulang belakang terus memproduksi darah ketika kita sedang terlelap tidur.
“Untuk itu, lakukan tidur berkualitas dengan kuantitas cukup, sekitar 7-8 jam per malam,” katanya menegaskan.
KETIKA MARKUS ‘MENGEROYOK’ HAKIM
Oleh : Amirullah Arsyad, SHI


MAAF, TULISAN INI MASIH DALAM TARAF PENGEDITAN DAN PENAMBAHAN, BEBERAPA TULISAN ORANG LAIN UNTUK MASIH TERPASANG SEBAGAI BAHAN BACAAN, PERBANDINGAN DAN MASUKAN UNTUK TULISAN INI


PENDAHULUAN
Suatu hari, serombongan laki-laki mendatangi sebuah kantor Pengadilan Agama, mereka dengan pongahnya memasuki kantor pengadilan tanpa melapor ke pusat pelayanan dan informasi, mereka langsung memasuki ruangan di instansi tersebut yang dituju adalah pimpinan kantor (ketua) pengadilan agama. Dengan alasan untuk konsultasi mereka menyerang ketua dengan kata-kata yang sungguh tidak sopan, menggurui bahkan mengancam akan menyebarkan kasus ini ke media.
Rombongan itu (menurut pengakuan meraka) terdiri dari seorang anggota LBH, dan beberapa ‘wartawan’. Mereka memprotes keras putusan hakim yang tidak memenangkan klien mereka dalam sidang beberapa hari yang lalu. Informasi saya kami dapatkan bahwa ‘T’ melalui ‘kuasa’nya telah mengajukan gugatan harta bersama yang mereka sendiri tidak tahu asal usul dan bagaimana harta yang disengketakan.
Beberapa hari sebelumnya anggota LBH yang merupakan wajah-wajah yang sering membawa orang berperkara ke instansi pemerintah tersebut, mereka bertingkah layaknya pengacara, mereka mendaftarkan ‘clien’ mereka di kepaniteraan Pengadilan Agama, dengan wajah dan kata-kata yang sungguh membuat ‘orang bawaannya’ sumringah dan yakin dengan kemenangan atas perkaranya.
Usut punya usut ternyata markus-markus itu telah menjanjikan kemenangan atas klien mereka, dengan bayaran puluhan juta dan kelihaian bersilat lidah, mereka memperdaya klien mereka dengan janji-janji manis akan memenangkan perkaranya bahkan dengan dengan cara menjual nama hakim dengan mengatakan akan membayar hakim yang menangani perkara supaya pihaknya dimenangkan. Astagfirullah, Sungguh fitnah yang sangat keji, karena hakim-hakim itu lebih mengedepankan kejujuran dalam bertugas sebagaimana amanah agama, dan juga etika profesi (PPH) yang mereka pedomani.
Pihak yang kecewa dengan ‘kuasa bayangan’ (baca : markus) tersebut dengan polosnya akhirnya mengaku bahwa mereka telah memberikan sejumlah uang kepada ‘kuasa bayangan’ tersebut dengan jaminan akan membantu memenangkan perkaranya. Adalah wajar bila masyarakat awan (baca : orang kampung) yang memang buta dengan ketentuan-ketentuan hukum, mereka dengan mudah termakan rayuan orang-orang yang dengan tega memanfaatkan kepolosan mereka untuk menuai keuntungan pribadi.

Penomena Markus Dimasa Kini

Akhir-akhir ini kita melihat pemberitaaan-pemberitaan di sebagaian besar media, tengah marak memberitakan dan menyoroti persoalan-persoalan hukum yang tengah dirundung masalah. Kita pernah dan sering mendengar adanya istilah ” mafia peradilan ” yang menyoroti hakim-hakim yang bermasalah , dan pada akhir-akhir ini kita sering mendengar istilah “mafia hukum” yang menyoroti tentang adanya makelar kasus (markus) yang berkeliaran di area institusi-institusi penegak hukum. Dengan fenomena mafia hukum yang muncul akhir-akhir ini, bahkan sampai-sampai membuat pemerintah meninjau ulang dan merevisi program kerja untuk disesuaikan dengan dinamika yang berkembang di masyarakat, dengan mencanangkan ” pemberantasan mafia hukum ” dan menempatkan agenda ini pada urutan pertama. Untuk membuktikan agenda tersebut, maka selanjutnya dibentuklah ” Satuan Tugas ( Satgas) Hukum ” dimaksudkan guna memerangi makelar-makelar kasus ( markus ) serta melakukan investigasi dan kemudian merekomendasikan kepada pejabat yang berkompeten, terkait dengan permasalahan-permasalahan hukum yang ditemukannya.
Pada hakekatnya kedua sebutan atau istilah mafia tersebut maknanya sama, ialah adanya kongkalingkong untuk melakukan transaksi jual beli perkara pidana yang dilakukan oleh markus dengan oknum penegak hukum yang dalam hal ini adalah Polri, Jaksa, dan Hakim. Hanya kalau istilah mafia peradilan lebih spesifik ditujukan kepada oknum Hakim yang memperjual belikan putusan.
Sebagai seorang Advokat atau Pengacara yang telah berkiprah belasan tahun di dunia hukum, tentunya saya juga banyak tahu tentang liku-liku transaksi ” jual beli ” perkara, baik itu perkara perdata maupun perkara pidana, khususnya mengenai perkara pidana. Menurut pengalaman yang saya ketahui dilapangan, transaksi jual beli semacam ini, kecenderungannya dilakukan oleh perseorangan. Hampir saya tidak pernah ketahui dan atau saya dengar, hal semacam ini dilakukan oleh sekelompok atau sebuah organisasi yang terorganisir. Kecenderungannya dilakukan oleh perseorangan dengan menggunakan pengaruh-pengaruh pejabat negara.
Jujur saja makelar kasus memang betul-betul ada, namun demikian tidak semarak ketika era orde baru. Pada era reformasi makelar kasus masih ada, akan tetapi agak berkurang ketimbang pada masa orde baru, mengapa demikian ? kalau kita mau jujur masa reformasi ini relatif bagus untuk kemajuan di bidang hukum, kendati belum amat signifikan tetapi setidak-tidaknya supremasi hukum kita kian membaik seiring dengan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga ini dikalangan pejabat cukup disegani, sehingga membuat banyak pejabat yang takut berniat melakukan korupsi. Selama ini saya menilai, Lembaga ini cukup baik mengantarkan ke kemajuan supremasi hukum kita, sebagai contoh sejak adanya KPK, tidak sedikit pejabat-pejabat tinggi negara yang diseret kemeja hijau bahkan sampai divonis hukuman penjara puluhan tahun. Coba pembaca menengok kebelakang ketika zaman orde baru, nyaris tak pernah ada seorang pejabat bahkan ke level bawah bupati yang yang terseret ke meja hijau dan sampai dipenjarakan. Sementara ini menurut hemat saya, KPK amatlah patut menjadi ” teladan hukum ” bagi institusi penegak hukum di negara kita, dan lebih-lebih pembaca yang ramai-ramai mencanangkan ” Teladan Hukum ” di negara kita.
Sebenarnya pemerintah juga sudah berusaha mengatisipasi serta mencoba memberantas mafia hukum ini, dengan dibentuknya komisi-komisi di institusi penegak hukum, seperti di tubuh Polri ada Komisi Kepolisian, lalu ditubuh Kejaksaan ada Komisi Kejaksaan, dan di Pengadilan ada Komisi Yudisial, adapun komisi-komisi ini bertugas melakukan pengawasan, penyelidikan dan penyidikan kepada jajaran penegak hukum di masing-masing institusinya jika disinyalir ada dugaan penyimpangan, dan selanjutnya apabila ditemukan ada indikasi kuat terjadi penyimpangan maka Komisi ini akan merekomendasikan kepada atasannya, dan bilamana perlu rekomendasi ini disampaikan kepada Presiden untuk dilakukan tindakan tegas. Barangkali dipandang Komisi-Komisi ini kurang bergigi, maka dibentuklah lembaga baru yang berdiri beberapa hari yang lalu yang bernama Satgas Hukum.
Kalau saya mengamati kejadian makelar kasus atau istilah yang lagi ngetrend mafia hukum ini, akan terminimalisir manakala banyak pejabat penegak hukum yang tidak memberikan peluang kepada mereka. Namun kenyataannya masih banyak pejabat penegak hukum yang memberikan dan membuka peluang mereka masuk lantaran adanya sebuah rayuan, iming-iming dan sebagainya sehingga membuat oknum pejabat tersebut terbujuk untuk melakukan sesuatu demi kepentingan si markus tersebut.

Tapi itulah hakim, dengan segala keterbatasan pasilitas yang diberikan kepadanya mereka masih mengedepankan kejujuran dalam bertugas meski nyawa mereka jadi taruhannya. Meski acapkali pandangan sinis tetap mereka terima dari oknum-oknum yang kecewa dengan kejujuran mereka. Toh mereka yakin yang Maha Kuasa tidak akan memnutup mata akan karya dan pengabdian mereka sebagai Wakil Tuhan menegakkan keadilan di Bumi ini.

Kompilasi Hukum Islam dan UU Perlindungan Anak

(Kajian Terhadap Permasalahan Itsbat Nikah/Itsbat Poligami)

Amirullah Arsyad


Pendahuluan

Seorang lelaki (sebut saja P) duduk termenung di ruang tunggu sebuah pengadilan. Raut wajahnya menggambarkan bahwa dirinya tengah dilanda rasa bingung, putus asa, penuh tanda tanya dan mungkin pengharapan. Dia baru saja mengikuti jalannya persidangan dirinya yang cukup menyita waktu dan pikiran. Sesekali pandangannya tertuju pada beberapa pengunjung dan juga pegawai yang sesekali melintas di depannya, seakan ingin meminta suatu penjelasan yang sangat serius. Di sebelahnya duduk pula seorang perempuan (sebut saja T) dengan raut wajah yang tidak kurang sama dengan lelaki itu.

Beberapa hari sebelumnya, lelaki itu datang menghadap di Pengadilan Agama tersebut, dengan berbekal surat persetujuan untuk berpoligami dari istri pertama, dia mengajukan permohonan izin untuk berpoligami kepada pengadilan agama dengan seorang wanita (yang belakangan diketahui adalah merupakan istrinya). Setelah melalui rangkaian proses pemeriksaan persidangan, lahirlah putusan yang intinya tidak menerima (Niet Onvankelijk Verklaard/NO)[1] permohonan lelaki tersebut.

Dalam putusan itu, disebutkan bahwa dalam proses tanya jawab dan pemeriksaan saksi terungkap fakta yang juga diakui oleh lelaki P bahwa ia telah menikah secara siri dengan perempuan ‘yang akan dinikahinya’ jika permohonannya dikabulkan. Majelis hakim memberikan putusan NO dengan beberapa pertimbangan antara lain bahwa lelaki P telah nyata terbukti telah menikah dengan T sehingga tidak perlu lagi diberikan izin berpoligami. Pertimbangan majelis hakim tersebut tentu sangat beralasan, karena bagaimana mungkin seseorang diizinkan untuk menikah dengan istri sendiri, bagaimana mungkin seseorang diizinkan untuk berpoligami dengan istrinya sendiri. Bukankah yang harusnya diizinkan untuk menikah adalah mereka yang memang belum menikah. Dan jika sudah menikah lalu buat apa minta izin untuk ‘menikah ulang’? Sementara lelaki P telah terbukti telah menikah dengan perempuan T beberapa tahun yang lalu, meskipun itu dilakukan secara siri. Apalagi dia sudah memiliki keturunan dari hasil perkawinannya dengan orang yang “akan dinikahinya”.

Kepala KUA yang turut mendampingi orang tersebut berdalih bahwa dasar pemohon mengajukan permohonan izin poligami adalah karena perkawinan pemohonan P dan T tidak sah secara hukum karena perkawinannya tidak terdaftar di PPN KUA setempat alias menikah di bawah tangan, sehingga dianggap belum menikah. Akan tetapi meskipun perkawinan secara hukum (undang-undang) dianggap tidak sah namun izin poligami tetap bukan solusi yang tepat, karena perkawinan yang secara hukum atau menurut undang-undang perkawinan yang tidak sah, seharusnya di-itsbat-kan (disahkan)[2]

Di sisi lain, perkawinan P dengan T juga tidak bisa diistbatkan (sekiranya perkara poligami dialihkan ke Itsbat Nikah) karena dalam ketentuan pasal 7 ayat 3 Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan bahwa Itsbat nikah yang dapat diajukan di Pengadilan Agama adalah yang berkenaan dengan adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian atau perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan sebagainya.

Fenomena Nikah Siri di Masyarakat

Definisi Nikah Siri

Istilah nikah siri terdiri dari dua kata yaitu “nikah” dan “siri“. Nikah menurut bahasa mempunyai dua arti yaitu arti sebenarnya dan arti kiasan. Arti sebenarnya ialah dham, yang berarti menghimpit, menindih, atau berkumpul, sedang arti kiasannya ialah watha, yang berarti setubuh atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.[3]

Kata sirri yang dalam bahasa Arab artinya diam-diam atau tersembunyi sebagai lawan kata dari ’alaniyyah yaitu terang-terangan. Sama dengan istilah “di bawah tangan” yang merupakan kata kiasan, yang bermakna diam-diam atau tersembunyi.

Jadi nikah siri ialah nikah yang dilakukan secara diam-diam atau tersembunyi tanpa diketahui atau tercatat di lembaga negara, atau nikah yang dilakukan bukan di depan pegawai atau pejabat yang berwenang, sehingga tidak tercatat di Kantor Urusan Agama, atau Kantor Catatan Sipil.

Sesuai dengan definisi, ciri khusus yang selalu ada pada pernikahan siri adalah tidak adanya pencatatan dan pengawasan Pegawai Pencatatan Nikah, atau Kantor Pencatatan Sipil bagi yang non Islam. Umumnya, nikah siri dapat dibedakan atas: nikah yang memenuhi tata cara menurut hukum Islam, dan nikah yang tidak memenuhi tata cara menurut hukum Islam.

Faktor-faktor Penyebab Pernikahan Siri

Nikah siri tidak dikenal dalam hukum perkawinan hukum positif. Nikah siri hanya dapat dikenali melalui ciri-ciri yang dimiliki. Nyaris dapat dipastikan setiap orang yang memilih untuk menikah secara siri, selalu dilandasi alasan dan maksud tertentu, kenapa pernikahannya perlu disembunyikan atau dilakukan secara diam-diam. Alasan menikah secara siri, relatif berbeda-beda setiap orang. Ada karena pengaruh ekonomi, ada karena takut ketahuan oleh isteri pertama atau oleh atasan, ada karena enggang menempuh prosedur, ada karena ingin menghindari hukuman disiplin, ada karena terseret dengan pergaulan yang dilarang agama, ada karena tidak direstui oleh orang tua, namun ada juga karena menurutnya sudah sejalan dengan ajaran agama, dan lain sebagainya.

Jadi alasannya, ada yang bersifat intern, yang berkenaan dengan pribadi si pelaku, dan ada yang bersifat ekstern, yang bersumber dari luar seperti keluarga, atasan. Ada juga yang bersifat subjektif, didasarkan pada kepentingan tertentu dan ada yang bersifat objektif, yang berkenaan dengan keadaan.

l

Status Hukum Pernikahan Siri

Mengenai hukum pernikahan yang dirahasiakan, Imam Malik menyatakan pernikahan tersebut batal, sebab pernikahan itu wajib diumumkan kepada masyarakat luas. Sedang menurut Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah, nikah siri hukumnya sah, tapi makruh dilakukan.[4]

Di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya dalam penjelasannya, dinyatakan tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak diatur lain dalam undang-undang ini.

Suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah menurut hukum, apabila saat akan adanya hubungan hukum nikahnya dilakukan menurut hukum agama. Bagi yang beragama Islam, maka hubungan hukum nikahnya harus dijalin dengan hukum perkawinan Islam. Dengan kata lain akad nikah harus dilakukan menurut tata cara yang sesuai dengan ajaran Islam.

Di dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, dinyatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a) calon suami; b) calon isteri; c) wali nikah; d) dua orang saksi; dan e) ijab dan kabul.[5] Kelima hal yang harus ada tersebut, itulah yang biasa disebut rukun perkawinan. Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Sedang sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, disebut syarat perkawinan.[6] Rukun dan syarat perkawinan, memiliki kedudukan yang sangat penting, keduanya harus ada, tidak boleh ada yang tidak lengkap atau diabaikan.

Secara teori, suatu tindakan disebut perbuatan hukum manakala dilakukan menurut hukum, dan oleh karena itu berakibat hukum. Sebaliknya suatu tindakan yang tidak dilakukan menurut hukum, tidak dapat dikatakan perbuatan hukum sekalipun tindakan itu belum tentu melawan hukum dan karenanya sama sekali belum mempunyai akibat yang diakui dan atau dilindungi oleh hukum.

Sejalan dengan kerangka teori, suatu akad nikah yang dilakukan, dapat memiliki dua wujud: pertama dilakukan semata-mata hanya menurut aturan Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Perkawinan, dan kedua dilakukan menurut aturan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang Undang Perkawinan secara simultan.[7]

Apabila wujud akad nikah yang pertama dipilih, maka pernikahan itu telah menjadi pernikahan yang sah menurut ajaran agama, namun belum termasuk kategori perbuatan hukum sehingga belum mendapat pengakuan secara hukum. Sebaliknya apabila wujud akad nikah yang kedua dipilih, maka perkawinan itu selain telah menjadi perkawinan yang sah menurut ajaran agama, juga merupakan perbuatan hukum sehingga perlu mendapat pengakuan dan perlindungan secara hukum.

Perbuatan kawin atau nikah, baru dikatakan perbuatan hukum apabila memenuhi unsur tata cara agama dan tata cara pencatatan nikah yang diatur Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Perkawinan. Kedua unsur tersebut, berfungsi secara kumulatif, bukan alternatif. Dengan kata lain, menurut Undang Undang Perkawinan, selain memenuhi aturan syariat, pernikahan haruslah dicatat petugas pencatat nikah. Pernikahan yang memenuhi kedua aturan itu, disebut legal wedding, dan jika sebaliknya disebut illegal wedding. Dengan demikian, jika dengan klausula yuridis bahwa perkawinan yang dilakukkan secara syar’i sebagaimana yang dimaksud di dalam ketentuan Undang Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu, maka selama itu pula nikah siri yang tidak tercatat akan menjadi fenomenal. Sekalipun ketentuan ayat (1) tersebut diikuti dengan ketentuan ayat (2) yang menyatakan bahwa perkawinan itu (sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat, namun dapat saja dimaknakan secara fenomenal pula bahwa ketentuan ayat (2) itu tidak melekat pada ayat (1) yang legalistik, sehingga dipahami sebagai dua hal yang berbeda pada domein dan pertanggungjawaban yang berbeda.

Pengesahan Pengakuan Nikah dan Ketentuan dalam KHI

Kaidah Hukum Pasal 7 KHI

Kaidah (atau norma) ialah rumusan asas yang menjadi hukum.[8] Atau sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam keadaan tertentu, atau petunjuk hidup yang mengikat.[9] Pemahaman akan hukum dimulai dengan pemahaman norma atau kaidah. Kaidah yang sudah mendapat legitimasi secara formal,[10] akan menjadi norma hukum yang harus dipatuhi dalam pergaulan di masyarakat. Norma yang sudah menjadi hukum dijamin kepastian hukumnya. Ciri-ciri umum dari kaidah hukum ialah legitimasi dan sanksi. Dari segi isi kaidah terdiri atas: a) perintah-perintah, b) larangan-larangan, dan c) kebolehan.[11]

Hukum ialah: a) norma (petunjuk hidup yang berupa perintah dan cegahan); b) yang berasal dan atau mendapat pengesahan dari negara; c) bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan ketertiban dalam masyarakat; dan d) mempunyai sanksi yang tegas dan nyata dari Negara terhadap mereka yang tidak mentaatinya.[12]

Fungsi langsung hukum dapat dibedakan atas: fungsi yang bersifat primer, dan fungsi yang bersifat skunder. Fungsi primer antara lain berupa pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong dilakukannya perbuatan tertentu, penyediaan fasilitas bagi rencana-rencana privat. Fungsi sekunder antara lain berupa memperkuat dan memperlemah penghargaan terhadap otoritas umum.

Di dalam Pasal 64 UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang Undang ini berlaku, yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama adalah sah. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut UUPA), dikatakan bahwa salah satu bidang perkawinan yang diatur dalam Undang Undang Perkawinan adalah pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijalankan menurut peraturan lain. Dilihat dari segi jangka waktu, itsbat nikah yang ditampung oleh Undang Undang Perkawinan dan UUPA, terbatas pada alasan perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 berlaku secara efektif.

Pengesahan nikah biasanya diperlukan bagi mereka yang sudah lama melangsungkan pernikahannya, yang membutuhkan keterangan dengan akta yang sah, seperti untuk mendapatkan pensiunan janda, pensiunan veteran, dan sebagainya. Dalam kitab I’anatut Thalibin, juz IV sebagaimana dikutip Moch. Anwar, untuk mensahkan pengakuan itu diperlukan persyaratan, yaitu:

Dalam pengakuan nikah seseorang perempuan, harus dikemukakan sahnya pernikahan dan syarat-syaratnya, yaitu seperti: Wali, dan dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil.[13]

Orang yang hanya menyatakan diri telah menikah, menurut pendapat yang paling shahih secara mutlak tidak dianggap cukup. Melainkan ia harus menerangkan:

Saya menikahi dia dengan wali orang yang baik (benar) serta dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil dan atas ridlanya (mempelai wanita), kalau keridlaan itu memang disayaratkan.[14]

Dalam hal ini, seseorang yang mengaku telah menikah namun pernikahannya tidak terdaftar pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (PPN KUA) Kecamatan setempat, untuk dapat disahkannya secara hukum (undang-undang), maka dia dapat mengajukan permohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama dalam wilayah yang meliputi domisili pemohon yang bersangkutan (dalam hukum acara diistilahkan kompetensi relatif).

Dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang sekilas telah disinggung dimuka, disebutkan bahwa itsbat nikah yang hendak dimohonkan ke Pengadilan Agama hanyalah perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, lebih lengkapnya berikut kami kutip ketentuan pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam tersebut:

Ayat (3) : Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas

mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian ;

(b) Hilangnya Akta Nikah ;

(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan ;

(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan ;

(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ;

(baca pasal 7 s/d pasal 12 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)

Dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, lembaga itsbat nikah yang ditampung oleh Kompilasi Hukum Islam, lebih luas dan lebih maju. Lebih luas karena juga mencakup perkawinan yang terjadi setelah Undang-Undang Perkawinan berlaku, dan perkawinan poligami. Lebih maju karena tidak terbatas dilakukan dalam rangka perceraian. Tetapi juga pada hal-hal yang berkenaan dengan hak untuk mendapat perwalian, hak untuk mendapat warisan dan lain sebagainya.

Dalam Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tersebut diatas terutama huruf (a) dengan sangat jelas menyebutkan bahwa permohonan itsbat nikah yang diterima di pengadilan agama adalah itsbat nikah dalam rangka perceraian, sedangkan lelaki P dengan perempuan T hanya ingin perkawinan mereka dinyatakan sah secara hukum dan bukan dimaksudkan untuk perceraian. Selain itu, perkawinan lelaki P dan perempuan T juga terjadi setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Dilematis memang permasalahan yang dihadapi lelaki P. Jikalaupun P mengItsbatkan nikahnya dengan alasan perkawinan secara hukum tidak sah, juga belum bisa diterima karena terbentur dengan pasal 7 Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah disebutkan dimuka. Karena salah satu syarat untuk dikabulkan/diItsbatkannya nikah adalah istbat nikah dalam rangka perceraian.

Permasalahan yang sesungguhnya adalah jika P dan T tidak didapatkan solusi atau jalan keluar dari masalahnya atau dibiarkan saja dengan kondisinya saat itu, maka yang merasakan dampaknya adalah anak dari hasil perkawinan siri P dan T karena menyangkut masa depan si anak terutama untuk pendidikannya. Bisa saja kita beranggapan bahwa itu adalah adalah resiko atas perbuatan orang tua yang menikah dan berpoligami tanpa izin pengadilan, ataukah biarlah itu menjadi pelajaran bagi orang tuanya dan juga orang lain untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama, namun dalam hal ini bukan orang tuanya semata yang harus dihakimi, tetapi lebih dari itu hak dan kepentingan si anak jangan sampai dilupakan apalagi diabaikan.

Perlu kami tambahkan sedikit kaitannya dengan apa yang kami paparkan diawal tulisan ini bahwa tujuan lelaki P memohon ‘izin poligami’ agar anak/keturunannya bisa memiliki hak dan jaminan masa depan yang sama dengan anak P yang lain dari istri pertamanya dengan maksud memasukkan anak dan ‘istri keduanya’ dalam tanggungan lelaki P yang notabene adalah PNS. Jaminan yang dimaksud adalah jaminan nafkah, untuk warisan kelak, dan yang terpenting dan sifatnya mendesak adalah pendidikan si anak. Jaminan nafkah hidup bagi anak bisa saja terpenuhi untuk saat ini dan mungkin juga untuk kedepannya karena si anak bisa mendapat bagian dari harta orang tuanya melalui wasiat, hibah dan sebagainya. Namun untuk saat ini yang paling penting dan sifatnya mendesak adalah jaminan dan kelangsungan pendidikan si anak.

Seperti yang diketahui bahwa kebijakan pemerintah dibidang pendidikan sekarang ini, salah satu syarat untuk mendaftar atau masuk ke sekolah SD, adalah dengan melampirkan Akta Kelahiran yang bersangkutan. Sementara pengurusan untuk penerbitan akta kelahiran sendiri memerlukan Buku Nikah atau Akta Nikah orang tua si anak.

Mengitsbatkan Nikah Siri

Secara terminologi, itsbat ialah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) perkawinan. Nikah siri ialah nikah yang dilakukan secara diam-diam, dan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama. Itsbat nikah siri ialah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah siri dengan tujuan agar diakui dan dilindungi oleh hukum. Nikah siri yang akan diitsbatkan menuntut hukum formal untuk berkerja secara terpadu dengan hukum materil. Hukum materil ialah tata cara yang harus ditempuh untuk mendapat atau mewujudkan sesuatu. Hukum formal ialah alat untuk menegakkan atau mempertahankan hukum materil.[15]

Terkait dengan Itsbat nikah, yang dimaksud hukum materil ialah hukum agama sebagai dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, atau rukun dan syarat perkawinan sebagai dimaksud dalam Pasal 15 sampai Pasal 38 Kompilasi Hukum Islam. Jadi, indeks untuk menyeleksi atau menentukan nikah siri yang dapat diitsbatkan, adalah rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan yang telah ditentukan secara limitatif dalam hukum Islam. Sebaliknya, pernikahan liar atau pernikahan yang tidak memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan menurut hukum Islam, tidak dapat diitsbatkan.

Di dalam Buku II Edisi 2007 ditegaskan Pengadilan Agama hanya dapat mengabulkan permohonan itsbat nikah sepanjang perkawinan yang telah dilangsungkan memenuhi syarat dan rukun nikah secara syariat Islam dan pekawinan tersebut tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur di dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam.[16]

Perlunya ada kriteria seperti di atas, dimaksudkan untuk menghindari kesan, bahwa Pengadilan Agama dapat digunakan sebagai tempat cuci piring oleh orang-orang yang sengaja tidak mau taat pada hukum, atau pura-pura tidak mengetahui hukum. Terlebih jika nikah sir i itu hanya dijadikan kedok untuk perselingkuhan sehingga melabrak rukun dan syarat perkawinan yang baku.

Pada dasarnya, itsbat nikah yang dimaksud di dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam, memiliki maksud agar pernikahan tersebut mendapatkan pengakuan dan perlindungan secara hukum.

Itsbat Nikah Dalam Praktik

Putusan Pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal yang relevan secara yuridis yang muncul secara sah di persidangan. Putusan Pengadilan yang tidak logis akan dirasakan oleh masyarakat, sekalipun yang paling awam tentang hukum, karena putusan Pengadilan menyangkut nurani kemanusiaan. Untuk mengitsbatkan suatu pernikahan yang tidak tercatat, dalam praktik tidaklah semudah yang dibayangkan. Hal itu disebabkan, dalam kasus tertentu, selain belum adanya kesamaan persepsi, mengenai kapan suatu pernikahan dapat dikategorikan sah menurut hukum, juga kadang ada tarik-menarik antara azas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan,[17] mana yang harus diutamakan.

Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa ketiga azas tersebut harus dilaksanakan secara kompromi, yaitu dengan cara menerapkan ketiga-tiganya secara berimbang atau proporsional.[18] Berikut akan dipaparkan beberapa kasus yang menarik untuk dicermati.

1. Penafsiran Terhadap Pasal 2 ayat (1) UUP :

Kasus posisi, seorang pria menikah dengan seorang wanita, sebagai isteri kedua. Mereka menikah menurut tata cara ajaran Islam. Semua rukun dan syarat dipenuhi, kecuali satu, yaitu si pria tidak memiliki izin poligami dari Pengadilan Agama. Berhubung tidak ada izin poligami, maka nikah yang dilakukan tidak tercatat di kantor urusan agama, dan tidak dapat dibuktikan dengan buku nikah resmi dari pejabat yang berwenang. Beberapa waktu kemudian, setelah diadakan pemeriksaan, akhirnya diputus oleh Mahkamah Agung.

Keputusan, dalam kasus yang pertama, majelis hakim berpendapat perkawinan poligami yang dilakukan yang hanya memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang Undang Perkawinan saja, adalah sah, karena telah sesuai dengan hukum Islam, sedangkan pencatatan sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan adalah untuk menertibkan perkawinan dan tidak mengandung sanksi tidak sahnya perkawinan itu. Namun ia tetap dipersalahkan karena melanggar pasal 279 KUHP yaitu melakukan perkawinan sedangkan perkawinan yang sudah ada menjadi halangan bagi perkawinan tersebut, sehingga majelis menjatuhkan hukuman 5 (lima) bulan penjara.[19] Namun pada lain waktu, dengan kasus yang persis sama, hanya beda pelaku dan tempat, majelis menjatuhkan putusan yang berbeda.

Dalam kasus yang kedua, majelis berpendapat bahwa perkawinan poligami yang dilakukan hanya memenuhi pasal 2 ayat (1) Undang Undang Perkawinan saja bukan perkawinan yang dimaksud oleh pasal 279 KUHP, sehingg ia tidak terbukti melakukan kejahatan, maka ia dibebaskan dari tuntutan pidana penjara.[20]

Jelas, bahwa kedua pendapat yang berbeda di atas, juga menimbulkan akibat hukum yang bertolak belakang atau kontradiktif.

2. Yang Berkenaan Dengan Tujuan Hukum

Kasus posisi, seorang pria yang berstatus pegawai negeri sipil, melakukan poligami. Mereka menikah sesuai tata cara ajaran Islam. Semua rukun dan syarat yang ditentukan telah dipenuhi, kecuali satu yaitu izin poligami dari instansi berwenang. Oleh karena tidak dibekali izin poligami, maka perkawinannya pun tidak pernah tercatat, dan tidak dapat dibuktikan dengan buku nikah resmi dari pegawai pencatat nikah.

Beberapa tahun kemudian, ketika ia akan mengurus akta kelahiran dan ingin memasukan anak-anaknya dari isteri kedua sebagai tanggungan, tetapi ditolak oleh Kantor Pencatatan Sipil dan BAKN karena yang bersangkutan tidak dapat menunjukkan buku nikah resmi.

Jika sekiranya pegawai negeri yang berpoligami itu mengajukan permohonan itsbat ke Pengadilan Agama untuk istri kedua, apakah dapat dikabulkan atau tidak? Mengenai masalah (yang dialami oleh pegawai negeri) diatas, belum ada kesamaan persepsi.

Bagi yang lebih mengedepankan azas kepastian hukum, berpendapat permohonan itsbat tidak dikabulkan karena ia tidak memiliki izin poligami dari Pengadilan Agama, dan sebagai pegawai negeri semestinya ia memberi contoh yang baik ditengah masyarakat. Sementara yang lebih mengutamakan azas keadilan dan kemanfaatan, berpendirian permohonan patut dipertimbangkan untuk dikabulkan, karena perkawinnya telah memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang Undang Perkawinan. Adapun mengenai tidak adanya izin poligami, hal itu dapat dikesampingkan, mengingat memberi pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak keperdataan anak-anak dan isteri kedua, jauh lebih penting. Adalah sangat tidak adil jika anak-anak yang tidak berdosa dan tidak pernah mengetahui persoalan harus terbebani resiko yang merugikan.

3. Menikah Sebelum Masuk Islam

Kasus posisi, sepasang muda mudi non muslim menikah dibawah tangan, tidak tercatat di Kantor Catatan Sipil. Tidak lama setelah masuk Islam mereka ingin bercerai tetapi tidak memiliki buku nikah. Lalu isteri mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama, kumulasi permohonan itsbat nikah. Terhadap masalah ini sampai sekarang tetap belum ada kesatuan pendapat dengan argumen yang berbeda.

Solusi, pendapat pertama, itsbat nikah yang dimohon oleh isteri dapat dipenuhi oleh Pengadilan Agama, karena mereka telah memeluk agama Islam. Dengan masuk Islamnya mereka, akad nikah yang dilaksanakan sebelumnya, dengan tata cara agama apapun, otomatis dikonversi/diubah hukumnya menjadi sah secara Islam. Karena sahnya itu berlaku surut, maka subjek, objek, perbuatan dan hukum yang digunakan dalam pernikahan sebelumnya dianggap dilakukan berdasarkan hukum Islam, maka lekatlah asas personalitas keislaman dalam kasus pernikahan itu. Dengan demikian, Pengadilan Agama jadi berwenang untuk mengitsbatkannya.

Sementara pendapat kedua, menyatakan pernikahan mereka tidak dapat diitsbatkan oleh Pengadilan Agama, karena saat terjadinya pernikahan mereka non Islam, sehingga pernikahannya dilakukan diluar tata cara ajaran Islam. Yang berwenang untuk mengitsbatkan adalah Pengadilan Negeri.

Kemampuan seorang hakim akan terlihat dari kualitas putusan yang dilakukannya. Kualitas putusan berkorelasi dengan profesionaliasme, kecerdasan moral, dan kepekaan nurani hakim. Pertimbangan yang mendasari putusan pengadilan akan terlihat seperti anyaman tikar pandan yang saling berhubungan dan bersesuaian. Kebenaran yang dituangkan dalam bahasa putusan pengadilan adalah hasil olah pikir berdasarkan fakta-fakta persidangan yang relevan secara yuridis.

Hak Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa Negara menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan hak anak yang merupakan hak asasi manusia, berhak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya, termasuk di dalamnya adalah hak anak terhadap pendidikan.

Berikut kami kutip beberapa ketentuan pasal dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:

Pasal 1 (2) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

(12) Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.

Pasal 3 Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahteran.

Pasal 9 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

Pasal 20 Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Dalam ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal yang kami kutip di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa negara dan pemerintah termasuk masyarakat ataupun keluarga, wajib menjamin hak anak yang merupakan bagian hak asasi manusia, termasuk hak anak memperoleh pendidikan dan pengajaran untuk pengembangan pribadi anak, dan sebagainya. Pendidikan di sini bukan hanya pendidikan anak dalam keluarga, tetapi juga pendidikan formal di sekolah.

Jika negara dan pemerintah berkewajiban memenuhi hak anak khususnya hak pendidikan, maka jalan apa yang seharusnya ditempuh agar hak anak tersebut dapat terpenuhi haknya dan tidak berbenturan dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam sekiranya perkawinan orang tua si anak secara hukum tidak sah karena menikah dibawah tangan?

Haruskah orang tuanya ‘mengelabui hukum’ dengan ‘berpura-pura bercerai’ untuk memenuhi pasal 7 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam agar Itsbat nikahnya bisa digunakan dalam penerbitan akte kelahiran anak demi kepentingan pendidikan anak? Rasanya tidak mungkin bisa diterima. Bukan saja karena mempermainkan hukum, lebih dari itu juga mengolok-olok ajaran syaria’at Islam. Bukankah perkawinan adalah suatu yang sakral? Dan bukankah talaq meskipun halal tapi dibenci tuhan? Apalagi mempermainkan perkara talaq? yang sama saja dengan mengolok-olok Tuhan.

Ataukah ketentuan pasal itu dikesampingkan saja demi kemaslahatan anak? Ataukah perlu dibuatkan ketentuan tertentu untuk kasus tertentu seperti diatas? Lalu bagaimana hubungannya dengan kepastian hukum? Ataukah hukum disini tetap harus difungsikan sebagai a tool of social engineering?[21]

Kiranya permasalahan ini tetap perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah terutama bagi pakar-pakar hukum untuk terus menggali hukum dan permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat untuk dicarikan solusi. Dan yang terpenting sekali adalah perlunya sosialisasi pemahaman hukum yang lebih giat dan aktif lagi serta berkesinambungan bagi masyarakat agar masyarakat lebih mengetahui aturan hukum dan undang-undang yang berlaku. Karena meskipun ada irah-irah dalam dalam dunia hukum, bahwa Masyarakat dianggap mengerti hukum, namun faktanya masih banyak masyarakat masih buta dengan aturan hukum yang berlaku dalam negara kita. Menurut Muin Fahmal “Sangat salah jika selalu dikatakan masyarakat dianggap tahu hukum, namun sosialisasi undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya tidak maksimal dan nyatanya masih banyak masyarakat yang tidak tahu ataupun belum mengerti hukum lalu kemudian mereka dikena sanksi atas perbuatan mereka yang melanggar hukum yang mereka tidak tahu perbuatan itu adalah sebuah pelanggaran[22] Pernyataan fakar hukum tersebut mengindikasikan betapa pentingnya sosialisasi aturan hukum terus digalakkan. Dengan demikian hukum lebih tepat guna dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat.

Daftar Pustaka

Abubakar, Zainal Abidin, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Surabaya: Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, 1992.

Anwar, Moch., Dasar-dasar Hukum Islami dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, Bandung: CV. Diponegoro, 1991.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984/1985.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. III; Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Depag RI., 2001.

Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini, 1990.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2008.

Muchtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 2004.

Mujieb, M. Abdul, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta: Khairul Bayan, 2004.

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.

Sosroatmodjo, Arso dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 2004.

Sugandi, R., KUHP dan Penjelasannya; Surabaya: Usaha Nasional), tt.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2007.

Tim Diskusi Hakim Pengadilan Agama Jeneponto, Problematika Nikah Siri, Jeneponto: Pengadilan Agama Jeneponto, 2010.

Tim Penyempurnaan dan Pengkajian Buku I, Buku II, Buku III dan Buku tentang Pengawasan (Buku IV) Mahkamah Agung RI.Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingungan Peradilan Buku II Edisi 2007; Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2009

Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Surabaya : Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, 1992.

Galery Video

Waktu Saat Ini

Jadwal Sholat

Rangkin FIFA

www.amrulgunper82.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Sahabatku

Sosok Hukum

Sosok Hukum
Justice Maybe Blind But It Can See In The Dark

PERSSIN ISL

Live Terbeken FM

Berita Lain

Kalender

About Me

Foto Saya
Amirullah Arsyad
Lahir di Sinjai tanggal 7 Juli 1982, putra ke 5 dari 7 orang bersaudara pasangan M. Arsyad Bakry dan St. Hasnah Gani (alm), riwayat pendidikan dimulai dari SD Negeri 183 Sinjai (1994,kemudian mengembara menimba ilmu di kampung tetangga, Madrasah I'dadiyyah DDI Mangkoso (1995), MTS DDI Mangkoso (1998), MA DDI Mangkoso (2001), STAI DDI Mangkoso (2006), dan saat ini sedang menyelesaikan pendidikan pada program Pascasarjana UMI Makassar konsentrasi Hukum Perdata. Jenjang karir mulai tahun 2007 (CPNS/Cakim) pada PA Jeneponto, kemudian tahun 2010 diangkat menjadi Hakim di PA Bitung, Sulut. Semasa Aliyah sampai S1 dia aktip di Organisasi daerah asal santri ORDAS IKSAGO, KUMSASIN, disamping juga aktip di Organisasi kemahasiswaan. Motto : jabatan bukanlah cita-cita, tetapi hanya alat untuk meraih cita-cita, cita-cita yang sejati adalah kembali ke kampung asal di SURGA
Lihat profil lengkapku